Cerita dari Mesir: Di Pesawat, Ungkap Sejarah Indonesia yang Hebat

Cerita dari Mesir: Di Pesawat, Ungkap Sejarah Indonesia yang Hebat
info gambar utama

Saya bersama peneliti muda, seorang dosen UNUSA Surabaya, alumni ITB, dan Tokyo University of Science Jepang, tanggal 17 Juni 2019 menuju Kairo, Mesir, untuk mempresentasikan paper kami tentang Santripreneurship di sebuah Kongres dunia ICSB (International Council for Small Business).

Kongres ini dihadiri sekitar 600 utusan dari berbagai negara dan berbagai profesi, seperti akademisi, guru besar, pengusaha, pengusaha start-up, lembaga-lembaga internasional, serta pemerintah. Dalam acara pembukaan hadir dari Indonesia, Wakil Dubes RI untuk Mesir bapak M. Aji Surya, Ketua ICSB Indonesia bapak Herman Kertajaya, dan kami-kami sendiri dari Perguruan Tinggi.

Ketika pesawat yang saya tumpangi berada di atas India, saya meminta segelas air putih di tempat pramugari menyiapkan makanan. Sebelum saya menerima air itu, saya menanyakan dari mana asal pramugari yang berwajah Turki tapi berambut pirang. Dia menjawab dari Bosnia.

Saya lalu menjelaskan kalau presiden Indonesia ke-2, bapak Soeharto, pernah membangun sebuah masjid di Bosnia ketika negara itu sedang perang dengan Serbia. Bosnia adalah pecahan Yugoslavia yang berantakan menjadi beberapa negara seperti Serbia, Montenegro, Kroasia dan Bosnia sendiri.

BACA JUGA: Mengenang Pak Harto di Masjid Soeharto di Bosnia - Herzegovina

Perang antara Serbia dan Bosnia itu berlandaskan atas sentimen kesukuan, asal bangsa dan agama. Kebetulan Bosnia mayoritas penduduknya muslim, dan dunia menyaksikan pembantaian etnis atau genosida yang dilakukan Serbia terhadap warga Bosnia.

Ribuan di antara mereka ditangkap dan digiring ke padang, ke hutan, dan disuruh berbaris lalu dibantai begitu saja. Itu merupakan pembantaian etnis terbesar di Eropa setelah Perang Dunia yang mana Nazi Jerman membantai jutaan kaum yahudi.

Pada situasi yang mencekam akibat bom dari pesawat udara, artileri, dan penembak jitu, presiden Soeharto membantu Bosnia dengan membangun masjid Istiqlal Sarajevo, yang juga dikenal sebagai masjid Soeharto atau masjid Indonesia. Itu adalah wujud sumbangan bangsa dan negara Indonesia untuk rakyat Bosnia.

Ketika Kolonel Syafrie Syamsudin, mantan Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres), bertanya pada presiden Soeharto, kenapa sampai berani mengunjungi Bosnia ketika perang berkecamuk dan tidak mau memakai rompi anti peluru?

BACA JUGA: Anak Bangsa Sukses Gelar MTQ Internasional di Mesir

Kebetulan sehari sebelum pesawat yang ditumpangi presiden Soeharto mendarat, ada pesawat yang ditembak jatuh. Presiden Soeharto menjawab bahwa Indonesia sebagai negara non-blok yang ekonominya belum berkecukupan, tentu menyumbang Bosnia dengan dana besar tidak mungkin, maka kunjungan yang berani itulah sebagai bentuk sumbangan Indonesia kepada negara sahabat yang sedang susah.

Jawaban presiden Soeharto itu membuat para pengawalnya termotivasi untuk berani mendarat di Bosnia, dan mereka dengan bangganya memakai peci hitam seperti yang dipakai Soeharto untuk menandakan bahwa mereka dari Indonesia.

Sumbangan lainnya dari Indonesia adalah dari presiden pertama Indonesia, Soekarno, yang pernah menanam pohon Soekarno di padang Arafah dan meminta presiden Uni Sovyet, Kruschev, untuk menemukan makam Imam Buchari di Uzbekistan. Zaman presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia membangun gedung asrama mahasiswa di Al Azhar University, Kairo.

BACA JUGA: Mengenal Lebih dalam Pohon Soekarno di Mekah

Pramugari Etihad dari Bosnia itu, seperti terheran ketika saya menjelaskan tentang Masjid Soeharto sambil berkata “wow, you know my country’s history”. Maklum dia masih sangat muda karena sejarah konflik Serbia –Bosnia itu terjadi tahun 1990-an, mungkin dia masih kanak-kanak ketika perang berkecamuk di negerinya.

Tapi bagi kita bangsa Indonesia, konflik di bekas negara Yugoslavia itu menjadi pelajaran berharga bahwa perpecahan anak bangsa berdasarkan etnis dan agama sembuhnya lama, karena untuk menghilangkan kebencian atas nama ras dan agama, hitungannya bisa dekade. Bisa generasi, bahkan bisa tidak pernah berhenti.***

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini