Stunting Bukan Sekadar Pendek Badan

Stunting Bukan Sekadar Pendek Badan
info gambar utama

Stunting secara kasat mata bisa dilihat dari pendeknya tubuh seorang anak, tapi persoalan stunting sebenarnya bukan sekadar pertumbuhan yang terhambat. Stunting juga bisa berpengaruh ke perkembangan fisik dan psikis anak.

Makna stunting yang sebenarnya adalah gejala kurang gizi kronis, yang ditandai dengan tinggi badan di bawah anak-anak seusianya. Jika tidak segera ditangani, stunting bisa berakibat pada jaringan otak yang tidak berkembang sempurna.

“Badan yang pendek di bawah rata-rata memang salah satu tanda menderita stunting. Tapi stunting bukan cuma sekadar badan pendek. Anak stunting yang tidak segera ditangani bisa berakhir stunted, alias growth failure (gagal tumbuh). Anak stunted itu jaringan otaknya yang enggak berkembang sempurna, jadi kemampuan kognitifnya rendah,” terang Herawati, founder Shop.141 dalam acara #BeAZeroHungerHero di Jakarta, Jumat (11/10) lalu.

Shop.141 sendiri merupakan finalis Young Changemakers Social Enterprise Academy. Mereka mengajak masyarakat lebih melek terhadap permasalah gizi di Indonesia, terutama mengenai stunting dan bersama menjadi bagian dari solusi.

BACA JUGA: Cegah Stunting di Jawa Timur bareng Influencer

Herawati melanjutkan, anak stunted juga lebih rentan terhadap penyakit karena sistem kekebalan tubuh yang rendah. Karenanya, anak stunted memiliki risiko penyakit kronis, seperti kanker, stroke, diabetes dan sebagainya, dan lebih rentan pada kematian muda.

Permasalahan ini tak lantas berhenti pada persoalan kesehatan. Rendahnya kemampuan kognitif dan fisik anak kemudian berdampak pada persoalan ekonomi keluarga.

Nutritionist of Bumi Gizi Madani, Breastfeeding Counselor from Sentra Laktasi Indonesia, Infant and Young Children Feeding in Emergency (IYCF-E) Counselor from UNICEF-SELASI, Nurlienda Hasanah, menjelaskan dengan orangtua yang banyak kehilangan waktu untuk mengobati anaknya, dapat berdampak ke mendekatnya mereka ke lingkaran kemiskinan.

“Kondisi anak yang lemah membuat orang tua kehilangan banyak waktu untuk merawat dan mengasuh buah hatinya. Mereka akhirnya hanya bisa melakukan pekerjaan kasar, sehingga mereka akan terus berada dalam lingkaran kemiskinan,” urai Nurlienda.

BACA JUGA: Mengakhiri Kemiskinan dengan Perbaikan Gizi Jangka Panjang

Lalu bagaimana cara mencegah stunting atau minimal menekan angka pengidapnya? Kuncinya ada di 1000 hari pertama kehidupan. Anak harus mendapat gizi yang cukup sejak dalam kandungan sampai lahir. ASI dan MPASI (Makanan Pendamping ASI) memegang peranan penting di sini, karena mengandung karbohidrat, lemak tinggi, dan protein hewani.

Sayangnya, di Indonesia distribusi sumber makanan tersebut kurang merata. Padahal, negara kita sama sekali tidak kekurangan bahan panganan, bahkan melimpah ruah.

Kementerian Kesehatan RI mencatat angka stunting di Indonesia pada 2018 mencapai 30,8 persen, dengan persebaran cukup merata di banyak provinsi. Tidak terjadi hanya di kota kecil, melainkan juga kota-kota besar, jumlah anak stunting mencapai lebih dari 20 persen.

Di Samarinda, ibu kota provinsi Kalimantan Timur misalnya, jumlah anak stunting melebihi 25 persen. Hal ini menjadi mengkhawatirkan kala World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa stunting menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang sangat serius saat angka stunting di tempat tersebut mencapai 20 persen.**

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini