Pantas Saja 9 Bidadari Turun, Likupang Memang Tempat Indah yang Masih Perawan

Pantas Saja 9 Bidadari Turun, Likupang Memang Tempat Indah yang Masih Perawan
info gambar utama

Ketika sembilan bidadari diizinkan turun dari surga dan pergi ke bumi, para bidadari itu lebih memilih untuk turun di sebuah telaga di Minahasa Utara-Sulawesi Utara. Tepatnya di daerah Likupang. Bagaimana Kawan GNFI menggambarkan bidadari?

Cantik, indah perangainya, dan mampu memikat siapapun yang memandangnya. Tak heran kalau ada lelaki yang jatuh cinta dan ingin memperistri satu di antaranya. Kisah cinta ini juga yang terjadi pada seorang petani yang tinggal di kaki Gunung Tamporok bernama Mamanua.

Leluhur Tou Tonsea, salah satu etnik Minahasa Sulawesi Utara, dalam Legenda Tumetenden mengisahkan bahwa Mamanua ingin menahan satu bidadari dari sembilan bidadari yang turun untuk tinggal bersama dan menjadi istri. Merajut kisah cinta bersama di kaki Gunung Tamporok.

Salah satu bidadari bernama Walangsendau pun tak kuasa menahan rasa cintanya terhadap pemuda petani itu. Kisah cinta pun terukir hingga pada akhirnya mereka melahirkan buah hati yang sama cantiknya dengan sang bunda. Namun, kesucian dan kelembutan seorang bidadari sepatutnya dijaga.

Mamanua melakukan kesalahan sehingga membuat Walangsendau terpaksa kembali ke kahyangan, meninggalkan sang buah hati. Bagaimana bisa manusia mungil itu harus ditinggal oleh ibunya?

‘’Saat anakku menangis mencariku, ajak dia berjalan melintasi hutan, sungai, dan gunung, dengan mengikuti arah matahari,’’ itulah pesan Walangsendau kepada Mamanua.

Pantai Pulisan di Likupang
info gambar

Hutan, gunung, dan sungai, sudah dilalui Mamanua sambil menggendong putri kecilnya. Perjalanan nan jauh itu berujung pada bibir pantai biru berpasir putih terhampar di hadapannya. Saking biru—atau saking beningnya—air laut, Mamanua bisa dengan jelas melihat karang, koral, tumbuhan laut, dan ikan-ikan dari pinggir pantai.

Warna-warni para penghuni bawah air itu terlihat jelas oleh Mamanua. Namun dia tak menemukan sosok yang dia cari. Sosok bidadari Walangsendau di sana. Sementara putrinya terus menangis. Hingga akhirnya ikan bernama Pongkor menawarkan tumpangan kepada Mamanua untuk istana bidadari. Perjalanan jauh Mamanua dan putrinya pun terbayar.

Kini, laut bidadari itu kita kenal dengan Likupang. Seperti yang dikisahkan leluhur Tou Tonsea, keindahan telaga, gunung, bukit, sungai, pantai, lautan, beserta seluruh isinya seolah menapak tilas perjalanan Mamanua dan putrinya untuk bertemu Walangsendau.

Sebuah garis alam yang indah sama seperti keindahan bidadari Walangsendau.

Destinasi yang Masih Perawan Alias Indah Apa Adanya

Pemandangan Pantai di Likupang
info gambar

Mungkin, kalau belum ada kebijakan destinasi super prioritas setelah Bali, nama Likupang benar-benar akan tak terdengar. Di satu sisi, kelestarian alamnya yang sangat indah akan terjaga, tapi di sisi lain masyarakat Indonesia tidak akan pernah tahu surge tersembunyi yang dimiliki negeri ini.

Kawan GNFI perlu tahu bahwa Likupang (Sulawesi Utara) bersama Tanjung Pulisan sudah masuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata sebagai Destinasi Super Prioritas. Posisinya akan sejajar dengan Danau Toba (Sumatera Utara), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), dan Candi Borobudur (Jawa Tengah).

Potensi wisata bahari yang sangat kaya seperti Pantai Sampirang, Pantai Paal Marinsouw, Pantai Pulisan, dan Ekowisata Bahoi yang membuat Likupang memang destinasi yang menjanjikan. Likupang seolah benar-benar menggambarkan sebagai tempat turunnya bidadari yang dipilih sebagai tempat pendaratan dari surga.

Setiap pantainya memiliki keindahan dan akan meninggalkan kesan sendiri-sendiri. Ekowisata Bahoi disebut-sebut sebagai spot surga dunia tersembunyi. Keindahan terumbu karang pada Daerah Perlindungan Laut (DPL) menjadi andalan dari tempat tersebut.

Di Desa Bahoi-nya pun memiliki flora dan fauna di hutan mangrove, kawasan pasir putih, dan panorama desa yang asri dan bersih. Benar-benar akan memanjakan mata, menenangkan hati, dan membuat betah untuk berlama-lama dan bersantai di sana.

‘’Destinasi di sana [Likupang] masih perawan atau apa adanya. Di sana ada beberapa destinasi baru yang akan dikembangkan. Di Likupang itu semua wisata pantai,’’ kata Ronny Boul, seorang warga asli Manado dan jurnalis lepas Kompas Travel yang pernah ia ungkapkan pada 24 Agustus 2019 silam.

Pembangunan Infrastruktur yang Terus Dilakukan

Bandaran Sam Ratulangi
info gambar

Pemerintah sendiri telah menetapkan rencana pengembangan infrastruktur jalan menuju kawasan KEK Likupang. Seperti pembangunan jalan tol Manado-Bitung sepanjang 39 kilometer dan pelebaran jalan bypass dari Bandara Sam Ratulangi ke KEK Likupang sepanjang 31,5 kilometer.

Terminal Bandara Sam Ratulangi yang terkenal dengan moto ‘’Sitou Timou Tumou Tou’’ itu pun akan diperluas. Dari yang asalnya memiliki kapasitas dua juta penumpang, akan ditingkatkan menjadi enam juta penumpang. Upaya ini akan terus dilakukan mengingat dari sektor pariwisata, Likupang sudah menyumbang 1,72 persen dari total Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Minahasa Utara.

Berdasarkan data Dinas Pariwisata Kabupaten Minahasa Utara, sudah ada sekitar empat hotel berbintang, 17 hotel non bintang, dan 65 restoran yang akan menjadi fasilitas untuk memanjakan para wisatawan.

Dermaga di Likupang
info gambar

Jika Kawan GNFI penasaran dengan surga pendaratan sembilan bidadari ini, Kawan GNFI bisa memilih moda transportasi mulai dari kendaraan umum maupun sewa yang tersedia di sekitar Bandaran Sam Ratulangi menuju Likupang.

Kalau ingin naik kendaraan umum, Kawan GNFI bisa naik di sekitar bandara menuju ke Terminal Paal Dua dilanjtkan dengan mobil umum kea rah Likupang. Waktu terbaik untuk menikmati liburan di Likupang disarankan menghindari bulan November-Februari. Ini karena curah hujan sedang tinggi, ombak lautan tinggi, disertai angina kencang.

--

Sumber: Indonesia.go.id | Travel.Kompas.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini