Limasan, Rumah Adat Masyarakat D.I.Yogyakarta di Pulau Jawa: Ini Ceritaku Menginap Disana!

Limasan, Rumah Adat Masyarakat D.I.Yogyakarta di Pulau Jawa: Ini Ceritaku Menginap Disana!
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Sejauh mata memandang, tidak ada tembok semen yang mengelilingi kami, hanya ada papan dan tiang kayu yang terbuat dari pohon Jati (Tectona grandis). Hal ini tidaklah mengherankan karena disini memang sangat cocok untuk ditanami pohon tersebut. Gunungkidul merupakan daerah dengan jenis tanah yang berkapur karena berada pada Kawasan Karst Gunungsewu. Tahukah Kawan GNFI bahwa pohon ini sangatlah unik? Pada musim kemarau pohon ini akan ‘meranggas’ atau menggugurkan daunnya. Hal ini merupakan bentuk dari sistem pertahanan diri pada musim kemarau untuk mengurangi tingkat penguapan air yang tinggi. Biasanya dimiliki oleh pohon bercirikan daunnya yang lebar dan rata, yah seperti pada ciri khas daun pada pohon Jati ini. Berdasarkan sumber dari www.perhutani.co.id, kayu dari pohon Jati ini memiliki kelas awet I-II yang merupakan kelas awet terbaik. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta memilih untuk menggunakannya sebagai bahan utama membangun rumah adat Limasan.

Pengalaman Menginap di Rumah Limasan

Sore itu kami sampai di depan rumah kayu, tidak ada pagar besi baik yang pendek ataupun tinggi, hanya ada tanaman pendek rapat yang mengitari rumah sebagai penanda batas antara rumah dengan jalan umum. Area lahannya sudah di semen yang menandakan sebagai jalan utama dari rumah ke jalan umum ataupun sebaliknya. Di kanan dan kirinya terdapat sebidang lahan berukuran kecil yang digunakan untuk menanam bunga dan juga tanaman pertanian seperti cabai, tomat, jeruk dan lainnya.

Di depan kami berdiri bangunan kayu dengan atap genting kripik (genting lawas). Bangunan itu tidak di cat dengan berbagai warna namun hanya terlihat warna coklat khas dari warna asli kayu. Ciri khas lainnya adalah meteran listrik yang dibungkus dengan kotak berbahan kayu khas model lawas pun masih terpasang di bangunan itu. Begitupun dengan nomor rumah, masih menggunakan plat berwarna hijau tua dengan penomoran lawas yang terpasang di dinding rumah bagian depan. Rumah itu berada sedikit lebih tinggi dari jalan, ada tumpukan kayu bakar di depannya yang menandakan pemiliknya masih menggunakan kayu bakar untuk memasak di dapurnya. Selain masih menggunakan genting asli, atapnya juga tersusun dari empat sisi dengan masing-masing bagian berbentuk limas, hal inilah yang membuatnya disebut sebagai rumah Limasan.

Di dalam rumah, kami menginjakkan kaki di lantai tanah yang sudah dipadatkan, kemudian ada dipan kayu besar di sisi kiri dan ada satu set kursi kayu di sisi kanan. Pada bagian atas terlihat jelas usuk kayu yang menjadi penyangga genting lawas itu. Hal lain yang menarik adalah adanya beberapa tiang penyangga utama bangunan tersebut dengan dindingnya terbuat dari kayu atau biasa disebut gebyok. Rasanya ruang utama itu terasa lapang dan bernuansa sangat alami bagi kami yang terbiasa hidup di perkotaan dan juga sangat terasa sekali nuasana tradisionalnya yang begitu kental.

Di bagian tengah terdapat beberapa kamar tidur, dan di bagian belakang terdapat dapur tradisional yang mengeluarkan asap, dan di belakang rumah terdapat halaman yang sudah di semen, sebuah sumur, dua kamar mandi, dan kandang kambing. Ada juga ayam dan bebek yang berseliweran saat kami menuju kamar mandi dengan udara yang cukup sejuk kala itu.

Selesai berkeliling, malam itu kami dihidangkan makanan khas Gunungkidul, bukan belalang goreng tetapi berupa nasi bakul, tempe garit goreng, telur, dan juga sayur lombok ijo. Kawan GNFI tentu sudah tidak asing dengan sayur ini ya, sesuai namanya, sayur ini berisi cabai hijau yang dicampur irisan tempe berbentuk kecil, lalu dimasak dengan santan. Akhirnya kami pun beristirahat di ruang kamar yang tentu saja berdinding gebyok dan beratapkan usuk yang menyangga genting kripik. Di atas dipan kayu itu hanya terdengar suara jangkrik yang sangat merdu dan membuat kami segera terlelap.

Antara Limasan vs Joglo, Adakah Filosofinya?

Menurut budaya.jogjaprov.go.id, bangunan Limasan merupakan pengembangan dari bangunan Joglo. Dan berdasarkan sumber dari www.liputan6.com, ada makna filosofi yang mendasarinya. Rumah Limasan memiliki empat tiang yang disebut soko guru yang menggambarkan kekuatan dari empat penjuru mata angin, sehingga masyarakat meyakini bahwa berlindung di rumah tersebut dapat melindungi kita ketika ada bencana datang. Ada tiga pintu utama yaitu pintu utama di tengah dan pintu yang lain di kanan dan kiri bagian belakang. Tata letak pintu ini melambangkan kupu-kupu yang sedang berkembang dan berjuang di dalam sebuah keluarga besar. Selain itu, filosofi dari pintu rumah yang ada di tengah adalah keterbukaan dan kedekatan antara penghuni rumah dengan tamu. Biasanya rumah ini memiliki teras dengan ukuran yang cukup luas yang berfungsi untuk melakukan interaksi sosial seperti silaturahmi antara penghuni rumah dengan masyarakat lain. Pagar pada rumah ini tidak terbuat dari bambu namun dari pagar mangkok (Polyscias scutellaria) ini berasal dari tanaman perdu dengan ketinggian kurang dari satu meter, maknanya agar interaksi antar tetangga atau masyarakat lebih mudah terjadi dan terjalin dengan baik. Hal-hal inilah yang menjadi penyebab dan juga menjadi ciri khas masyarakat Jawa yaitu memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

Makna Rumah Bagi Masyarakat Jawa

Kawan GNFI, dari awal kita banyak belajar mengenai apa dan bagaimana rumah Limasan, tetapi adakah yang tahu apa sebenarnya makna rumah itu sendiri bagi masyarakat di Pulau Jawa? Asti Musman dalam bukunya yang berjudul Membangun Rumah Ala Orang Jawa: Mengungkap Makna Rumah Orang Jawa dari opac.isi.ac.id menyebutkan bahwa ada anggapan yang keliru perihal penggambaran orang Jawa. Orang Jawa digambarkan dengan orang yang sederhana, tidak memikirkan kenyamanan dalam kehidupannya, seperti kata pepatah bahwa urip mung mampir ngombe (hidup hanya untuk mampir minum) maksudnya hidup hanya sesaat di dunia dan seakan orang Jawa tidak peduli dengan kebendaan dan segala yang menjadi kesuksesan duniawi. Anggapan itu ternyata keliru ya terutama untuk seorang pria atau laki-laki, seorang lelaki Jawa dianggap sempurna hidupnya jika sudah memiliki lima hal yaitu wisma (rumah), turangga (kuda), kukila (burung), wanodya (wanita) dan curiga (keris). Pandangan hidup ini (kejawen) juga mempengaruhi gaya hidup atau kesempurnaan hidup menurut orang Jawa sehingga segala laku atau tindakan orang Jawa dalam kehidupannya selalu bersandar pada nilai filosofis yang sudah mengakar kuat dalam budayanya.

Rumah Limasan dari DIY di Pulau Jawa, Indonesia merupakan salah satu warisan budaya yang tidak saja sarat dengan detail makna filosofinya namun juga ada kebijaksanaan yang dapat kita pelajari sebagai generasi penerus bangsa ini. Inilah ceritaku, hai Kawan GNFI, ayo kita sama-sama belajar budaya Indonesia lainnya!

#kabarbaiksatuindonesia

Sumber:

https://www.perhutani.co.id/product/kayu-jati/

https://budaya.jogjaprov.go.id/artikel/detail/Mengenal-Bangunan-Berarsitektur-Tradisional-Jawa-Bangunan-Limasan

https://www.liputan6.com/regional/read/5052551/asal-mula-penamaan-joglo-rumah-adat-dari-yogyakarta-dan-jawa-tengah?page=2

https://opac.isi.ac.id/index.php?p=show_detail&id=40745#gsc.tab=0

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AP
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini