KISAH NYATA DIBALIK PERJALANAN GERILYA JENDRAL SOEDIRMAN DI SUDUT DESA NGINDENG

KISAH NYATA DIBALIK PERJALANAN GERILYA JENDRAL SOEDIRMAN DI SUDUT DESA NGINDENG
info gambar utama

PONOROGO ‒ Jendral Soedirman adalah sosok pahlawan yang masih sangat disegani hingga saat ini. Khususnya karena perang gerilyanya yang diakui dunia sebagai perang gerilya paling berhasil sepanjang sejarah. Berkat jasanya pula, indonesia dapat mendeklarasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Ternyata dibalik kisahnya yang fenomenal, terdapat satu desa beruntung yang pernah menjadi tempat singgah sang Jendral besar tersebut. Desa ini terletak dipelosok kaki Gunung Bhayangkaki tepatnya di Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo. Desa inilah yang menjadi salah satu bukti nyata perjuangan Soedirman dalam Perang Gerilya untuk melawan penjajah. Kisah dimulai dari sejarah Perang Gerilya oleh Soedirman pada tanggal 19 Desember 1948, dimana Belanda mulai melancarkan Agresi Militer II untuk menguasai Yogyakarta. Pada saat semua pemimpin negara berusaha berlindung, ia dan pasukan kecilnya yang terdiri dari dokter dan beberapa tentara memulai perjalanan Gerilyanya dengan rute menuju Bantul kemudian melewati Gunung Wilis. Selama perjalanannya tersebut, Ia sempat singgah disalah satu rumah warga yang berada di Desa Ngindeng, Ponorogo bernama Ginut.

Saat rombongan datang, di dalam rumah hanya ada Ginut, istri dan anaknya, serta ibunya yang bernama Tukinem. Sayangnya, saat ini narasumber sejarah yang masih ada hanya Nyamir, anak satu-satunya Ginut. Menurut kisahnya, waktu itu dia masih berumur 4 tahun. Saat hujan rintik menjelang maghrib, tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu. Ginut yang sedang makan, menyuruh Tukinem untuk melihat siapa yang datang. Saat Tukinem membuka pintu regol (gapura pintu zaman dahulu), ada seorang lelaki yang ia sebut sebagai Pak Putih. Ternyata ia adalah salah satu pengawal Soedirman yang berasal dari Gunung Thukul, sekitar Desa Pulung, Ponorogo. Saat pintu dibuka, ia meminta agar pintu dibuka lebih lebar dan Tukinem pun menurutinya. Karena pintu yang sulit dibuka, akhirnya ia membantu Tukinem sembari bercerita bahwa ia dan rombongan ingin menginap semalam di sini karena ada orang sakit di dalam tandu. Tukinem pun merasa kaget dan berusaha menolak meskipun akhirnya ia merasa iba dengan penjelasan pengawal Jendral itu. Setelah Soedirman dan rombongan dipersilakan masuk, ia diminta meredupkan lilin agar jangan ada orang yang tau.

“Sebelum aku dan rombongan mampir ke sini, sebenarnya tadi mau menginap di rumah Pak Kamituwo Dimin. Tapi dia tidak mau menerima. Katanya suruh mencari tempat yang lain. lalu aku ke sini bersama rombongan,” Cerita Nyamir, menirukan perkataan Soedirman.

Selain itu, ia juga menceritakan bahwa saat Soedirman dipersilakan istirahat ia tidak mau memakai lilin yang terang dan memilih untuk tidur di tempat gelap di sudut ruangan sebelah tenggara rumahnya. Tidak hanya itu, tempat ia merebahkan badan juga dikelilingi rono pring, rangkaian pembatas dari kayu yang tinggi agar tidak terlihat. Selain itu, mereka juga diminta agar berbicara dengan suara yang tidak keras bahkan cenderung berbisik. Setelah menginap semalam, rombongan diceritakan berpamitan kepada Ginut dan mengucapkan terima kasih. Tidak hanya ucapan terima kasih, wanita yang dulu pernah menjabat sebagai Kebayan itu juga menuturkan bahwa terdapat beberapa kenang-kenangan yang diberikan oleh Soedirman lewat pengawalnya kepada keluarga Ginut.

“Sewaktu berpamitan, ada salah satu pengawal Jendral yang memberikan kain batik kepada Mbah saya… ia bilang bahwa itu titipan dari ibu (istri Soedirman) untuk kenang-kenangan,” ujar Nyamir, mengenang.

Tidak hanya itu, Soedirman juga memberikan sebuah hadiah berupa jam beker kuno yang masih bisa digunakan hingga saat ini. Tidak kalah dari Sang Jendral, beberapa pengawal juga memberikan hadiah untuk Ginut berupa dua buah sarung yang kini salah satu sarungnya terpampang di etalase depan. Untuk mengenang kedatangan Sang Jendral, kini rumahnya dijadikan salah satu tempat bersejarah di Kabupaten Ponorogo. Ditatanya rapi benda-benda petilasan Jendral Sudirman di etalase dan sudut depan ruang tamunya. Agar semua orang yang berkunjung untuk mencari sejarah tapak tilas Sang Jendral bisa melihat secara langsung bukti nyata keberadaanya di rumah tersebut. Penyesalan mendalam amat dirasakan oleh Nyamir sebagai keturunan satu-satunya Ginut. Begaimana tidak, sebagai narasumber sejarah satusatunya ia tidak bisa menjaga seluruh barang petilasan Jendral Sudirman yang sebenarnya itu sangat berharga bagi sejarah. Karena ketidak tahuannya itu, rumah regol asli yang dulu menjadi tempat menginap sang jendral kini sudah dibongkar untuk warisan.

“Ya.. saya tahunya pertama ada orang-orang dari kodim yang datang untuk mengunjungi petilasan Jendral Soedirman. Sayangnya, saat itu bapak saya sudah meninggal. Jadi, mereka agak telat. Mereka menanyakan barang-barang yang pernah di gunakan Jendral. Ya.. kemudian saya cari dan alhamdulillah masih ada cuma sarung yang dikasih tinggal satu… malah ranjang tempat tidurnya Jendral sempat saya jadikan wadah panen padi,” Ungkap wanita yang lahir pada tahun 1945 itu.

“Semenjak kunjungan pertama itu, banyak sekali kunjungan-kunjungan lain yang datang. Bahkan bupati pun pernah berkunjung ke sini,” tambahnya. Namun, ia juga menerangkan bahwa di samping berbagai kunjungan itu, belum ada kontribusi dari pemerintah untuk menjaga suaka sejarah ini. Semua yang ada adalah usaha mandirinya untuk menjaga sejarah berdasarkan masukan dari berbagai pihak. Ia menginginkan agar pemerintah mau memberi sedikit bantuan berupa tanda atau monumen kecil yang menunjukkan bahwa di tempat tersebut pernah singgah seorang pahlawan besar yaitu Panglima Besar Jendral Soedirman.


Sumber:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini