Meningkatkan Sinergitas Peran Pemuda dan Teknologi dalam Upaya Pelestarian Budaya

Meningkatkan Sinergitas Peran Pemuda dan Teknologi dalam Upaya Pelestarian Budaya
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

“Technology is best when it brings people together.” - Matt Mullenweg, Social Media Entrepreneur

Beberapa tahun terakhir, disadari atau tidak, masyarakat sudah memasuki era digital yang mana ditandai dengan adanya pergeseran besar (big shifting) yakni dari teknologi mekanik dan analog menuju teknologi digital. Hal ini menjadikan seluruh sektor negara baik dari segi ekonomi, pendidikan, utamanya budaya mulai berangsur – angsur melebur dalam fenomena digitalisasi (digital transformation).

Menurut McGrath (2010), transformasi digital merupakan proses mengintegrasikan teknologi digital dalam semua aspek dan operasi organisasi. Keduanya akan mengarahkan pada perubahan infrastruktur dalam pengoperasian dan pemberian nilai kepada pelanggan. Selain itu, untuk mewujudkan kesuksesan transformasi digital idealnya perlu menyinergikan beberapa komponen yakni teknologi, sumber daya manusia, dan proses. Tren transformasi digital yang terjadi di seluruh dunia tentunya akan menjadi titik awal perubahan yang cukup signifikan. Salah satu titik awal perubahan yang tak bisa dinafikan yakni fenomena globalisasi.

Setiap zaman, tentu memiliki masanya” merupakan salah satu adagium yang cocok menggambarkan kondisi kehidupan manusia dengan segala perkembangan yang sudah dilaluinya. Maka wajar, bila hari ini kata “modern” dan “canggih” sudah cukup mewakili kondisi kehidupan manusia. Tentu modernitas dan kecanggihan yang dirasakan manusia hari ini tak terlepas dari peran melejitnya fenomena globalisasi dari masa ke masa. Mulai dari akses berkomunikasi yang super cepat, bebas dan luas tanpa manusia harus bepergian dan merasa kelelahan. Pun juga bisa saling berbagi informasi agar dapat menjadi wacana dan ilmu bagi yang mampu meraih hikmah dari fenomena globalisasi.

Namun dibalik modernitas dan kecanggihan yang disuguhkan, sisi lain yang tidak disadari yakni manusia terjebak untuk mengikuti arus dimana mereka seakan – akan tidak memiliki batasan (boundary) bahkan bisa melalaikan jati diri dan bangsanya. Walhasil, mulai banyak realita yang bermunculan dan menegaskan bahwa putra – putri bangsa lebih memilih karya maupun kebudayaan baru.

Tentu saja pilihan tersebut terjadi sebab merasa bahwa kebudayaan baru dinilai lebih praktis, fleksibel serta lebih membaur dengan lifestyle zaman sekarang. Hal ini sejalan dengan teori Malinowski bahwa masyarakat akan lebih cenderung memilih budaya yang lebih aktif dan tinggi dan memberikan pengaruh pada budaya yang lebih pasif dan rendah melalui proses kontak budaya.

Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa masyarakat memang lebih condong melihat dan mengimplementasikan kebudayaan Barat dibanding bangsa sendiri dalam kehidupan sehari - hari. Akibatnya tanpa disadari, muncullah beragam masalah dalam ranah kebudayaan. Adapun beberapa diantaranya yakni seperti hilangnya jati diri atau budaya asli dalam suatu daerah, rapuhnya kecintaan individu pada tradisi dan budaya, sifat bergotong royong maupun kekeluargaan.

Selain dari faktor internal, fenomena globalisasi bisa juga terjadi lantaran ketidaksiapan sebagian unsur eksternal dalam menerima kehadiran fenomena tersebut. Bila fenomena globalisasi dibiarkan tanpa tindakan dan solusi, maka bentuk kelalaian individu maupun masyarakat pada budaya sendiri tentu akan menjadi kehinaan serta menurunkan kemuliaan dan martabat bangsa.

Mensinergikan Peran Pemuda dan Teknologi

Dalam berbagai literatur sejarah, pemuda selalu mengambil peran dalam perubahan. Termasuk halnya dalam upaya pelestarian budaya. Agar kebudayan tak sampai punah bahkan terlupakan oleh para generasi, sebisa mungkin para pemuda menjadi sosok garda terdepan. Salah satu sarana yang bisa mereka gunakan sebagai tameng rapuhnya kecintaan generasi pada budaya yakni dengan optimalisasi penggunaan teknologi.

Bila penerapan optimalisasi teknologi bisa ideal, maka akan terwujud peradaban modern tanpa mereduksi cita – cita dan nilai – nilai luhur maupun budaya bangsa. Maka dari itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar penerapan teknologi oleh para pemuda dapat berjalan on the track sesuai dengan cita – cita yang ingin diwujudkan. Menurut Hildigardis (2019), upaya pelestarian budaya dapat dilakukan melalui pengalaman budaya (culture experience) dan pembinaan budaya (culture knowledge).

Pengalaman budaya (culture experience) adalah merupakan aktivitas dimana para pemuda perlu untuk mengoptimalisasikan diri agar dapat terjun dan mencari pengalaman kultural. Misalnya, meningkatkan pemahaman tentang kebudayaan secara mendetail. Bila di suatu daerah dikenal karena tariannya yang khas, maka penting bagi pemuda untuk memahami gerak dan filosofi tarian tersebut. Inilah hakikat dari penerapan pengalaman budaya. Apalagi di era kecanggihan teknologi seperti sekarang, kemudahan akses informasi tentu akan memberikan peluang pada pemuda untuk berselancar dan berdiskusi lebih lanjut terkait budaya yang sedang digeluti dan dipahami.

Selain terjun dan mendalami budaya, maka kelestarian budaya dapat dilakukan dengan pembinaan budaya (culture knowledge). Sederhananya, optimalisasi pelestarian budaya dapat dilakukan dengan mewadahi fasilitas persebaran informasi budaya kepada publik. Tentu fasilitas dapat dibuat beragam mulai dari wadah untuk pengembangan budaya, peningkatan edukasi atau diorientasikan pada pengembangan pariwisata. Keseluruhan fasilitas tersebut bukan hanya disiapkan secara fisik, namun juga terintegrasikan dengan teknologi. Sehingga di masa depan, generasi akan terus memiliki informasi dan memahami cara mengenal budaya tersebut.

Sinergitas antara pemuda dan teknologi dalam melestarikan budaya pun juga dapat dimaksimalkan dengan menerapkan prinsip ala STIFin (3 Kerja AS) yakni kerja ker(AS), kerja cerd(AS) dan kerja ikhl(AS).

Prinsip kerja ker(AS) bermakna kesiapan pemuda untuk terlibat aktif dalam menggelorakan semangat bekerja keras untuk mewujudkan bersama tercapainya pelestarian budaya secara maksimal. Sedangkan prinsip kerja cerd(AS) menjadi pengingat bagi para pemuda untuk tidak sekedar bekerja keras namun menggunakan strategi yang jitu. Pun juga dapat memanfaatkan teknologi dengan baik sehingga pemuda tetap menjadi user bukan follower. Prinsip selanjutnya yakni prinsip kerja ikhl(AS) dimana mengharuskan pemuda untuk memiliki kematangan emosional dan sikap yang baik utamanya dalam pemanfaatan teknologi. Sehingga upaya persebaran terkait informasi pelestarian budaya yang dilakukan merupakan dorongan kesadaran dimana bukan sekedar menambah keuntungan melainkan juga menebar kebaikan dan bermanfaat bagi sekitar.

Last but not least, bukan suatu yang mustahil bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan sinergitas pemuda dan teknologi dalam pelestarian budaya. Pun juga bukan narasi dan wacana belaka. Namun, untuk mewujudkannya tentu tidak bisa memberatkan satu sisi saja. Hal ini tentu membutuhkan seluruh komponen baik dari sisi personal individu, masyarakat serta regulasi negara dalam pengembangan untuk tercapainya cita – cita mulia. Nor Rahma Sukowati

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini