Hari Raya Kebudayaan di Kampung Cempluk

Hari Raya Kebudayaan di Kampung Cempluk
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Narasi pemajuan kebudayaan yang belakangan mengemuka perlu dimulai dari kampung. Mengingat kampung ialah muasal dari peradaban suatu bangsa. Dari kampung lahir aneka pengetahuan lokal yang kita kenal sebagai kebudayaan. Namun, sayangnya, seiring masifnya globalisasi, posisi kampung semakin terabaikan.

Kampung yang selama ini menjadi lumbung budaya acap kali dijadikan objek pembangunan, bukan sebagai subjek. Akibatnya, potensi kampung tidak berkembang dan berkemajuan dalam berkebudayaan. Malahan dipasang layaknya "sapi perah" penopang kehidupan kota. Kampung dipandang sebagai masyarakat kelas dua yang tertinggal akibat arus globalisasi yang membawa standar "beracun".

Kehidupan di kampung yang dipaksakan mengikuti standar global itu nyata mengancam akhir-akhir ini. Sebagai contoh, kebudayaan dalam hal gastronomi atau pangan, kita tahu sebagian daerah Indonesia punya makanan tradisional, seperti jagung, sagu, ubi, dan lainnya sebagai makanana pokok, namun adanya standar pangan internasional yang diadopsi pemerintah Indonesia kemudian menyeragamkan standar pangan yang layak adalah beras. Akibatnya, negara rentan krisis pangan karena makanan pokok warganya "tunggal". Mestinya, kearifan lokal makanan khas daerah itu tetap dirawat dan dilestarikan sebagai pangan alternatif.

Contoh lainnya, budaya KPOP yang menjalar begitu cepat sehingga kita kadang lebih menyukai film, sapaan, dan busana Korea dibandingkan dengan budaya lokal yang sebenarnya tidak kalah bernilai. Itu contoh buruk dari standar global yang tidak sesuai dengan kebutuhan kontekstual lokal. Kalau ini terus berlanjut, bangsa akan semakin kehilangan identitasnya.

Kampung Melumbung

Kondisi ini mendesak disadari dan direspons secara arif dan konkret. Sudah terlalu lama kita sebagai bangsa memunggungi kampung-desa dengan segala kearifan lokal di dalamnya. Karena itu, agenda ke depan, kampung perlu dimaknai dan diposisikan sebagai lumbung kebudayaan.

Lumbung dalam konteks ini sebagai metode aksi (pkn.id, 2023). Laksana lumbung merupakan tempat penyimpanan hasil panen, kampung pun menyimpan segudang kearifan budaya. Seterusnya, lumbung tidak akan berfungsi bila tidak diisi. Begitu halnya dengan kampung tidak akan tumbuh dan berkembang potensi budayanya bila tidak diaktivasi. Lumbung adalah ruang sosial untuk bergotong royong merawat budaya kampung.

Oleh karena itu, kampung sebagai lumbung budaya mesti dihidupkan oleh subjek warga kampung. Pada Pekan Kebudayaan Nasional dan Kongres Kebudayaan Indoensia yang dilaksanakan pada 20 hingga 29 Oktober 2023, tema kampung dan kebudayaan ini perlu menjadi diskursus agar dapat melahirkan suatu konsensus pemajuan kebudayaan dari kampung.

Diskusi pemajuan kebudayaan dari kampung | dokumentasi pribadi
info gambar

Oleh sebab itu, pemerintah perlu hadir mengaktivasi kampung sebagai lumbung kebudayaan. Respons itu datang dari Irini Dewi Wanti, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek. Melalui program Temu Kenali Potensi Desa dari Kemendikbudristek bekerja sama dengan Kemendes PDTT dengan program Desa Tangguh Budaya, pemerintah berupaya menjawab masalah kebudayaan yang terabaikan di desa. "Kata kuncinya pemajuan kebudayaan dari kampung-desa," terang Irini.

Kolaborasi Kampung dan Kampus

Buah pikir tentang pemajuan kebudayaan tersebut disampaikan Irini Dewi Wanti saat bertemu dengan Redy Eko Prastyo (Pelaku Budaya, Pembakti Kampung Cempluk, dan mahasiswa doktoral Sosiologi Fisip UB penerima awardee BPI, dan Janwan Tarigan (editor buku Intelektual Kampung) di Kota Malang (22/10/22).

Namun demikian, pemajuan kebudayaan dari desa tidak dapat dikerjakan oleh pemerintah saja. "Dibutuhkan sinergitas para penggerak kebudayaan, baik perguruan tinggi maupun aktor-aktor lokal yang ada di daerah," jelas Irini. Dengan demikian, upaya pemajuan kebudayaan dari kampung, yang telah diatur dalam UU Pemajuan Kebudayaan, dapat menjadi milik kolektif dan diperjuangkan bersama sehingga dapat berlangsung secara masif dan holistik.

Penulis bersama Redy Eko Prastyo (Pembakti Kampung Cempluk) dan Irini Dewi Wanti (Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbud) | dokumentasi pribadi
info gambar

Sebagai langkah awal, tanggung jawab sosial (Personal Social Responsibility/PSR) para sarjana perlu ditumbuhkan. Itulah pondasi dari gerakan pemajuan kebudayaan dari kampung. Oleh sebab itu, Redy Eko Prasetyo, melalui buku Intelektual Kampung (Malang: Intrans Publishing, 2023), berusaha menyajikan praktik baik gerakan kebudayaan Kampung Cempluk. Buku ini diharap menjadi medium menyebarluaskan gagasan tentang makna kampung, peran intelektual, dan pemajuan kebudayaan dari kampung.

Redy turut menyorot peran perguruan tinggi dalam pemajuan kebudayaan dari kampung. "Perguruan tinggi harus hadir di tengah kampung sebagai pemantik dan penggerak pemajuan kebudayaan selaras dengan potensi masing-masing kampung," urai Redy.

Jangan sampai "menara gading" perguruan tinggi terus berlangsung. Ilmu menjulang tinggi di kampus, tetapi tidak mengakar-membumi di tengah masyarakat. Seorang intelektual wajib menjalankan fungsi sosialnya di lingkungannya. Itulah yang dimaksud dengan konsepsi intelektual kampung: ilmu yang mampu menembus tebalnya tembok perguruan tinggi dan megahnya gelar yang dimiliki tiap akademisi lalu memberi diri hadir di tengah masyarakat untuk menjawab masalah sosial dan menghidupkan budaya.

Harapannya, kesadaran diikuti tindakan kolaborasi kampus dan kampung dapat membawa angin segar bagi pemajuan kebudayaan. Kala kebudayaan diposisikan menjadi sesuatu yang primer dan kampung berada di muka bangsa maka pemajuan kebudayaan dapat terwujud. Itulah kemerdekaan sejati, bangsa yang berkepribadian dalam berkebudayaan.

Pemajuan Kebudayaan Kampung Cempluk

Bukan suatu yang berlebihan bila menyebut kampung sebagai lumbung budaya. Di Kampung Cempluk, Desa Kalisongo, Kabupaten Malang, praktik lumbung sebagai metode aksi sudah berlangsung 13 tahun. Dalam buku Bhaktapradesa: Napas Panjang Festival Kampung Cempluk (Malang: Beranda, 2023) diceritakan bagaimana masyarakat bergotong royong merayakan hari raya kebudayaan (Festival Kampung Cempluk). Festival yang diadakan dalam sepekan setiap tahunnya menjadi ajang warga menampilkan ragam kebudayaan, mulai dari kesenian hingga kegiatan kerja bakti bersih kampung (merawat bumi).

Hari raya kebudayaan itu hanya sebagai puncak kebudayaan yang dilakoni warga di sepanjang tahun. Secara sadar, warga mengaktivasi lumbung yang ada di kampung mereka. Poin dari aktivasi itu adalah kesadaran subjek-warga untuk merawat kebudayaan yang ada. Lebih dari itu, warga juga menggali budaya hingga mencipta peristiwa budaya, seperti membuat instrumen musik yang diadaptasi dari beragam alat musik yaitu Dawai Cempluk, mengadakan Sekolah Kampung, dan menyediakan 12 Sanggar sebagai wadah komunitas berlatih dan berekspresi. Dengan demikian, warga kampung merasa memiliki dan bangga dengan kebudayaan di kampungya.

Praktik baik di Kampung Cempluk sebagai bukti nyata bahwasanya pemajuan kebudayaan dari kampung adalah hal yang relevan, potensial, dan mungkin dilakukan. Kampung Cempluk hanya satu di antara 83.794 desa di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2022) dengan keragaman budaya dan potensi masing-masing, yang perlu ditemu-kenali lalu dikembangkan dan dimanfaatkan. Oleh sebab itu, laksana Kampung Cempluk, kampung-kampung lain juga dapat menggali potensi dan menghidupkan kebudayaan di kampungnya. Dengan demikian, kebudayaan, sebagaimana kita maknai sebagai suatu keberdayaan dan berbudi pekerti luhur, akan hidup selaras dengan merawat bumi dan memelihara kemanusiaan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

JT
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini