8 Tahun Hilang, Katak Pohon Endemik Jawa Mendadak Nongol di Sukabumi

8 Tahun Hilang, Katak Pohon Endemik Jawa Mendadak Nongol di Sukabumi
info gambar utama

Selain indah, Indonesia memang terkenal dengan ragam flora dan fauna yang boleh jadi tak ada di belahan benua lain. Tak heran jika banyak sekali para peneliti bertandang ke negeri ini hanya sekadar untuk mempelajari ekosistem flora dan fauna endemik Indonesia.

Tak hanya peneliti internasional yang takjub dengan keragaman hayati itu, namun para peneliti Indonesia juga tak patah arang untuk terus mendata habitat-habitat yang selama ini belum tercatat.

Seperti apa yang telah ditemukan oleh Tim Observasi ke-19 Uni Konservasi Fauna Institut Pertanian Bogor (UKF-IPB), yang menemukan kembali katak pohon endemik Jawa--setelah hilang selama 8 tahun--di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) pada pertengahan Maret 2021.

UKF-IPB merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa di bidang konservasi, khususnya soal kajian satwa liar yang salah satu kegiatannya adalah melakukan observasi.

Observasi merupakan kegiatan mahasiswa berbasis saintifik alam yang berorientasi pada pendidikan konservasi. Tercatat pada tahun ini saja, UKF-IPB telah melakukan kegiatan observasi sebanyak 19 kali.

Observasi ke-19 yang dilaksanakan UKF-IPB selama tiga hari di kawasan Selabintana, TNGGP, itu berupaya melakukan pengamatan satwa dan kajian habitat di sekitar lokasi perkemahan (campsite).

Penemuan tak sengaja

taman nasional gunung gede pangrango
info gambar

Secara umum, satwa yang diamati oleh tim observasi adalah mamalia, burung, insekta, dan hewan melata yang hidup di dua alam (herpetofauna). Lain itu, mereka juga melakukan analisis vegetasi dan indeks kualitas air di sekitar lokasi, serta kajian habitat guna mengumpulkan data keberadaan satwa.

Namun sekonyong-konyong dari kegiatan yang mereka lakukan itu berbuah penemuan penting, yakni menemukan katak pohon mutiara. Katak itu terakhir terlihat di kawasan TNGGP pada 2013 silam.

Secara data, katak pohon mutiara (Nyctixalus margaritifer) merupakan katak endemik Jawa yang termasuk dalam famili Rhacophoridae (katak pohon). Menurut IUCN, katak ini memiliki status konservasi Least Concern (LC/Resiko Rendah) dengan tren populasi Decreasing (menurun).

Saat menemukan katak pohon mutiara ini, tim observasi menganggap bahwa katak ini lumrah ditemukan di kawasan Selabintana TNGGP, sebab katak ini ditemukan pada ketinggian kurang lebih 1.200 mdpl. Namun setelah dikonfirmasi ke pihak TNGGP, ternyata katak endemik Jawa ini terakhir terdata di kawasan tersebut sekira delapan tahun lalu, dan kemudian menghilang begitu saja.

Dengan kabar penemuan ini, Kepala Bidang PTN Wilayah II Sukabumi, Ir. Syahrial Anuar MM, mengatakan bahwa hal itu dapat menjadi salah satu indikator bahwa kawasan TNGGP masih terjaga dengan baik. Karenanya ia membuka kesempatan sebesar-besarnya bagi para peneliti muda yang berminat melakukan penelitian serupa di kawasan TNGGP.

''Jadikan kawasan TNGGP ini sebagai laboratorium raksasa, mengoptimalkan peruntukan taman nasional sebagai lokasi penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisatadan rekreasi sesuai amanat Undang-undang nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem,'' Demikian ucapnya menukil Sariagri.

Salah satu kekayaan fauna Indonesia

katak pohon mutiara
info gambar

Katak pohon mutiara adalah salah satu kekayaan fauna yang ada di Indonesia. Selain di TNGGP, disinyalir katak endemik ini juga memiliki habitat di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Katak pemilik nama ilmiah Nyctixalus margaritifer ini juga dikenal dengan sebutan Pearly Tree Frog, yang umumnya memiliki ciri-ciri bintik hampir di seluruh tubuhnya dengan warna mirip mutiara. Lain bintik, dominasi tubuhnya lebih berwarna oranye terang kecoklatan yang bakal benderang jika terkena sinar.

Katak yang di tanah Sunda lazim disebut Cahai Merah ini umumnya hidup di dataran rendah hutan hujan tropis dengan ketinggian hingga 1.200 mdpl. Mereka biasanya dijumpai sedang nangkring di atas daun-daun semak yang memiliki ketinggian sekitar satu meter dan posisinya tidak jauh dari genangan air.

Sayangnya, habitat katak ini kerap terganggu atau bahkan mendadak hilang karena berbagai kegiatan pertanian dan eksplorasi hutan. Karena habitatnya terganggu, katak ini pun lenyap dan semakin langka.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Mustafa Iman lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Mustafa Iman.

Terima kasih telah membaca sampai di sini