Pasar Wit-Witan Banyuwangi, Ajak Masyarakat Nostalgia Tempo Dulu

Pasar Wit-Witan Banyuwangi, Ajak Masyarakat Nostalgia Tempo Dulu
info gambar utama

Pasar tradisional ini diberi nama Wit-Witan, berasal dari kata wit yang artinya pohon, sesuai dengan lokasinya yang berada di bawah pepohonan. Puluhan gubuk berukuran sekitar 2,5 sampai 3 meter berjajar rapi di bawah pohon-pohon yang rindang.

Pasar Wit-Witan diresmikan pada 15 Agustus 2019 ini terletak sekitar 16 km dari pusat Kota Banyuwangi, tepatnya di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh dan hanya buka setiap hari Minggu mulai pukul 06.00 hingga 10.00 WIB.

Para pedagang menjajakan berbagai kudapan tradisional seperti jenang sum-sum, jenang sapar, jenang procot, klepon, tiwul, sawut, kucur, gatot, jemblem, lepet, sabrang ungu, tape ketan, hingga martabak. Ada juga bubur ayam dengan kuah pedas dan krupuk kluntung khas Singojuruh yang bentuknya cukup unik yakni mirip dengan kerang.

Tidak hanya itu, makanan tradisional lainnya seperti rujak kecut, rujak lontong, dan rujak letok cukup menggugah selera. Makanan paling khas dari Singojuruh adalah geseng bangsong dari Dusun Wijenan Kidul. Makanan ini biasa disebut dengan geseng entog, karena bahan bakunya adalah itik jantan yang berukuran besar.

Geseng bangsong memiliki cita rasa asam pedas. Rasa asamnya berasal dari daun wadung muda yang dapat menghilangkan bau amis daging itik. Pohon wadung sendiri merupakan tanaman liar yang tumbuh di kebuh dan konon tidak dapat dibudidayakan.

Selain daun wadung, bahan lain yang digunakan adalah cabai rawit, cabai merah, kunyit, kemiri, terasi, gula pasir, garam dan minyak goreng. Pada zaman dahulu, kuliner geseng entog ini hanya disajikan saat acara-acara besar, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Hari Raya Idul Fitri, dan Idul Adha. Akan tetapi, sekarang semua orang dapat menikmatinya tiap akhir pekan di Pasar Wit-Witan.

Selain itu, di pasar ini ada nasi pecel, sego cawuk, rawon alas, rujak soto, sego terancam, dan sego bejek. Tidak hanya menyantap makanan, Kawan GNFI tentunya juga membutuhkan minuman untuk menyegarkan kerongkongan.

Tidak repot berbekal air dari rumah, semua ada Pasar Wit-Witan. Aneka minuman tradisional yang menyehatkan, seperti temulawak, sinom dan beras kencur tersedia di sini. Jangan lewatkan juga kopi plonco yang menjadi minuman favorit.

Setiap pedagang di Pasar Wit-Witan menjajakan produknya kepada ratusan pengunjung di atas meja lapak yang didesain layaknya rumah gubuk dari bambu. Penampilan para pedagang pun disesuaikan dengan identitas pasar.

Mereka berjualan mengenakan busana adat Osing Banyuwangi. Pedagang perempuan mengenaka atasan kebaya dan bawahan jarit dengan nuansa warna hitam coklat. Sementara itu, pedagang laki-laki memakai baju lurik, ada pula yang berpakaian mirip beskap, ditambah dengan udeng sebagai penutup kepala.

Di lapak penjualnya tertulis 'Cawis Panganan' yang artinya sedia makanan. Wadah jualan mereka pun terbuat dari bambu, daun pisang, dan tempurung kelapa untuk menambah suasana tradisionalnya.

Tempat duduk pengunjung dibuat dari bahan bambu dan sendok yang digunakan dibuat dari kayu. Hal tersebut dinilai ramah lingkungan dan juga untuk mendukung gerakan minim sampah plastik.

Tidak hanya menjadi tempat kulineran, pengunjung juga dapat menikmati kesenian musik angklung, belanja aneka kerajinan tangan, dan foto bersama keluarga di spot yang tersedia. Untuk memberi kesan angker, konsep pasar ini ditambahkan penampakan sosok Mak Lampir. Terdapat juga tampilan dari ciri khas budaya Desa Alasmalang, yaitu 'Kebo-Keboan'.

Meskipun sempat mati suri selama kurang lebih 3 tahun karena dampak pandemi Covid-19, berkat kekompakan Bumdes Alasmalang, pasar ini berhasil pulih dan ramai pengunjung hingga saat ini.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NR
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini