Korea Utara dan Penghormatan pada Pemimpinnya

Korea Utara dan Penghormatan pada Pemimpinnya
info gambar utama

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah*

Belum lama ini, publik di hebohkan oleh pernyataan lama Mendagri Tjahyo Kumolo yang muncul lagi di media tentang permintaan beliau agar rakyat Indonesia bisa meniru cara rakyat Korea Utara menghormati pendiri negara.

Rakyat Korea Utara itu dari anak-anak kecil sampai orang tua begitu menghormati pemimpinnya dan ideologi negara, begitu kira-kira pernyataan Mendagri.

Mungkin Pak Tjahyo Kumolo sedang resah melihat bagaimana publik sering melakukan protes bahkan hujatan kepada pemeritah, presiden karena apapun yang di lakukan presiden selalu dianggap salah. Tapi apapun alasannya, sebelum kita setuju pada pendapat Mendagri itu lebih baik kita melihat dengan jeli bagaimana sebenarnya rakyat Korea Utara itu menghormati pemimpinnya.

Pemimpin dianggap seperti Tuhan

Pendiri negara Korea Utara Kim il Sung setelah perang Korea tahun 1950 an mengambil manfaat dari kehancuran negaranya akibat perang yang melibatkan Amerika dan Cina dengan memimpin negaranya secara otoriter. Seringkali ada hukuman yang berat bagi siapapun di negeri itu yang tidak menghormatinya. Sejak itu rakyatnya menghormatinya seperti orang memuja Tuhan, kondisi ini disebut cult of personality atau pemujaan terhadap figur .

Poster Kim Il Sung dan Kim Jong Il | Canoe.com
info gambar

Sebenarnya sejak Kim il Sung mulai berkuasa tahun 1948 rakyat mulai memujanya sebagai satu-satunya the Supreme Leader atau pemimpin agung yang menjadi satu-satunya sumber segala sumber di negerinya.

Banyak pengamat politik Korea Utara yang menyebukan bahwa derajat pemujaan rakyat Korea Utara terhadap kim il Sung melebihi pemujaan rakyat Uni Sovyet pada pemimpinya Joseph Stalin dan rakyat Cina terhadap Mao Zedong. Cult of personality ini kemudian menjadi faktor kuat rezim keluarga Kim langgeng menjadi pemimpin otoriter di negerinya.

Kim il Sung yang dianggap seperti Tuhan, dan anaknya Kim Jong-il yang meneruskan rezimnya sebagai anak Tuhan atau Sun of the Nation dengan mudah mengontrol rakyat dan negaranya selama bertahun-tahun. Untuk melanggengkan kekuasaannya disebutkan bahwa Kim il Sung pernah menghancurkan 2000 kuil Budha dan gereja-gereja dengan maksud agar rakyatnya tidak terpengaruh dengan agama-agama itu sehingga fokus pemujaan rakyatnya hanya pada dirinya.

Ketika Kim il Sung meninggal pada tahun 1994 negara menyatakan hari berkabung selama tiga tahun, dan bagi rakyatnya yang ketahuan tidak menghormati hari berkabung ini misalkan minum-minuman keras maka akan mendapat hukuman keras dari pihak aparat keamanan negara.

Cult of personality seperti yang terjadi di Korea Utara ini biasanya di barengi dengan kepercayaan-kepercayaan mistik yang mengelilingi figur yang di puja-puja itu. Misalkan ketika anaknya Kim il sung, yaitu Kim Jong-il lahir tahun 1942 di Gunung Paektu di Korea Utara (ada yang berpendapat bahwa sebenarnya dia lahir di Uni Sovyet) diumumkan oleh burung yang menyebabkan musim panas berubah menjadi musim semi dan bintang-bintang meneranggi langit serta munculnya pelangi. Dan ketika dia meninggal dunia tahu 2011 media-media di Korea Utara memberitakan bahwa lapis es di danau Chon di Gunung Paektu pecah dengan suara yang menggelegar dan badai salju menyerang daerah itu.


Seorang perempuan Korea Utara yang melarikan dirinya ke Cina dan kemudian mendapatkan suaka politik di Korea Selatan menjelaskan pada media waktu kecilnya menyaksikan bagaimana negara mencuci otaknya dengan kepercayaan bahwa Kim Jong-il adalah Tuhan dan bisa membaca pikirannya. Kim Jong-un cucu Kim il Sung yang sekarang menjadi pemimpin Korea Utara juga memperoleh pemujaan yang sama seperti kepada mendiang kakek dan ayahnya.

Dengan cara seperti itu dia mampu mempin Korea Utara dengan cara otoriter.

Menghormati pemimpin di alam demokrasi

Sebenarnya substansi dalam lanjutan pernyataannya Mendagri itu menjelaskan bahwa Indonesia itu ideologinya Pancasila maka menghormati pemimpin itu harus tetap berpegang teguh nilai-nilai Pancasila. Sampai disini pak Mendagri ada benarnya. Indonesia yang di sebut-sebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat, India tentu memiliki keterbukaan yang sebebas-bebasnya dalam berpendapat dan berserikat tapi harus tetap ingat pada nilai-nilai luhur agama, dan budaya sendiri. Kebebasan yang dimaksud tentu tidak serta merta persis dengan yang ada di negara – negara barat dimana orang boleh menghina presiden bahkan Nabi dengan seenaknya.

Akan tetapi kalau rakyat diminta Mendagri untuk meniru cara rakyat Korea Utara menghormati pemimpinnya seperti yang di sebutkan diatas dimana seorang pemimpin dipuja-puja berlebih-lebihan bahkan dianggap seperti Tuhan maka, banyak rakyat Indonesia tidak setuju.

Sejarah Indonesia pernah mengalami pemujaan rakyat terhadap pemimpinnya waktu itu Presiden Sukarno, yang memiliki beberapa gelar pemujaan antara lain sebagai Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi Indonesia dan bahkan oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) tanggal 15 Mei 1963 diangkat menjadi Presiden Seumur Hidup.

Selanjutnya pada jaman Orde Baru Suharto juga dianggap segala-galanya sehingga dapat memimpin secara otoriter selama lebih dari 30 tahun.

Tentu rakyat Indonesia tidak ingin kembali lagi seperti jaman dulu dalam menghormati pemimpinnya, apalagi meniru rakyat Korea Utara. Menghormati pemimpin dalam masa demokrasi ini haruslah wajar dengan tetap menjunjung nilai-nilai agama yang luhur dan budaya nya sendiri sebagai bangsa Indonesia. Bagi orang yang beragama Islam maka memuja orang lain melebihi Allah dzat Yang Maha Agung itu sudah Syirik – dosa yang tidak pernah diampuni.


*) Ahmad Cholis Hamzah, alumni University of London, Universitas Airlangga,
dosen STIEPERBANAS, STIESIA dan Wakil Rektor Universitas Sunan Giri

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini