Pahlawan Nasional yang Wafat di Usia Muda

Pahlawan Nasional yang Wafat di Usia Muda
info gambar utama

Jenderal Besar Soedirman wafat di usia 34 tahun, ketika negara baru saja bebas dari keinginan penjajah untuk merebut kembali nusantara. Ia sempat hantarkan rakyat Indonesia ke gerbang kemerdekaan yang sebenarnya, lima tahun setelah proklamasi berkumandang.

Selain Soedirman, ada Pahlawan Nasional lain yang wafat muda saat membela negara. Perjuangan mereka menunjukkan betapa tinggi semangat kebangsaan kaum muda tanah air. Nama-nama berikut dihimpun hingga penetapan gelar Pahlawan Nasional di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. [Baca: Berpulangnya Sang Jenderal Besar]

Usia Belasan:

Martha Christia Tiahahu (wafat di usia 17 tahun) meneruskan perjuangan ayahnya Kapitan Pattimura yang dijatuhi hukuman gantung. Setelah memimpin berbagai aksi melawan Belanda, ia pun tertangkap dan diasingkan ke Batavia. Selama di perjalanan, ia melakukan aksi mogok makan hingga jatuh sakit dan meninggal.

Usia 20-an:

Supriyadi (22) merupakan Komandan Kompi Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar. Melihat kekejaman Jepang saat romusha, ia memberontak. Dalam gerilya, ia tertangkap dan diduga dibunuh pasukan Jepang.

Robert Wolter Monginsidi (24) merupakan guru, namun berhenti mengajar untuk bergabung dengan pejuang muda Indonesia saat kedatangan kembali Belanda. Ia memimpin pemberontakan dan dijatuhi hukuman mati ketika menolak diajak berunding.

Radin Inten II (24) memimpin berbagai serangan rakyat Lampung kepada Belanda. Berkali-kali ia melakukan perlawanan langsung, hingga gugur dalam perjuangan.

RA Kartini (25) lahir di keluarga ningrat Jepara, yang kecewa pada aturan adat yang tidak membolehkan perempuan untuk bersekolah tinggi. Ia mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak perempuan untuk wujudkan cita-citanya akan persamaan hak perempuan dan laki-laki. Kartini meninggal tiga hari setelah melahirkan putranya.

Usman bin Haji Mohammad Ali (25) merupakan marinir Angkatan Laut yang ditugasi melakukan pengintaian di Singapura. Ia bersama tiga teman lain berhasil meledakkan sebuah bangunan di tengah kota Singapura. Sayangnya, mereka tertangkap patroli dan dijatuhi hukuman gantung.

Abdul Halim Perdanakusuma (25) pernah mendapat pendidikan navigator udara di Inggris. Saat kembali ke tanah air, ia bergabung dengan angkatan udara. Ia membuka hubungan luar negeri untuk mencari senjata bagi pejuang kemerdekaan. Pesawatnya jatuh dalam perjalanan pulang dari tugas negara di Bangkok.

Pierre Tandean merupakan ajudan Jenderal Nasution. Saat peristiwa G-30S/PKI, ia sedang berjaga di rumah Jenderal Nasution. PKI salah tangkap, mengira ia adalah Nasution. Ia pun dibunuh di lubang buaya bersama Pahlawan Revolusi lainnya.

Harun Bin Said (27) wafat akibat tertangkap patroli Singapura bersama Usman bin Haji Mohammad Ali.

R Iswahyudi (28) meninggal dalam tugas negara bersama Abdul Halim Perdanakusuma.

I Gusti Ngurah Rai (29) menyerang pendudukan Belanda di Tabanan, hingga satu datasemen menyerah. Namun Belanda melancarkan aksi balasan hingga membuat pasukan Ngurah Rai terdesak. Ngurah Rai serukan “puputan” yang bermakna perang habis-habisan, dimana ia dan pasukannya gugur dengan gagah berani.

Andi Abdullah Bau Messepe (29) merupakan putra mahkota dua kerajaan besar, Bone dan Gowa. Pasca proklamasi kemerdekaan, ia mengajak seluruh rakyatnya untuk memperjuangkan kemerdekaan hingga titik darah penghabisan. Tekadnya ini membuat Belanda ketakutan, lalu menangkap dan menembaknya mati.

Usia 30-an:

Mas Agustinus Adisucipto (31) bersama Suryadi Suryadarma mendirikan sekolah penerbangan pada Desember 1945. Sekolah ini hasilkan kader pejuang andalan, yang berani lakukan pemboman terhadap tangsi-tangsi Belanda. Adisucipto ditugaskan pemerintah RI untuk mencari bantuan obat-obatan, namun ketika hendak mendarat di Maguwo Yogyakarta pesawatnya ditembaki pesawat Belanda hingga ia dan enam rekan yang bersamanya tewas.

Ranggong Daeng Romo (32) awalnya bekerja pada pemerintah militer Jepang, namun berhenti setelah melihat kekejaman Jepang. Ia lalu membentuk pasukan untuk mempertahankan kemerdekaan, dan berhasil menggabungkan berbagai laskar rakyat Sulawesi. Daeng Romo gugur dalam pertempuran.

Supeno (33) menjabat sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan di masa Kabinet Amir Syarifuddin. Saat agresi militer Belanda, ia bergerilya bersama tentara rakyat menjauhi kota. Dalam gerilya ia ditangkap dan bersama enam pejuang lainnya dieksekusi mati.

Wage Rudolf Supratman (35) belajar musik dari iparnya. Rasa nasionalisme muncul ketika bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Pada Kongres Pemuda II di Jakarta yang hasilkan rumusan Sumpah Pemuda, untuk pertama kalinya ia memperdengarkan gubahannya berjudul "Indonesia Raya".

Tengku Amir Hamzah (35) merupakan keturunan Sultan Langkat yang merupakan pelopor Sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Sejak 1938 ia anjurkan pemuda untuk menggunakan Bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari, dan mengembangkan Bahasa Indonesia lewat sastra. Ia gugur dalam revolusi sosial yang dilakukan golongan kiri terhadap para bangsawan yang dianggap antri-republik.

Karel Satsuit Tubun (37) mengenyam pendidikan di Sekolah Polisi Negara. Ia ditugaskan menangani pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sumatera Barat. Saat peristiwa G-30S/PKI, ia bertugas menjaga kediaman Wakil Perdana Menteri II dan tertembak mati.

Kapitan Pattimura (37) merupakan Panglima Perang. Bersama pasukannya berhasil merebut benteng pertahanan Belanda. Setelah berhasil lolos dari berbagai insiden perlawanan, ia bersama para pemimpin perlawanan Maluku lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sebelum digantung, ia meneriakkan kata-kata penyemangat, “Pattimura-Pattimura tua boleh mati tetapi Pattimura-Pattimura muda akan bangkit kembali dan melawan.”

Yosaphat Sudarso (37) ditunjuk Presiden Soekarno sebagai Deputi Operasi untuk pembebasan Irian Barat dari Belanda. Patroli rutin di wilayah perbatasan yang ia lakukan membuat rencana pembebasan tercium Belanda. Belanda pun menembak kapal Sudarso.

KH Abdul Wahid Hasyim (39) memasukkan materi pelajaran umum ke pesantren. Sebagai kiai moderat, ia menjembatani perdebatan antara kubu nasionalis yang menginginkan bentuk negara kesatuan dan kubu Islam yang menginginkan bentuk negara sesuai syariat Islam. Ia turut merumuskan Pancasila. Saat menjabat sebagai Menteri Agama, ia mewajibkan pengajaran agama di sekolah dan mendirikan perguruan tinggi Islam (kini Universitas Islam Negeri). Kyai Wahid meninggal dalam kecelakaan mobil.

Sultan Hasanuddin (39) dingkat menjadi Sultan pada usia 24 tahun, ketika Belanda tengah berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Ia menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia timur untuk melawan Belanda. Hasanuddin terus berjuang sampai Benteng Sombaopu yang merupakan pertahanan terakhir Kerajaan Gowa jatuh ke tangan Belanda. Hingga akhir hidupnya, Hasanuddin tak mau bekerjasama dengan Belanda.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini