Makna Arsitektur Sasadu, Rumah Adat Suku Sahu yang Dibuat Tanpa Lem dan Paku

Makna Arsitektur Sasadu, Rumah Adat Suku Sahu yang Dibuat Tanpa Lem dan Paku
info gambar utama

Semua daerah di Indonesia memiliki rumah adat sendiri, termasuk suku Sahu di Jailolo, Halmahera Barat. Rumah adat suku ini bernama Sasadu. Arsitektur bangunannya tegolong unik karena dibuat tanpa bahan perekat modern, seperti semen, lem, atau paku. Para pendirinya hanya mengandalkan ilmu pembangunan rumah tradisional, warisan nenek moyang secara turun temurun.

Pembangunan Sasadu menggunakan bahan yang mudah ditemukan di sekitar wilayah permukiman suku Sahu, sedikit di antaranya: kayu gufasa, bambu, pohon enau, dan daun sagu. Bukan tanpa alasan, pembangunan Sasadu yang tradisional itu memiliki makna dengan melestarikan nilai kebudayaan, masyarakat suku Sahu dapat membangun kehidupan dan relasi sosial.

Untuk menguatkan struktur bangunan, setelah Sasadu berdiri, ia kemudian dirajut dengan tali dari sabuk pohon enau atau gumutu. Yang cukup menarik, gumutu itu dirajut menggunakan satu tali yang melingkari seluruh bangunan sasadu tanpa terputus. Hal ini menyimbolkan bahwa dalam kebudayaan Sasadu, warga suku Sahu disatukan dalam ikatan solidaritas yang kuat.

Bangunan Sasadu terlihat menyerupai Kagunga Tagi-tagi (kapal perang suku sahu). Bentuk kapal itu diduga berhubungan dengan pemujaan nenek moyang suku sahu yang datang dari jauh menaiki perahu. Mereka (orang suku Sahu) juga percaya bahwa kapal atau perahu adalah kendaraan roh.

Hemiscyllium halmahera Terancam, Perlukah Perlindungan? 

Sasadu didirikan langsung di atas tanah. Jika didenahkan, Sasadu berbentuk empat persegi panjang geometris dengan susunan seperti berikut.

  1. Ruang tengah berbentuk empat persegi panjang dengan delapan tiang utama
  2. Ruang samping mengelilingi ruang tengah, ditopang 12 tiang pinggir luar dan 12 tiang tengah
  3. Konstruksi atas terdiri dari atap samping dengan kemiringan rendah berpaut pada pinggir atas ruang tengah, berbentuk segitiga sama kaki, bersudut atap lancip
  4. Bangunan terletak arah timur-barat

Sasadu tak memiliki dinding. Ini bertujuan untuk menyempurnakan fungsinya sebagai tempat berkumpul atau bermusyawarah, sehingga ruangan dibuat terbuka dan luas. Bagian tengah hanya terdiri dari tiang-tiang yang berdiri di atas alas dari batu, tidak ditanam.

Kemudian, atap Sasadu terbuat dari daun sagu seukuran 1,5 meter. Setiap daun sagu disusun dan diikat pada sebilah bambu hingga membentuk persegi panjang. Bentuk atapnya terbilang unik karena jarak antara atap dengan bumbungan tampak jauh. Bumbungan sasadu dibuat lebih tinggi merujuk kepada Tuhan, sedangkan atap yang lebih rendah mengacu pada penghormatan manusia kepada Tuhan dan sesama.

Arsitektur sasadu bersegi delapan, bagian tengahnya tinggi seperti pelana dan dianggap paling penting karena di situlah berbagai persoalan kemasyarakatan akan dibahas sampai selesai. Selain itu, ritus, pelantikan jabatan, serta pemberian atau penerimaan nilai budaya, juga dilakukan di bagian tengah.

Berikutnya, bagian serambi dibuat pendek sehingga semua orang yang masuk ke dalam Sasadu, harus menunduk. Ini menunjukkan penghormatan kepada kebudayaan suku Sahu.

Sasadu punya enam jalur masuk-keluar, tapi tidak ada daun pintu. Ini melambangkan keramah-tamahan masyarakat suku Sahu yang terbuka serta menerima siapapun berkunjung ke rumah atau wilayah mereka.

Walau terbuka, pendatang mesti tetap mematuhi aturan untuk memasuki Sasadu. Ketika upacara adat, misalnya, pintu kiri pojok bangunan menjadi pintu utama yang hanya diperuntukkan bagi para tetua adat dan tamu undangan. Masyarakat dapat masuk melalui lima pintu lainnya.

Suku Sahu membangun rumah Sasadu dengan satuan ukuran tertentu atas keputusan adat dan kearifan lokal yang sudah ada sejak zaman leluhur. Dulu kala ketika Sasadu pertama kali dibangun, tinggi tiang diukur bukan berdasarkan meteran, melainkan tinggi satu tubuh perempuan.

Cara menentukan tinggi tiang, perempuan itu terlebih dahulu berdiri, lalu duduk, dan ditambah sembilan kepal di atas kepalanya. Meski tanpa meteran, delapan tiang tersebut tetap memiliki tinggi yang sama.

Dulu lantai Sasadu terbuat dari tanah yang dipadatkan. Namun, sekarang sudah ada yang menggunakan campuran semen dan pasir. Bahan pembuat lantai itu diganti atas alasan kebersihan dan kesehatan.

Di atas permukaan lantai sasadu, terletak enam buah dego-dego (kursi panjang) sebagai tempat duduk kaum lelaki dan perempuan, bersanding dengan empat buah tataba (meja panjang)—tempat menyajikan makanan saat upacara adat.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Afdal Hasan lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Afdal Hasan.

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini