Cerita dari Mesir: Bicara Keras Tanpa Dendam

Cerita dari Mesir: Bicara Keras Tanpa Dendam
info gambar utama

Saya transit 3,5 jam di Abu Dhabi dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Kairo, ibu kota negara Mesir, yang merupakan negara pertama mengucapkan selamat dan mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Negara di mana banyak tokoh bangsa yang pernah belajar di universitas Al Azhar seperti Gus Dur, Gus Mus, dan Ustad Abdul Shomad serta banyak lainnya. Negara ini adalah the Ancient Nation yang mana kisah-kisah para nabi seperti Musa, Harun dan raja Firaun/Pharaoh tertulis di kitab suci agama-agama besar di dunia ini.

Di antrian imigrasi bandara Kairo, dibatasi tali pembatas berliku-liku agar orang mau antri teratur satu-satu. Kami pun ikut antri. Tapi kenyataannya ratusan ibu-ibu dan bapak-bapak yang usianya sepuh tapi masih cekatan, berhamburan tanpa aturan, berdesak-desakan ingin terdepan di antrian itu.

Ada beberapa yang melemparkan bungkusan pakaiannya ke antrian sebelahnya persis di depan sanak saudaranya, lalu menerobos tali pembatas. Kejadian ini menyebabkan yang lain protes dengan suara keras saling saut menyaut.

BACA JUGA: Cerita dari Mesir: Di Pesawat, Ungkap Sejarah Indonesia yang Hebat

Saya yang asli Surabaya kalau bicara dengan sesama orang Surabaya suaranya keras seperti mau berkelahi, dan orang yang bukan orang Surabaya tentu heran melihat cara kami berbicara. Ternyata itu tidak ada apa-apanya dibandingkan suara ibu-ibu dan bapak-bapak tua Mesir itu.

Saya memahami sedikit-sedikit dalam bahasa Arab pertengkaran mereka yang protes tidak adilnya penerobos tadi, yang lain memarahi orang yang protes. Jadinya saya dan kolega saya yang bertubuh kecil ini seperti anak ayam terjepit di antara ribuan ayam betina dan jantan di sebuah peternakan ayam petelor di Kabupaten Blitar, semuaaanya berkokok kencang.

Anak muda Mesir yang sedang cuti kerja dari Arab Saudi di depan saya berusaha meyakinkan saya dalam bahasa inggris patah-patah, bahwa hal seperti itu dimaklumi karena mereka para bapak ibu tua itu adalah jamaah umrah dari desa yang tidak pernah naik pesawat terbang.

Pemuda inilah bersama satu petugas imigrasi yang juga berteriak lantang, agar orang-orang yang berebut antrian itu diam dan mentaati peraturan, bak seorang konduktor sebuah orkestra yang mengatur kapan musik berhenti.

BACA JUGA: Bukan di Mesir, Struktur Piramida Tertua di Dunia Justru Ada di Indonesia

Iqbal, seorang pemuda asal Padang yang menjemput saya, menjelaskan bahwa ya seperti itu orang Mesir kalau berbicara keras. Apalagi kalau lagi bertengkar, tapi tidak ada dendam katanya. Di Tanah Air seperti itu bisa terjadi perkelahian. Diapun kalau berselisih dengan orang Mesir juga melakukan hal yang sama, yaitu berteriak.

Dik Iqbal, begitu saya memanggilnya, adalah anak muda dari Padang, alumni pesantren Gontor Jawa Timur dan sudah lulus S1 di Al Azhar dan S2 di Sudan, di mana ustaz Abdul Shomad dikabarkan mau melanjutkan studi S3-nya.

Istri Iqbal lagi ujian juga di Al Azhar. Saya tanya ambil jurusan apa Iqbal di Alzhar dan Sudan, dia jawab ilmu hadis. Lalu saya katakan bahwa dia seperti ustaz Abdul Shomad yang juga studi ilmu hadis, kenapa tidak jadi ustad terkenal seperti UAS tanya saya.

Dia ketawa, “Lain pak, UAS orangnya pintar, saya pas-pasan,” karena itu dia meninggalkan “sementara” keahliannya dalam ilmu hadis bekerja di bidang traveling menjemput dan mengantar orang Indonesia dan Malaysia yang sedang melancong di Mesir.***

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini