Payung Sebagai Simbol Status Sosial? Kok Bisa?

Payung Sebagai Simbol Status Sosial? Kok Bisa?
info gambar utama

Pemanasan global yang terjadi beberapa puluh tahun terakhir membawa Indonesia pada cuaca yang sulit diprediksi. Meski Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah memprediksi kondisi cuaca dan iklim sepanjang 2017 lebih baik ketimbang 2015 dan 2016 lalu, namun di beberapa daerah tetap terjadi pergantian cuaca yang ekstrim. Beberapa hari panas menyengat, kemudian hari-hari berikutnya hujan deras, terutama sepanjang bulan April ini.

Akhirnya bagi sebagian orang, payung jadi barang wajib yang harus terdapat di tas—di samping dompet dan hadphone. Namun tahukah Kawan bahwa pada masanya, dalam budaya kerajaan Jawa, payung memiliki fungsi lebih dari sekadar peneduh panas dan penghindar hujan?

seorang priayi yang dipayungi abdi ndalem. foto KITLV
info gambar

Jika kita lihat dalam potret keluarga atau tokoh kerajaan tradisional, terdapat satu benda yang selalu muncul namun seringkali dianggap tidak penting. Ya, ia adalah payung. Benda satu ini rupanya memiliki akar sejarah cukup panjang di tanah Jawa. Payung menempati posisi krusial pada masanya. Tidak main-main: benda ini menjabat sebagai simbol prestis yang menunjukkan dari kalangan bangsawan mana ia berasal.

Payung Dahulu Bukanlah yang Sekarang

Dalam budaya kerajaan Jawa, payung dikenal sebagai ‘songsong’. Biasanya seorang raja memiliki tiga jenis songsong: songsong gilap gubeng, songsong bawat, dan songsong agung. Pemegang songsong yang disbeut dua terakhir berhak ‘disembah’ tanpa batasan ruang dan waktu. Sementara songsong gilap biasanya dimiliki oleh para pangeran dan hanya berhak disembah sebanyak lima kali.

ilustrasi upacara keagamaan di Borobudur. Terlihat adanya payung-payung yang dipakai oleh petinggi kerajaan. Karya: anonim (tidak diketahui)
info gambar

Bambang Sularto dalam bukunya Upacara Labuhan Kesultanan Yogyakarta mengungkapkan bahwa setiap keturunan raja memiliki songsong yang bentuknya sama. Yang membedakan hanya cat dan streepnya. Warna dasar seperti emas, putih, hijau, biru, merah tua dan hitam merupakan pembeda pangkat dalam lingkungan priayi. Kelir atau warna emas disepakati sebagai warna paling tinggi, sedang yang terendah ialah hitam.

Lingkungan priayi menobatkan payung sebagai penanda seberapa tinggi jabatan mereka dalam struktur pemerintahan sehingga penggunaannya pun diatur. Keraton Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono IV, misalnya. Ia menerapkan larangan bagi siapapun untuk menggunakan payung di area keraton kecuali keluarga raja yang bergelar pangeran.

ilustrasi pembawa payung bangsawan di Jawa. foto oleh KITLV
info gambar

Keistimewaan payung tidak hanya sampai di sana. Keberadaannya yang sangat vital membuat ia diperlakukan secara khusus layaknya benda pusaka. Biasanya terdapat seorang abdi dalem yang ditugaskan untuk membawa payung bagi tuannya. Mereka akan melindungi tuannya dari cuaca, dan juga menemani tuannya dalam pertemuan antar bangsawan.

Namun ketika Indonesia memasuki zaman revolusi, di mana kaum ningrat harus mensejajarkan diri dengan rakyat, fungsi payung atau songsong ini pun perlahan menghilang. Pihak priayi kolot banyak terhuyung. Tidak ada lagi abdi dalem yang kemana-mana membawa payung. Ia akhirnya hanya jadi seonggok benda biasa sejak revolusi dimulai, dan panggilan ‘Bung!’ jadi panggilan favorit zaman perjuangan kemerdekaan.

potret tentara bambu runcing.
info gambar

“The Bamboo Spear Pierces The Payung!” ungkap sejarawan Anton Lucas dalam metafora yang pas dalam bukunya.

Ungkapan ‘bambu runcing menusuk payung’ tersebut merupakan sebuah gambaran bagaimana akhirnya priayi jawa harus kehilangan perlakuan khusus yang mereka dapatkan ketika revolusi dimulai. Payung yang digunakan sebagai simbol di sini menunjukkan bahwa benda tersebut memang memiliki hubungan yang erat dengan kalangan bangsawan.

Akhirnya, setelah sekian lama menanggung beban cukup berat sebagai simbol kelas bangsawan, payung pun harus tutup cerita. Berkat revolusi, hari ini siapapun bebas menggunakan payung tanpa larangan dan syarat-syarat yang merepotkan. Tidak ada lagi abdi dalem yang lari terbirit-birit yang menyongsong tuannya supaya tidak kena semprot. Tidak ada lagi metafor ‘bambu runcing menusuk payung’. Semua bisa pakai payung.

Nah kalau begitu, jangan lupa sedia payung sebelum hujan, ya!

*

GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini