Konsep Fundamentalisme dan Radikalisme: konservatif, progresif, atau destruktif?

Konsep Fundamentalisme dan Radikalisme: konservatif, progresif, atau destruktif?
info gambar utama

Terdapat makna yang luas dalam kajian mengenai hubungan antara fundamentalisme dan radikalisme yang berkembang, keduanya memiliki keterkaitan satu sama lain dalam proses perkembangannya. Dimana kedua istilah ini sangat berkaitan dengan konotasi tentang hal-hal negatif seperti terorisme, ekstrimisime, fanatisme, anarkisme dan sikap-sikap nihilis sehingga menciptakan sebuah stigma bahwa apa yang disebut dengan fundamentalisme dan radikalisme selalu berujung pada satu kesimpulan yaitu sebuah perilaku menyimpang dari tatanan yang ada. Sering kali istilah fundamentalisme erat kaitannya dengan agama, khususnya agama-agama pagan, seperti islam dan kristen.

Baca juga: Sejarah Berkembangnya Agama Kristen di Tanah Batak dan Lahirnya HKBP

Menurut pandangan Qardhawi dari kacamata islam, Ia menggolongkan fundamentalisme sebagai bentuk pondasi, dasar, pokok, atau sendi yang mengandung pengertian kembali kepada pokok atau inti agama dan menolak westernisasi. Adapun, menurut pandangan lainnya ialah bentuk fanatisme umat beragama dalam penafsiran kitab-kitab sucinya. Selain erat kaitannya islam dengan fundamentalisme, agama kristen memiliki ceritanya sendiri tentang bagaimana kondisi pemikiran di kalangan sebagian penganut Kristen Katolik yang menolak penyesuaian keyakinan agamanya dengan kondisi kehidupan modern yang menentang segala bentuk perkembangan dan perubahan seperti yang tetera dalam pengertian kamus Gran Larousse Encyclopedique mengenai fundamentalisme (Munir,2018:154).

Mengambil pokok dari semua penjelasan mengenai fundamentalisme bertuju pada satu kata “fanatisme” kelompok agama dalam mempertahankan ajarannya dari budaya barat baik itu islam maupun kristen (konservatif). Namun, tidak selalu fundamentalis diartikan sebagai sikap konservatif dan fanatisme negatif melainkan juga dapat diartikan sebagai sebuah sikap kritis atas kondisi apa pun yang kemudian memunculkan proses penalaran argumentatif terhadap norma dan nilai agama sebagai salah satu solusi untuk menjawab persoalan krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh modernisasi Barat. Bentuk negatif dari fundamentalisme inilah yang nantinya memunculkan sebuah budaya baru radikalisme yang bersifat anarkis-destruktif.

Gambar: Adobe Stock
info gambar

Radikalisme memiliki artian mengenai bentuk pola pemikiran terhadap realitas yang bertolak belakang atau berbeda dari realitas publik, dengan menganggap bahwa pemikiran ini memilik dua bentuk tujuan yaitu yang bersifat positif dan negatif, yang bersifat normal dan upnormal. Dalam konteks fundamentalisme, radikalisme memegang peranan sebagai tindakan lanjut dari bentuk fundamentalisme yang mendasar dan diwujudkan melalui aksi. Dari semua penjelasan sebelumnya maka apa yang membedakan antara fundamentalisme dengan radikalisme dan dari kedua paham tersebut juga terdapat sebuah pokok persamaan yang kentara di dalamnya dan memiliki akar permasalahan yang sama. Pertama, merupakan bentuk perwujudan dari fanatisme yang sama-sama mempertahankan dasar pemikirannya dalam kebenarannya masing-masing. Kedua, paham ini bersifat konservatif terhadap sesuatu yang bertentangan dengan mereka dalam tanda petik fundamentalisme dan radikalisme yang bersifat negatif maupun upnormal.

Dari kedua pokok persamaan sebelumnya menggambarkan bagaimana tumbuhnya radikalisme berkembang seiringan dengan adanya fundamentalisme. Sedangkan perbedaan yang dapat dilihat secara nampak diantara keduanya ialah jika fundamentalis kebanyakan berorientasi pada kehidupan beragama tetapi kalau radikalisme tidak selamanya berorientasi terhadap agama, karena radikalisme sendiri bisa berkembang dikalangan apapun dan dimanapun, oleh siapapun yang bersifat individualis dan terdapat dalam semua pemikiran manusia. Sangat berbeda dengan pemahaman fundamentalis yang mana hal ini berkembang subur dalam mayoritas kalangan agamis. Dari sini, mulai terlihat bagaimana sebenarnya bahwa terdapat kesamaan latar belakang penyebab timbulnya dua paham ini tetapi kemudian tidak langsung menjadikannya sesuatu hal yang sama, melainkan memiliki maksud dan tujuannya sendiri yang berbeda.

Referensi:

Arsyul Munir & Asep. (2018). Agama, Politik dan Fundamentalisme. Al-Afkar Journal for Islamic Studies, Vol 1 No 1, hal 149-169.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

JB
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini