Cerita ini merupakan pengalaman pada tahun 2015
Setting waktu pada tahun 2015
Beberapa waktu lalu, dalam kalender Islam kita memasuki bulan Muharram. Dalam penanggalan Jawa, masyarakat menyebutnya sebagai bulan Sura. Untuk menyambut bulan baru tersebut, biasanya diadakan ritual tradisi seperti menjamas keris, kungkum di kolam, begadang semalam suntuk, menanggap wayang, tirakatan, penyelenggaran selamatan, dan lain sebagainya.
Warga Desa Traji Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung termasuk salah satu masyarakat Jawa yang masih memegang teguh kepercayaan jika di bulan Sura harus digelar ritual turun-temurun. Apabila itu tidak dijalankan, konon keberuntungan tidak akan berpihak kepada mereka.
Selasa siang, (13/10), jalan yang melintasi Desa Traji yang menghubungkan Kecamatan Parakan dengan Kecamatan Ngadirejo telah ramai dipadati warga yang berduyun-duyun bersiap menyaksikan perayaan malam satu sura. Sembari menunggu malam hari tiba, mereka sibuk melihat-lihat barang dagangan yang dijajakan penjual tiban yang khusus meriahkan malam satu suro. Puluhan petugas kepolisian juga dikerahkan untuk berjaga dan mengurai kemacetan lalu-lintas.
Sedangkan di Balai Desa Traji diadakan pematangan konsep untuk perayaan kirab di malam hari. Para ibu sibuk memasak bahan makanan yang nantinya disusun menjadi gunungan. Para bapak mengecek kelengkapan uba rampe seperti naskah doa, blangkon, beskap, dan lain sebagainya. Anak-anak berlarian keluar masuk balai desa, yang sebenarnya tidak diizinkan karena berpotensi menimbulkan keributan dan gangguan. Semua sudah tidak sabar menantikan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
“Saya selalu menyenangi masyarakat yang masih melestarikan kebudayaan seperti ini. Apapun itu, kebudayaan jangan dipandang dari sisi kleniknya saja,” ujar Nara, mahasiswa asal Yogyakarta yang rela meluangkan waktunya untuk menonton secara langsung tradisi malam satu sura Desa Traji.
Tibalah waktunya, sekitar pukul 18.00 WIB para perangkat desa, kepala desa beserta istri, pager ayu, dan prajurit pengawal sudah lengkap dengan kostum masing-masing. Polesan make up telah dibubuhkan ke wajah mereka. Riasan khas adat Jawa ditambah balutan kebaya bagi perempuan dan beskap bagi laki-laki semakin menambah kental atmosfir budaya.
Mengenakan pakaian berwarna hitam, Tumarno, kepala desa dan sang istri tampak siap melakoni prosesi adat. Mereka akan dinikahkan kembali di hadapan para tetua desa, warga, dan perangkat desa. Sebelum acara dimulai, doa dipanjatkan untuk memohon kelancaran dan keberkahan. “Pengertian dinikahkan kembali di sini hanyalah simbol sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan yang telah melimpahkan rezeki kepada warga desa Traji,” tutur Untung Trimadi, salah satu perangkat desa.
Di atas meja para tamu yang hadir telah tertata rapi secangkir teh hangat, sekepal nasi putih beserta lauk, dan aneka jajanan pasar. Setelah doa dirapalkan, para tamu bergegas melahap makanan yang tersaji. Berkembang keyakinan jika doa yang dilantukan di malam satu sura sangat manjur untuk dikabulkan.
Selesai rangkaian upacara adat di balai desa, rombongan pengantin dan bala pengawalnya diboyong menuju Sendang Sidhukun yang berjarak sekitar 500 meter dari lokasi. Wakil Bupati Temanggung pun ikut berjalan kaki untuk mencapai Sendang. Diperlukan kehati-hatian karena masyarakat berjubel memadati rute kirab. Batang bambu yang dipakai sebagai pembatas antara warga dengan barisan pengantin tak mampu membendung antusiasme warga yang semakin ramai.
“Gak papa setahun sekali berdesak-desakan seperti ini karena saya berburu keberuntungan. Jika kita berhasil mengambil apapun yang jadi uba rampe ritual ini, niscaya permintaannya akan terwujud,” kata Jati salah satu warga.
Setibanya di sendang, ribuan pasang mata terus merangsek tidak sabar ingin segera mengikuti jalannya prosesi. Rombongan duduk bersimpuh di altar pertapaan. Sesepuh desa memimpin doa yang dikumandangkan menggunakan bahasa Jawa. Keheningan dan kekhusyukan menelusup.
“Kepala kambing, bunga wangi, pisang raja, buah-buahan, kopi dalam wadah panci tertutup, wedang santen, dan ketan bakar ditaruh di pendapa sendang sebagai wujud persembahan yang disebut Angsung Bulu Bekti,” kata Untung.
Usai doa diikrarkan, minuman dan makanan yang tersusun di gunungan dibagikan. Masyarakat berebut. Rangkaian bunga melati yang tergantung sebagai hiasan kepala istri Kepala Desa pun tak luput dari jamahan tangan pengunjung. Kepala kambing yang dilemparkan langsung diserbu. Beberapa warga lebih memilih kungkum di sendang. Rombongan pengantin kembali ke balai desa untuk menerima sungkem dari warga. Keesokan harinya, pihak desa mementaskan wayang selama dua hari satu malam dengan lakon dan babak yang bermacam-macam di kantor kepala desa.
“Acara seperti ini harus dilanjutkan dan masuk agenda wisata tahunan. Melalui acara ini, kelangsungan sendang juga bisa terjaga. Masyarakat juga kecipratan mereguk keuntungan,” ucap Radit salah satu penonton.
#menuliskabarbaik dan #MKB3
Sumber: Reportase Pribadi
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News