Legenda Buaya Kuning Masyarakat Suku Banjar

Legenda Buaya Kuning Masyarakat Suku Banjar
info gambar utama

Kawan GNFI yang pernah berkunjung ke Kota Banjarmasin, pasti sudah tidak asing lagi dengan slogan "Kota Seribu Sungai". Mantan ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan ini menjadikan sungai sebagai tumpuan bagi sektor perdagangan dan pariwisata daerah. Selain menjadi jalur perdagangan dan aktivitas pariwisata, keberadaan sungai di Kota Banjarmasin juga melahirkan banyak cerita mistis, lo, Kawan GNFI.

Salah satu legenda yang paling banyak diceritakan oleh masyarakat Suku Banjar adalah mengenai keberadaan Buaya Kuning. Menurut penuturan para datuk, kepercayaan memelihara Buaya Kuning dilakukan secara turun temurun. Hal tersebut bertujuan agar ilmu atau kesaktian yang dimililki oleh seseorang tidak akan hilang dan dapat diteruskan kepada anak cucunya kelak.

Mengenal Suanggi, Mitos, Legenda, dan Kepercayaan Masyarakat di Papua

Asal Usul Buaya Kuning

Banyak legenda yang menceritakan mengenai keberadaan Buaya Kuning. Jika Kawan GNFI pernah membaca atau mendengar cerita rakyat dari Kalimantan Selatan mengenai Putri Junjung Buih, Kawan GNFI pasti tahu bahwa Putri Junjung Buih muncul ke permukaan air melalui buih yang sangat banyak. Nah, menurut beberapa kisah, Buaya Kuning merupakan jelmaan dari sosok Putri Junjung Buih tersebut.

Ada juga cerita lain yang menyebutkan bahwa Buaya Kuning berasal dari seorang bayi yang menghilang secara misterius tidak lama setelah dilahirkan. Banyak kepercayaan yang meyakini bahwa pada zaman dahulu, ada seorang perempuan yang mengandung bayi kembar. Karena suami dari perempuan tersebut ingin memperoleh kesaktian, maka salah seorang dari bayi mereka menghilang dan menjadi Gampiran. Bagi masyarakat suku Banjar, Gampiran memiliki makna seperti kembaran. Gampiran diyakni akan menolong keluarga tersebut jika terjadi bahaya atau malapetaka.

Bagi sebagian masyarakat Suku Banjar lainnya, Buaya Kuning dipercaya sebagai makhluk gaib yang melakukan perjanjian dengan manusia. Isi perjanjiannya juga beragam, lo, Kawan GNFI. Ada yang berkaitan dengan kesaktian, kemakmuran (kekayaan), hingga panjang umur. Sebagai gantinya manusia dan anak cucunya kelak harus merawat dan memelihara Buaya Kuning tersebut melalui Ritual Malabuh.

Menelusuri Jejak Sejarah Kubuang Tigo Baleh: Dari Legenda Datuk Parpatih Nan Sabatang hingga Kearifan Lokal

Ritual Malabuh

Meskipun identik dengan tradisi gaib, tetapi masyarakat Suku Banjar didominasi oleh kaum Muslim dan merupakan penganut Islam yang saat. Bahkan tidak sedikit yang memberikan label bahwa masyarakat Suku Banjar adalah masyarakat yang agamis.

Perpaduan agama islam dan kepercayaan sebagai bagian dari budaya masyarakat Suku Banjar merupakan dua unsur yang tidak bisa dipisahkan. Bagi masyarakat Suku Banjar, agama dan budaya adalah komponen kehidupan yang menjadikan mereka lahir dan hidup. Oleh sebab itu, sekalipun banyak mendapat kritik tentang ritual Malabuh yang berkaitan dengan keberadaan Buaya Kuning, tradisi tersebut tetap bertahan hingga saat ini.

Malabuh atau menyampir adalah proses meletakkan makanan kepada Buaya Kuning di dalam air sebagai sesajen. Proses ini umumnya dilakukan sebagai bagian dari tradisi kepemililikan Buaya Kuning atau pada acara-acara tertentu; misalnya menyambut 7 bulan kehamilan anggota keluarga dan perayaan usia anak yang memasuki 1 tahun. Adapun makanan yang disiapkan untuk Malabuh biasanya berupa lakatan (ketan), hintalu bejarang (telur rebus), pisang, kopi manis, dan kopi pahit.

Sebelum dilabuhkan, biasanya ada seorang Tetuha Kampung atau pemuka agama yang akan membacakan doa sesuai syariat Islam. Setelah selesai dibacakan doa, maka lakatan (ketan) dan hintalu bejarang (telur rebus) tadi akan dihanyutkan atau ditenggelamkan ke sungai sebagai simbol memberikan makan kepada Buaya Kuning. Sementara sisa makanan lainnya akan dibagikan kepada tetangga dan warga sekitar.

Legenda Arca Totok Kerot, Kutukan Raja untuk Sang Putri Pemberontak

Nah, ritual Malabuh ini bisa Kawan GNFI jumpai di Kota Banjarmasin, tepatnya di Sungai Bilu (Lokasi Pariwisata di Kawasan Kampung Hijau), Sungai Lulut dan Pengambangan, serta di sekitar Kawasan Produksi kain Sasirangan di Sungai Jingah.

Tertarik untuk melihat ritualnya secara langsung? Atau Kawan GNFI tertarik untuk melihat Buaya Kuning yang menjadi legenda bagi masyarakat Suku Banjar?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini