Dilematika Konten Begging Kaum Papa di TikTok, Kebutuhan atau Strukturasi Pengemisan?

Dilematika Konten Begging Kaum Papa di TikTok, Kebutuhan atau Strukturasi Pengemisan?
info gambar utama

Saat berhadapan dengan “pengemis, peminta-peminta” apa yang kemudian terlintas dalam benak kawan GNFI? Umumnya akan berdekatan dengan berbagai perasaan selayaknya kasihan, tidak tega, bahkan tidak habis pikir. Tentu saja hal ini timbul sebab berkenaan dengan kondisi kaum yang meminta-minta. Misalnya: kaum papa yang berharap belas kasih dengan kondisi tuna netra, tuna wisma, dll., umumnya akan lebih menyentuh perhatian donator daripada mereka yang sehat dan lengkap secara fisik.

Lantas, siapa pelakunya atau dalam hal ini disebut sebagai pengemis? Dinas Sosial Kota Banda Aceh melalui laman website-nya menuliskan bahwa pengemis adalah mereka yang memiliki keadaan, antara lain: tidak mampu bekerja, tidak punya modal usaha, tidak punya keterampilan kerja, tidak punya pilihan lain, dan lebih suka menjadi gelandangan-pengemis. Indikasi lima faktor tersebut menunjukkan tingkat kesejahteraan sosial yang rendah seperti kemiskinan, dll.

Transformasi Style Pengemisan

Ilustrasi Pengemis. Foto : economy.ekozone.com
info gambar

Seiring dengan berkembangnya masa, pengemisan ini mengalami berbagai modifikasi. Pengemisan bertransformasi dari masa ke masa, menyesuaikan peluang serta zaman. Kegiatan mengemis, umumnya dilakukan di tempat ramai seperti: pusat kota, tempat belanja atau mall, dan tempat hiburan. Bahkan, makam (sebagai tempat ziarah) juga dijadikan sebagai lokasi mengemis, dengan pemikiran: mencari penderma yang disinyalir akan lebih royal berbagi di tempat sakral. Informasi ini dikutip dari penelitian mengenai korelasi pengemis dan makam karya Hasim As’ari dari Universitas Negeri Surabaya.

Pengemisan semakin menjadi momok yang meresahkan sebab dilanggengkan dengan terstuktur oleh oknum demi kepentingan personal. Menjadi organisasi nir-legal yang menciptakan lapangan pekerjaan dengan indikasi ekploitasi anak-anak, orang tua, penyandang disabilitas, dan subjek lain. Hal ini memprihatinkan sebab mengemis bukan lagi hanya berangkat dari rendahnya kesejahteraan sosial, melainkan degradasi moral beberapa oknum. Sebuah proses berpikir yang melihat peluang pendapatan dari kekurangan dan keterbatasan orang lain.

Studi Etnografi mengenai Perilaku Pengemis di Desa Pragaan Kabupaten Sumenep yang ditulis oleh akademisi Universitas Merdeka Malang adalah salah satu contoh nyata laporan yang memperlihatkan kemerosotan moral kegiatan pengemisan. Letak kemerosotan moralnya ada pada perilaku yang menjadikan kegiatan mengemis sebagai profesi yang dikelola oleh pribadi atau oknum tertentu. Pada perkembangannya, pengemis dibagi menjadi lima kategori, antara lain: pengemis berpengalaman, pengemis kontemporer kontinyu tertutup, pengemis kontemporer kontinyu terbuka, pengemis kontemporer temporer, dan pengemis berencana.

Fokus pada yang terorganisir yaitu pengemis berencana. Pengemis style ini merupakan grup pengemis yang direncanakan dalam pergerakannya. Ada dua kemungkinan besar dalam jenis pengemisan berencana, antara lain: menjadikannya pekerjaan temporer atau pengemisan yang telah terstruktur dan terlembaga sebagai peluang ‘lapangan pekerjaan’ orang-orang papa (miskin).

Zaman ini, style atau gaya pengemisan bertransformasi mengikuti perkembangan digitalisasi. Peristiwa pengemisan digital ini dilakukan melalui fasilitas live streaming media sosial, TikTok. Di Indonesia, pengemisan digital ini disorot dunia internasional yaitu South China Morning Post. Konten mengemis tersebut berisi kegiatan mandi lumpur (mud bath). Teknisnya, pengemis mengguyurkan lumpur ke badan sesuai permintaan penonton di live streaming dengan imbalan. Imbalan ini umumnya berwujud gift stiker (tersedia di TikTok) yang kemudian dapat ditukar dengan uang.

Lebih detail mengenai pengemisan digital ini, ternyata memiliki strukturasi kejahatan digital yang mengeksploitasi beberapa aspek kehidupan. Pemahaman ini dibuktikan dengan investigasi dari tim BBC kepada konten begging pada pengungsi Suriah. Penolakan TikTok untuk memberikan transparansi imbalan atas konten begging pengungsi Suriah, menjadiakan BBC menelusuri dengan membuat akun degan konten yang sama. Percobaan dilakukan dengan teknis pengiriman hadiah oleh tim BBC pada konten tersebut sebanyak $106, diakhir acara saldo akun tersebut hanya terakumulasi sebesar $33. Dengan kata lain, aplikasi TikTok mengambil hak sebanyak 69% keuntungan konten tersebut.

Ironisnya, jumlah uang ini akan mengalami pengurangan lagi ketika melakukan penarikan uang dari toko pengiriman uang lokal (tengkulak TikTok). Akumulasi pendapatan akhir konten begging pengungsi Suriah sekali sesi live streaming hanya berkisar $9. Meninjau fenomena ini, Marwa Fatafta dari Access Now mengatakan,

TikTok sedang menciptakan dan memungkinkan ekosistem yang berjalan di atas eksploitasi orang-orang yang menderita sehingga ini jelas melanggar persyaratan layanan mereka tidak apalagi tentu saja hak-hak orang-orang itu”.

Mengutip laporan BBC, TikTok sebatas pada menyatakan akan mengambil tindakan cepat terhadap "pengemis eksploitatif" yang melibatkan anak-anak, penyandang disabilitas, dan kaum terpinggir. Sedangkan informasi dari Katadata.co.id, TikTok menyatakan bahwa pihaknya di Indonesia telah melakukan tindakan yang sesuai setelah mendapat permintaan takedown dari Kominfo. Hal retoris yang cenderung skeptis adalah mempertanyakan keseriusan TikTok dalam menanggulangi konten begging yang mana pada saat yang sama, TikTok pun mengambil profit dengan presentase besar dari imbalan konten tersebut.

Respon Hukum terhadap Model Pengemisan Digital

Berkenaan dengan pengemisan, sistem regulasi Indonesia turut menyoroti permasalahan ini. Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 31 tahun 1980 disebutkan bahwa pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan pelbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Pengemisan ini dipandang sebagai fenomena yang perlu ditanggulangi. Hal ini karena tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pengemisan menjadi masalah yang kemudian menjadi fokus kerja pemerintah sebagai fenomena yang perlu ditanggulangi keberadaannya.

Baca juga: Media Digital Makin Dominan, Ini Keuntungannya!

Salah satu contoh realisasi penanggulangan pengemisan digital TikTok di Indonesia adalah aksi nyata pemerintah Kabupaten Lombok Tengah. Mengutip dari laporan dari ANTARA, pemerintah memfasilitasi salah satu pelaku dengan memberikan peternakan ayam petelur dan sembako sebagai modal untuk wirausaha. Lantas bagaimana dengan pelaku pengemisan yang lain yang mungkin belum tersentuh bantuan penanggulangan? Apa yang bisa diperbuat masyarakat umum untuk berpartisipasi meredam kelanggengan peristiwa pengemisan digital ini? Derajat Sulistyo Widhiarto selaku Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) memberikan jalan keluar bahwa pengguna TikTok atau netizen tidak mendukung konten tersebut, seperti: berhenti menonton live streaming, membagikan pengetahuan kepada sesama pengguna bahwa konten tersebut adalah bagian dari eksploitasi dan moral yang terdegradasi. Bila pengguna aplikasi berkehendak berbagi, hal yang dapat dilakukan adalah dengan menyalurkan ke lembaga yang sudah berlisensi resmi (terpercaya).

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini