"Semoga Umurmu Cukup untuk Melihat Indonesiamu Maju, Jang"

"Semoga Umurmu Cukup untuk Melihat Indonesiamu Maju, Jang"
info gambar utama

"Ari ujang teh dari mana?" tanya seorang Bapak yang saya temui di sebuah pedesaan asri di selatan Sumedang. Bapak ini tak lagi muda, mungkin sudah di atas 70 tahun. Beliau sedang sibuk membersihkan batang-batang bambu apus untuk dipakai mengibarkan puluhan bendera-bendera merah putih di kampungnya. Hari itu, tanggal 14 Agustus 2019, hanya 3 hari menjelang peringatan 74 tahun Kemerdekaan Indonesia. Kebetulan saya sedang berada di Sumedang hari itu untuk bertemu dengan kelompok-kelompok tani.

Bapak ini sendirian bekerja, hanya ditemani cucunya (atau mungkin cicitnya) yang berusia 7 tahunan yang juga bermain sendirian. Beliau bekerja cepat, tanpa henti, entah apa dalam benaknya.

"Jang?" suaranya terdengar kembali. "Oh, maaf, pak. Saya dari Jogja" jawab saya dengan penuh hormat. 'Nyalira saja, pak?' saya ganti bertanya. "Iya nih. Gak apa-apa, sudah biasa" jawab sang bapak sambil menyeka keringat di wajahnya. Siang itu memang panas sekali. Saya sebenarnya ingin bertanya, kemana anak-anak mudanya siang itu...tapi mungkin ada banyak alasan. Bisa jadi, anak-anak mudanya masih di sekolah, atau kuliah, atau bekerja, dan akan datang sore harinya.

Tanpa dinyana, sang bapak berkata "Sepanjang hidup saya, saya mencintai Indonesia, mencintai tempat lahir saya. Ujang orang Jawa, saya orang Sunda, tapi kita bisa bertemu, bercengkarama, dan bersatu, karena kita berada di Indonesia".

"Jang, hayu diuk di jero" istri sang Bapak keluar dari dalam rumah membawa pisang goreng yang sepertinya baru diangkat dari penggorengan. Bapak terus saja mengayunkan parangnya membersihkan bambu-bambu itu. Saya melihat sekeliling beliau. Tak ada apa-apa selain gelas dan ceret tempat air minum, tak ada smartphone, tak ada musik, tak ada teknologi baru yang melekat di sekitarnya. Dunia modern telah jauh melesat ke depan, meninggalkan pasangan ini sejak lama. Saya beranikan diri bertanya tentang hal tersebut. Mengapa tak ada telepon, bagaimana berkomunikasi dengan orang-orang jauh, kira-kira pertanyaan saya seperti itu. "Anak-anak saya hidup sekitar sini saja, kalau perlu telpon, tinggal minta tolong mereka. Lagian, siapa yang mau saya telepon, paling adik saya yang di Bandung. Dekat juga" jawabnya.

Baiklah. Bisa jadi memang teknologi telah jauh meninggalkannya, namun bapak ini mempunyai sesuatu yang jarang kita punyai, yakni kecintaan murni pada bangsanya, yang tak perlu pasang status kemerdekaan, dan tidak perlu mengirim gambar selfie sedang berada di depan bendera merah putih. Bapak ini adalah energi besar masa lalu, yang bisa jadi tak lagi kita punyai. Kerelaan bekerja dalam sepi, kemauan melalukan hal-hal kecil tanpa perlu ada orang melihat.

"Saya hanya tinggal punya umur dan sisa-sisa tenaga tua saya, jang. Mungkin tak lagi dibutuhkan bangsa ini yang butuh berlari kencang mengejar ketertinggalan. Umur saya tak lama lagi, Indonesia yang saya cintai belum juga berjaya. Kini saya hanya berharap, yang muda-muda tak hitung-hitungan mengeluarkan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk masa depan Indonesia. Semoga umurmu cukup untuk melihat Indonesiamu maju, Jang"

Air mata saya mengucur tanpa bisa saya tahan. "Selamat Hari Kemerdekaan ke-74, Bapak"

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini