Sebagai negara yang terletak di pertempuan tiga lempeng dunia, Indonesia kerap kali diguncang bencana berupa gempa bumi. Salah satu wilayah yang sering mengalami gempa bumi ialah Pulau Sumatra, khususnya bagian pantai barat.
Masih lekat dalam ingatan salah satu gempa bumi yang terjadi pada 26 Desember 2004 lalu yang mengguncang Aceh dan sekitarnya. Gempa bumi berkekuatan 9.3 SR membangkitkan gelombang tsunami hingga membuat kerusakan, dan membuat ratusan ribu orang kehilangan nyawa.
Kawan, 97 tahun sebelum tahun 2004, wilayah pantai barat Sumatra juga pernah dilanda tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi. Dalam Katalog Tsunami Indonesia 418 - 2018 terbitan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (2019) gempa bumi berkekuatan 7.6 SR yang berpusat di sebelah barat Pulau Simeulue pernah terjadi.
Sebagai tempat yang dekat dengan pusat gempa, Pulau Simeulue dan pulau-pulau kecil di sekitarnya mengalami kerusakan. Kabar adanya mengenai bencana tersebut segera diterima oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh melalui kiriman telegram dari seorang Komandan Letnan di Tapaktuan, seperti yang diwartakan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 7 Januari 1907.
Dalam kabar yang diterima, wilayah pantai selatan Simeulue rusak diterjang oleh gelombang pasang. Selain itu, 300 orang dinyatakan hilang dan 40 orang yang ditemukan telah dimakamkan. Bantuan berupa kapal bermuatan beras juga sudah dikirim. Beberapa waktu setelah gelombang menyapu daratan Simeulue, dilaporkan gempa bumi susulan masih kerap terjadi, seperti yang diwartakan Deli Courant edisi 24 Januari 1907.
Banyaknya jumlah korban yang meninggal disebabkan karena terjangan gelombang tsunami, yang dalam bahasa setempat disebut dengan smong. Dalam buku Ekspedisi Cincin Api, Hidup Mati di Negeri Cincin Api (2013) dituliskan jika setelah gempa bumi banyak masyarakat Simeulue yang kemudian menuju ke pinggir laut menangkap ikan karena air laut yang surut. Tak disangka, gelombang tsunami kemudian muncul dan menggulung banyak orang, pohon-pohon, perahu, serta rumah-rumah warga.
Atas dasar pengalaman tersebut, masyarakat Simeulue menceritakan tentang peristiwa ini dalam Syair Smong yang biasa diceritakan kepada anak-anak. Syair Smong mengajarkan mengenai bentuk mitigasi bencana tsunami.
Dalam buku Kearifan Lokal Smong dalam Konteks Pendidikan: Revitalisasi Nilai Sosial-Budaya Simeulue (2019), Smong mengajarkan kepada masyarakat jika ada gempa kuat yang kemudian diikuti dengan air laut yang surut, segeralah lari agar selamat dari terjangan gelombang besar. Syair inilah yang membuat warga Simeulue selalu waspada saat gempa bumi mengguncang pulau mereka. Berikut Syairnya.
Enggel mon sao curito
Inang maso semonan
Manoknop sao fano
Uwi lah da sesewan
Unen ne alek linon
Fesang bakat ne mali
Manoknop sao hampong
Tibo-tibo mawi
Anga linon ne mali
Uwek suruik sahuli
Maheya mihawali
Fano me singa tenggi
Ede smong kahanne
Turiang da nenekta
Miredem teher ere
Pesan dan navi da
Yang artinya:
Dengarlah sebuah cerita
Pada zaman dahulu
Tenggelam satu desa
Begitulah mereka ceritakan
Diawali oleh gempa
Disusul ombak yang besar sekali
Tenggelam seluruh negeri
Tiba-tiba saja
Jika gempanya kuat
Disusul air yang surut
Segeralah cari
Tempat kalian yang lebih tinggi
Itulah smong namanya
Sejarah nenek moyang kita
Ingatlah ini betul-betul
Pesan dan nasihatnya.*
Referensi:Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië | Deli Courant | Ahmad Arif, "Ekspedisi Cincin Api, Hidup Mati di Negeri Cincin Api | Mirza Desfandi, "Kearifan Lokal Smong dalam Konteks Pendidikan: Revitalisasi Nilai Sosial-Budaya Simeulue"
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News