Cakap Berbahasa Lestarikan Budaya

Cakap Berbahasa Lestarikan Budaya
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Jika mengacu pada masa depan bahasa yang diharapkan menjadi bahasa persatuan, yaitu Jawa dan Melayu. Namun, dari dua bahasa itu, Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan”, pungkas Muhammad Yamin dalam pidatonya ketika momen sumpah pemuda, 28 Oktober 1928.

Seturut dengan hal itu, S. Takdir Alisjahbana mengatakan, “Negeri yang terdiri dari beribu-ribu pulau ini, selayaknya mempunyai bahasa dan dialog yang begitu banyak, namun bahasa dan dialog itu sebagian besar termasuk dalam satu rumpun bahasa-bahasa Melayu”.

Dua pernyataan ini mengukuhkan jejak muasal dari cikal bakal Bahasa Indonesia, kenyataan sosio-kultural atas keberadaan Bahasa Melayu sebagai lingua franca (bahasa penghubung). Tumbuh kembang bahasa Indonesia kemudian disambut dengan begitu antusias, bahkan menjadi pilar kebangsaan tatkala dirumuskan dalam pernyataan Sumpah Pemuda yang ketiga.

“Kami Poetera dan Poeteri Indonesia mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia”.

Bermula dari pernyataan tersebut, bahasa Indonesia secara resmi kemudian diakui sebagai bahasa nasional sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, Bab XV Pasal 36. Maka konsekuensi logis dari kedudukannya sebagai bahasa negara, maka Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa dalam penyelenggaraan administrasi negara. Tentu bukan hanya dipahami dalam ruang lingkup dokumen-dokumen resmi kenegaraan saja, akan tetapi dalam hal ini menyangkut aspek lainnya yakni pendidikan.

Berdasarkan putusan Undang-undang itu pula, perkembangan Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara kemudian terus menerus mengalami revisi dan penyempurnaan. Oleh sebab itu, sejak semula tercetusnya Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, mulailah pemberlakuan suatu sistem bacaan dan penulisan yang baku. Mulai dari Ejaan Van Ophuijen, Ejaan Soewandi atau dikenal pula Ejaan Republik, Ejaan Melindo hingga Ejaan, Ejaan Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK), Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kemudian terakhir yakni Ejaan Bahasa Indonesia (EBI).

Perkembangan bahasa melalui penyempurnaan ejaan ini, menurut Jusur Sjarif Badudu dalam bukunya Pelik-Pelik Bahasa Indonesia, menerangkan bahwa setidaknya terdapat dua faktor pendukung Bahasa Indonesia berkembang. Faktor pendukung tersebut tersebut antara lain terjadi karena penyerapan bahasa daerah dan pendukung lainnya yakni penyerapan dari bahasa asing.

Perkembangan itu tidak terlepas dari perhelatan Kongres Bahasa Indonesia (KBI) yang telah berlangsung sebanyak 12 kali. Penyelenggaraan perdana KBI diselenggarakan di Solo pada tahun 1938, KBI I yang diselenggarakan tepat pada 10 tahun pasca momen Sumpah Pemuda. Tepat pada 25-28 Oktober 2023 KBI XII terselenggara di Jakarta dengan tema “Literasi dalam Kebhinekaan untuk Kemajuan Bangsa”.

Dalam putusan KBI XII tersebut, terdapat empat putusan utama menyangkut sastra dan pembinaan bahasa, undang-undang bahasa daerah, pengembangan bahasa melalui jalur pendidikan serta terkait kematangan literasi masyarakat. Terdapat pula adagium yang menarik dari setiap putusan tersebut, yakni menekankan pada usaha-usaha penetapan “rencana induk dan peta jalan pemajuan dan pemartabatan bahasa dan sastra Indonesia”.

Menjadi menarik bila kita telaah secara seksama, bahwa bahasa Indonesia yang telah berumur dewasa ini, tidak patut untuk lantas bercukup diri. Proses-proses untuk merencanakan tumbuh kembangnya menjadi hal yang tidak boleh luput dari atensi bersama. Sebab, arus globalisasi dan internasionalisasi kebudayaan menjadi tantangan yang tengah dan akan dihadapi oleh bahasa Indonesia.

Mengutip tulisan Iwan Purwoto yang berjudul “Tantangan Berbahasa Indonesia Akademik” di Koran Kompas edisi 30 Oktober 2023, menyebutkan bahwa pentingnya melibatkan bahasa Indonesia dalam kultur akademik. Iwan melihat bahwa performa bahasa Indonesia dalam kultur akademik kerap kali didiskreditkan lewat pernyataan “Bahasa Indonesia tidak memadai” atau “Bahasa Indonesia tidak memiliki padanan kata yang sesuai dengan istilah-istilah akademis.”.

Disusul hal tersebut, eksistensi bahasa Daerah yang kian hari kian asing di telinga penuturnya merupakan persoalan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Laporan UNESCO dalam Atlas of The World’s Languages in Danger menyebutkan bahwa setidaknya terdapat enam ribu bahasa yang terancam punah. Hal itu menandai interaksi bahasa dari penutur aslinya yang kian hari terus berkurang dan meninggalkannya.

Melihat persoalan tersebut, Bangsa Indonesia dihadapkan dalam dua permasalahan linguistik yang cukup serius. Pertama, tantangan bahasa Indonesia sebagai bahasa keilmuan dan peradaban. Kedua, tantangan bahasa daerah menghadapi arus global. Dua persoalan ini perlu disikapi dengan bijak dan penuh perhatian dari seluruh elemen masyarakat. Perlunya suatu agenda nasional untuk membangun rasa dan jiwa kebahasaan yang kokoh.

Untuk membangun rasa dan jiwa kebahasaan yang kokoh tersebut, perlu adanya perubahan paradigma atas keberadaan Bahasa Nasional dan Bahasa Daerah. Masih terdapat stigma dalam masyarakat terhadap kecenderungan masyarakat pada cara berbahasa yang dinilai tidak pantas, sehingga membuat seseorang untuk memutuskan memakai atau mengajarkan salah satunya saja, alih-alih untuk bisa mahir keduanya.

Sebagai contoh, bahasa daerah tertentu memiliki suatu sistem bahasa yang bertingkat, seperti Sunda dan Jawa. Dimana penggunaan diksi ditentukan diatur berdasarkan lawan bicaranya. Sehingga seorang penutur dapat dinilai ‘kasar’, bila menggunakan kosakata yang tidak tepat. Stigma tersebut membawa konsekuensi pada sikap dan cara berbahasa penutur. Dalam unit keluarga tertentu, banyak dari orang tua cenderung memilih anaknya untuk berbahasa Indonesia saja, hal ini dilakukan untuk menghindarkan anak dari stigma negatif lingkungannya.

Padahal eksistensi bahasa di daerah merupakan modal yang begitu besar untuk menumbuh kembangkan bahasa Indonesia. Sebagaimana disampaikan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), saat ini bahasa Indonesia memiliki 127.000 kosakata. Jumlah itu masih terus diupayakan untuk bertambah, bahkan tidak kurang dari 25.000 kosakata bahasa daerah terus diusulkan. Tak salah bila di kemudian hari, Indonesia berpotensi menjadi negara lumbung bahasa dengan kosakatanya yang begitu melimpah.

Maka dari itu perlunya untuk merubah paradigma yang cukup radikal. Sebagai contoh kecil saja, pada kasus semula yang menitik beratkan pada tutur bahasa ‘kasar’ yang memuat stigma, menjadi tutur bahasa ‘lugas’, yang--dianggap--pantas. Tentu dengan memberikan apresiasi lebih juga kepada mereka yang tetap mempertahankan laku cara berbahasa daerah tertentu sebagai nilai lebih dan kehormatan dalam berbahasa, alih-alih diyakini sebagai bentuk stereotip semata.

Hal lainnya yang mesti diupayakan adalah keberadaan bangku akademik sebagai laboratorium bahasa Indonesia berskala internasional. Perlunya melatih kepekaan berbahasa Indonesia yang baik ketika menerangkan suatu modul dan diktat keilmuan tertentu. Mendorong setiap pendidik untuk cakap berbahasa Indonesia yang sesuai EBI, dan mengurangi kebiasaan diglosia bahasa asing.

Bersama dengan narasi tersebut, penulis mendorong pentingnya berbahasa dengan baik, bahkan merupakan tanggung jawab bersama warga negara. Lebih-lebih kepada para pendidik di seluruh jenjang serta para pemangku kebijakan di segala level. Mereka harus menjadi candradimuka, menjadi agen dan duta bahasa yang berperan serta aktif terhadap tumbuh kembang bahasa di negara Indonesia.

https://www.beritasatu.com/news/527025/bahasa-indonesia-punya-127000-kosakata-bahasa-inggris-lebih-dari-1-juta
(pastikan sertakan sumber data berupa tautan asli dan nama jika mengutip suatu data)

JJ. Badudu, Pelik-pelik Bahasa indonesia (1978)

Anton Wahyudi, Bahasa Indonesia (2013)

UUD 1945

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

IN
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini