Argumen Kritis Perjalanan Pendidikan Nasional

Argumen Kritis Perjalanan Pendidikan Nasional
info gambar utama

Pendidikan pada masa pra kemerdekaan dibuat oleh Belanda dimana pada masa itu pendidikan tinggi lebih diutamakan bagi anak-anak Belanda. Tidak semua rakyat Indonesia bisa mengenyam pendidikan tinggi yang sama, hanya beberapa orang di kalangan bangsawan dan orang kaya saja yang dapat merasakannya. Selain itu juga sekolah pada zaman itu sangat mahal dan di sisi lain anak-anak belanda enggan untuk berbaur dengan pribumi (Sultani, Dkk, 2020).

Artinya pada masa itu hanya kaum bangsawan dari Indonesia yang bisa mendapatkan pendidikan, sedangkan pribumi hanya mendapatkan pendidikan dasar seperti berhitung, membaca dan menulis, hal itu juga hanya untuk kepentingan belanda sendiri. Karena dengan memberikan pendidikan dasar kepada pribumi, maka bangsa belanda bisa mempekerjakan orang pribumi dengan upah yang minimum.

Tokoh pendidikan di Indonesia yang terkenal yaitu Ki Hadjar Dewantara, dengan julukannya sebagai bapak Pendidikan Nasional merupakan seseorang dari keluarga bangsawan sehingga Beliau memiliki kesempatan menempuh pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan rakyat biasa. Ki Hajar Dewantara pernah diasingkan ke negeri Belanda karena pernah menulis karangan yang dimuat dalam surat kabar de express milik Douwes Dekker dengan judul “Seandainya aku seorang belanda” (Saiful, 2019).

Pada saat diasingkan ke Belanda Ki Hajar Dewantara memanfaatkan kesempatan itu untuk banyak belajar mengenai pendidikan sehingga ketika Ki Hadjar Dewantara kembali ke Indonesia beliau mencurahkan perhatiannya dalam bidang pendidikan sebagai bentuk perjuangan untuk meraih kemerdekaan.

Hal itu sesuai dengan argumen Supardan (2008) yang menyatakan bahwa para tokoh pendidikan dimasa kolonial dapat melihat pendidikan yang tidak menyeluruh dan membebaskan masyarakat, sehingga mereka tidak “mengiyakan” terhadap sistem pemerintahan yang berlaku saat itu.

Apakah Study Tour Masih Relevan dengan Pendidikan di Indonesia?

Dari adanya penjajahan yang terjadi, menjadikan Ki Hadjar Dewantara memiliki dorongan untuk memaknai pendidikan melalui filosofi dengan tujuan untuk memerdekakan manusia dalam aspek lahiriah (kemiskinan dan kebodohan), dan batiniah (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).

Ki Hadjar Dewantara menanamkan pada guru supaya menjadi pendidik yang berkualitas berdasarkan kepribadian ataupun rohani, dan juga menjadi pahlawan dalam menyiapkan generasi bangsa yang dapat membela serta mengharumkan nama nusa dan bangsa. Peran pendidik yang utama yaitu menjalankan fungsinya sebagai role model/ teladan bagi peserta didiknya, kemudian menjadi fasilitator dalam proses kegiatan belajar mengajar (Sugiarta Dkk, 2019).

Pendidikan yang sesungguhnya adalah memerdekakan atau membebaskan manusia sehingga bisa mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Namun, ketika masa penjajahan dan ada tingkatan kasta dalam dunia pendidikan maka pendidikan belum bersifat menyeluruh dan belum didapatkan oleh semua kalangan.

Kondisi pendidikan setelah merdeka mengarah pada perubahan proses pembelajaran dan landasan pendidikan. Pendidikan di Indonesia pada saat ini memiliki ciri khas sendiri, tidak lagi mengikuti konsep pendidikan Belanda. Namun, sesuai dengan Sulindawati, 2018 mengatakan bahwa sistem pendidikan tidak serta merta langsung didapat dengan sempurna, hal itu adalah hasil perkembangan dan sejarah pengalaman bangsa kita dimasa lalu.

Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, banyak terjadi perubahan kurikulum di Indonesia, perubahan yang terjadi yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, serta yang terbaru kurikulum 2013 (Ananda, 2021). Selain itu, perubahan terakhir yang diterapkan pada saat sekarang adalah kurikulum merdeka.

Kurikulum merdeka diterapkan untuk memerdekakan peserta didik dan juga guru, dimana mereka bebas untuk berpikir kritis, dapat memecahkan masalah, kemampuan komunikasi dalam berkolaborasi, serta melakukan inovasi yang dapat bermanfaat dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pajak, Tonggak Kemajuan Pendidikan dan Kesehatan Bangsa

Perubahan kurikulum sangat diperlukan seiring perkembangan zaman, karena pendidikan juga akan mengikuti tuntutan zaman yang selalu bergerak untuk menuju lebih baik lagi, baik bagi pendidik maupun peserta didik (Putri, 2019).

Apabila kita menginginkan pendidikan yang bermutu sesuai dengan tuntutan zaman namun tidak melupakan dasar Negara sebagai landasan sistem pendidikan, maka memerlukan kerjasama oleh seluruh sumber daya manusia yang terlibat didalam pendidikan.

Menurut, Elmore dan Sykes (1992) bahwa ketika kurikulum diformulasi, dikembangkan, dan diimplementasikan di sistem persekolahan hingga ke dalam kelas, mekanisme pelaksanaan mempengaruhi praktek pembelajaran yang selanjutnya berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.

Hal itu juga sesuai dengan pendapat Putri (2019) Dampak dari kurikulum pendidikan yang bergonta ganti bukan hanya memberikan dampak negatif terhadap siswa yang semakin merendah prestasinya sebetulnya perubahan ini juga dapat berdampak pada sekolah yaitu pada tujuan atau visi sebuah sekolah juga akan ikut kacau.

Adanya perubahan kurikulum merdeka yang sudah diterapkan pada saat ini menjadi tantangan tersendiri baik bagi peserta didik maupun pendidik dituntut untuk lebih kreatif dalam proses pembelajaran (Jannah, 2022).

Pendidikan di Indonesia mengalami berbagai perubahan kurikulum tentunya untuk mengikuti perkembangan zaman dan menyelesaikan problem yang muncul dalam dunia pendidikan. Pada saat sekarang kurikulum merdeka sudah bagus karena dengan kurikulum ini baik pendidik dan peserta didik diberi keleluasaan untuk menerapkan pendidikan sesuai dengan kebutuhan sehingga bisa lebih kritis, kreatif, dan inovatif dalam pelaksanaanya.

Untuk itu, dengan adanya kurikulum merdeka semoga tidak terjadi perubahan kurikulum lain dengan waktu yang singkat sehingga penerapan kurikulum merdeka bisa mencapai tujuan pendidikan seperti yang diharapkan dan sesuai dengan tujuan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara.

Tingkatkan Edukasi untuk Lawan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Pendidikan

Daftar Rujukan:

  • Ananda, A. P., & Hudaidah, H. (2021). Perkembangan Kurikulum Pendidikan di Indonesia dari Masa ke Masa. SINDANG: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Kajian Sejarah, 3(2), 102-108.
  • Elmore, R., and Sykes, G. 1992. Curriculum policy. In Philip W. Jackson (Ed.), Handbookofresearch on curriculum: A project of the American Educational ResearchAssociation. New York: Macmillan
  • Jannah, F., Irtifa’Fathuddin, T., & Zahra, P. F. A. (2022). Problematika Penerapan Kurikulum Merdeka Belajar 2022. Al Yazidiy: Jurnal Sosial Humaniora dan Pendidikan, 4(2), 55-65.
  • Muhammad Saiful Islam, (2019), Education Discovery “Episode Ki Hajar Dewantara”. Goa: Pustaka Taman Ilmu Hlm 1.
  • Putri, R. (2019). Pengaruh Kebijakan Perubahan Kurikulum Terhadap Pembelajaran Disekolah.
  • Sugiarta, M. dkk. (2019). Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara (Tokoh Timur). Jurnal Filsafat Indonesia, 2(3). 124-136
  • Sulindawati, N. L. G. E. (2018). Analisis Unsur-Unsur Pendidikan Masa Lalu Sebagai Dasar Penentuan Arah Kebijakan Pembelajaran Pada Era Globalisasi. Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial, 4(1), 51-60.
  • Sultani, Z. I. M., & Kristanti, Y. P. (2020). Perkembangan dan Pelaksanaan Pendidikan Zaman Kolonial Belanda di Indonesia Abad 19-20. Jurnal Artefak, 7 (2): 29, 44.
  • Supardan, D. (2008). Menyingkap perkembangan pendidikan sejak masa kolonial hingga sekarang: Perspektif Pendidikan Kritis. Generasi Kampus, 1(2).

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini