Menjaga Kelestarian Batik Jetis Sidoarjo yang "mBranyak"

Ahmad Cholis Hamzah

Seorang mantan staf ahli bidang ekonomi kedutaan yang kini mengajar sebagai dosen dan aktif menjadi kolumnis di beberapa media nasional.

Menjaga Kelestarian Batik Jetis Sidoarjo yang "mBranyak"
info gambar utama

Publik mungkin ada yang lupa bahwa pada tanggal 2 Oktober 2022 kemarin adalah Hari Batik Nasional. Mungkin karena banyaknya berita politik dan kriminal seperti debat tentang elektabilitas calon-calon presiden pada Pilpres 2024 nanti atau berita tentang berlanjutnya kasus Irjen Sambo dsb sehingga Hari Batik itu dilupakan. Pada saat Jendral Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden RI beliau menetapkan tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional dimana tanggal itu untuk memperingati hari ditetapkannya batik sebgai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi atau Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity pada tanggal 2 Oktober 2009 oleh UNESCO.

Sudah banyak tulisan tentang batik di negeri kita ini dari proses pembuatannya, filisofinya, warna dan daerah penghasil batik dsb, namun di Hari Batik Nasional ini saya ingin secara singkat mengenalkan Batik khas Sidoarjo yang dikenal dengan sebutan Batik Jetis Sidoarjo

Almarhumah ibu saya – yang asli kampung Jetis kota Sidoarjo sering bercerita pada saya bahwa nenek saya almarhumah Hj. Sofiah adalah pengusaha utama industri batik di kampung Jetis (base-nya dirumah lama yang sekarang ditempati cucu saya) sejak jaman penjajahan Belanda dulu, dan batik nya dikenal sebagai “Batik Jetis”. Beliau memiliki 10 putra/putri yang hampir semuanya melanjutkan industri kecil batik tersebut sejak jaman kemerdekaan. Perkembangan batik Jetis yang pesat pada saat itu lalu memunculkan banyak pengrajin batik selain keluarga saya di kampung Jetis itu.

Ketika saya kecil tahun 1950 an saya menyaksikan kampung Jetis Sidoarjo itu suasana bisnis batiknya menggairahkan karena banyaknya lalu lalang pedagang batik dari kota lain seperti Surabaya, Madura dan kota lainnya melakukan transaksi pembelian batik atau memesan batik untuk pembelian berikutnya. Multiplier effect atau efek ganda – pendapatan dari industri batik ini tumbuh dengan cepat, yang pada gilirannya membuat industri batik ini berkembang dengan baik.

Hal ini saya lihat sendiri begitu bergairahnya bisnis batik di kampung Jetis ini dengan banyaknya tenaga kerja yang terlibat dalam proses produksi batik, dan sungai di Jetis (waktu itu masih jernih dan dipakai berenang anak-anak dan orang dewasa) menjadi tempat pengrajin batik untuk mencuci kain disitu. Multiplier effect itu juga dalam bentuk ramainya sektor transportasi karena ramai dan seringnya para pembeli dari luar kota yang sering ke kota Sidoarjo terutama kampung Jetis.

Batik Jetis dikenal memiliki kekhasan warna nya yang “mbranyak” atau tajam, jadi kalau merah ya sangat merah, hijau yang sangat hijau. Berbeda dengan warna Batik Solo, Yogyakarta dan Pekalongan. Memang batik Jetis warnanya didominasi warna merah, hijau, kuning dengan sentuhan yang tajam. Dan warna-warna seperti ini sangat disukai suku Madura, karena itu banyak pengusaha Madura yang membeli dan memesan batik di kampung Jetis. Mereka tidak hanya memesan kain batik tapi juga memesan “Udeng” topi/ikat kepala khas suku Madura. Batik Jetis kebanyakan adalah batik tulis yang halus, dan yang sangat halus, sampai bulek saya dulu menyelesikan pesanan batik tulis itu dalam waktu satu bulan.

Ya batik Jetis itu sudah menjadi icon Sidoarjo yang terkenal (selain ikan Bandeng) sejak jaman Belanda dulu dan telah menyumbangkan perekenomian Kabupaten Sidoarjo baik dari segi pendapatan maupun dari segi penyerapan tenaga kerja – karena para pembatiknya tidak hanya dari daerah kampung Jetis atau Sidoarjo, tapi juga dari berbagai kabupaten lain diluar Sidoarjo.

Sayangnya saya sekarang tidak melihat gairah industri batik di Jetis itu lagi seperti yang saya pernah saya saksikan pada tahun-tahun 1950-60 an dulu. Keturunan nenek saya sudah tidak banyak yang bergerak dibidang industri ini, disamping sudah banyak putra putrinya Hj. Sofiah yang wafat juga anak keturunannya tidak ada yang meneruskan industri ini. Hanya tinggal satu sepupu saya namanya Pak Ishak (yang terpampang di foto diatas) dan keluarganya yang tetap melanjutkannya. Memang masih ada pengrajin batik di kampung Jetis tapi dapat dihitung dengan jari jumlahnya serta pengusaha batik yang muncul di kota Sidoarjo diluar kampung Jetis. Namun tetap saja yang dikenal sebagai batik Sidoarjo ya batik Jetis. Sekarang tidak banyak orang berlalu lalang lagi melakukan transaksi pembelian batik di kampung Jetis ini.

Saya sedih ketika sering menemui anak-anak muda dari berbagai perguruan tinggi yang kebingungan mencari pengrajin batik di Jetis ketika mereka mendapatkan tugas untuk menganalisa industri batik, mem-foto proses produksinya dsb – karena saking sedikitnya jumlah pengrajin batik. Saya juga sedih ketika para wisatawan luar kota yang ingin melihat industri batik di Jetis – mobilnya susah masuk karena sempitnya kampung Jetis itu dan harus diparkir di jalan raya sebelah kiri sementra kampung Jetis berada diseberang jalan, apalagi tidak ada jembatan penyeberangan di jalan raya itu sebelum masuk kampung Jetis – yang menyebabkan orang enggan untuk melihat industri batik Jetis – karena tidak berani menyebrang disebabkan begitu banyak dan kencangnya semua kendaraan yang melintas dari pagi sampai larut malam.

Pemkab Sidoarjo memang sudah lama melakukan berbagai upaya untuk memajukan industri batik di Jetis dengan menetapkan kampung Jetis sebagai “Kampung Batik”. Apalagi di jalan yang namanya Jalan Pasar (pas diseberang stasiun KA Sidoarjo) yang bersebelahan dengan kampung Jetis) ada beberapa toko yang menjual baju dan kain batik hasil buatan industri kampung jetis. Namun nampaknya masih perlu strategi-strategi yang lebih inovatif untuk memajukan industri batik di Sidoarjo ini, baik dari segi design nya, pemasarannya maupun infrastrukturnya.

Nampaknya pemerintah daerah kabupaten Sidoarjo dan semua pihak harus tetap memperhatikan dan melestarikan industri batik di Sidoarjo terutama di Jetis, karena sudah menjadi icon Sidoarjo sejak jaman kerajaan dan penjajahan Belanda dulu. Kalau tidak maka Batik Jetis hanya tinggal sebuah nama dan cerita saja.

Naudzubillah – sayang sekali.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

Terima kasih telah membaca sampai di sini