Alasan Mengapa Kuliner Jawa Identik dengan Rasa Manis

Alasan Mengapa Kuliner Jawa Identik dengan Rasa Manis
info gambar utama

Pernahkah Kawan GNFI berwisata kuliner mencicipi panganan tradisional khas Jawa, seperti gudeg, jenang, pecel, apem, wajik, klepon, dan lainnya? Bila Kawan GNFI pernah mencoba berbagai kuliner Jawa tersebut, kita pasti akan sepakat mengatakan bahwa semua makanan itu didominasi oleh rasa manis.

Sebagai orang yang lahir di keluarga berlatar budaya Jawa, saya penasaran mengenai hal itu. Mengapa bisa demikian? Apa yang menyebabkan kuliner khas Jawa sangat identik dengan rasa manis? Atau, jika pertanyaan dialihkan ke subjeknya, mengapa orang Jawa sangat gemar mengonsumsi makanan dan minuman manis? Apa karena lahir sebagai orang Jawa sehingga indera perasanya memang digariskan “dari sananya” untuk menyukai rasa manis?

Ternyata alasannya bukan itu. Dalam seri buku Tempo yang berjudul Antropologi Kuliner Nusantara: Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara, dijelaskan bahwa, rasa manis dalam kuliner Jawa bisa dikaitkan dengan banyaknya suplai gula di Jawa pada masa kolonialisme dulu.

Alasan tersebut juga diperkuat oleh buku Semerbak Bunga di Bandung Raya karya Haryoto Kunto yang terbit pada pada 1986. Menurut kedua buku itu, semua berawal pada tahun 1830, ketika Belanda menjajah Indonesia. Pada waktu itu Gubernur Jenderal Van der Bosch yang berkuasa di Hindia Belanda (Indonesia kala itu) memberlakukan sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel.

Tanam paksa yang diberlakukan Van der Bosch, bertujuan untuk mengisi kas Belanda yang kosong karena terkuras oleh perang berkepanjangan melawan Pangeran Diponegoro dan pasukannya, atau yang terkenal disebut dengan Perang Jawa (De Java Orloog) yang berlangsung pada 1825-1830.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda , Van der Bosch yang memerintahkan tanam paksa di Jawa untuk menambal kas Belanda yang kosong akibat perang Jawa pada 1825-1830 | Google Image/Wikipedia
info gambar

Perang berkepanjangan itu sangat merugikan Belanda. Tercatat ada 200 ribu orang di Jawa tewas selama peperangan. Sedangkan di pihak Belanda, diperkirakan ada sekitar 8.000 prajurit Eropa terbunuh dan 7.000 prajurit yang direkrut Belanda di Nusantara juga tewas.

Tambah lagi, Belanda harus menanggung kerugian materiil sebanyak 20 juta Gulden. Perlawanan Pangeran Diponegoro dan pasukannya sungguh menguras kas Negeri Ratu Wilhemina saat itu.

Dalam rangka mengganti seluruh kerugian yang dialaminya, Belanda mencari cara dengan melakukan kebijakan tanam paksa di wilayah jajahannya. Dalam kebijakan tanam paksa tersebut, petani diwajibkan menanam tanaman untuk komoditas ekspor yang bernilai jual tinggi di pasaran, seperti tebu, kopi dan teh.

Belanda memaksa petani di Jawa Barat (Sunda) menanam teh. Pada abad ke-19, daerah Priangan dipenuhi perkebunan teh, hingga daerah itu maju dan terkenal dengan produk tehnya. Namun, kompeni Belanda menipu rakyat Priangan. Mereka mengekspor daun teh unggulan yang berkualitas tinggi. Sedangkan pribumi, hanya disisakan gagang tehnya saja, sehingga rakyat Priangan menganggap itulah teh yang sebenarnya.

Sistem tanam paksa yang menyengsarakan masyarakat di Jawa karena hanya diperbolehkan menanam tebu atau tanaman komoditas ekspor lainnya tanpa boleh menanam tanaman lain untuk bahan makanan | Google Image/Pelajaran.co.id
info gambar

“Ya, mereka akhirnya tahunya teh seperti itu. Gagang teh dikasih air panas. Ya, sudah itu teh. Teh di sana [Jabar] makanya tawar,” jelas Murdijati Gardjito, profesor dan peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional Pusat Studi Pangan dan Gizi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dikutip dari Historia.id.

Sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, petani dipaksa menanam tebu, karena orang Belanda menyadari lahan di sana baik untuk ditanami padi dan tebu. Mereka memaksa rakyat di Jawa Tengah dan Jawa Timur menanami lahan-lahannya dengan tanaman komoditas ekspor tersebut.

Selama kurang-lebih sembilan tahun cultuurstelsel berlangsung, 70% sawah diubah menjadi perkebunan tebu. Sejalan dengan semakin banyaknya sawah yang dikonversi menjadi perkebunan tebu, didirikan pula ratusan pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur, demi memaksimal hasil produksi.

Untuk menggerakkan produksi gula secara besar-besaran itu, ada sekitar sejuta petani tebu dan 60 ribu buruh pabrik yang dipekerjakan oleh Belanda.

Akibat eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh Belanda, rakyat di Jawa mengalami kelaparan. Mereka kesulitan memenuhi kebutuhan pangan sebab tidak ada lagi lahan untuk menghasilkan bahan makanan.

Saat kondisi serba sulit, orang Jawa kembali membuktikan ketangguhannya dalam memenuhi kebutuhan pangan. Hal tersebut mengingatkan kita akan kisah terciptanya sayur lodeh.

Ketika perang antara Kerajaan Mataram yang dipimpin Sultan Agung melawan VOC (perusahaan dagang Belanda) di Batavia. Pasukan Mataram kehabisan makanan, namun karena ketangguhan dan kreativitasnya, sisa bahan makanan yang ada dimasak sedemikian rupa sehingga terciptalah sayur lodeh yang konon berasal dari istilah Betawi, “terserah lo deh.”

Kondisi serupa juga terjadi pada masa krisis pangan yang terjadi dari tahun 1830-1870-an itu. Karena hanya tersedia tebu, akhirnya masyarakat Jawa menjadikannya alternatif untuk bertahan hidup. Semua olahan masakannya pun menggunakan air perasan tebu sehingga masyarakat Jawa sangat akrab dengan rasa manis. Alhasil, hingga kini kuliner khas Jawa identik dengan rasa manis yang amat legit. Bahkan, ada yang mengatakan sambal di Jawa pun terasa manis, meski tidak bisa digeneralisasi.

Klepon, salah satu kue tradisional khas Jawa yang rasanya manis | Shutterstock
info gambar

Nah, ternyata alasan mengapa kuliner khas Jawa identik dengan rasa manis bukan karena memang sudah digariskan “dari sananya”. Akan tetapi, karena peristiwa sejarah yang membuktikan kreativitas orang Jawa dalam menghadapi kesulitan pangan sehingga menjadi khazanah kuliner Indonesia yang digemari hingga kini.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini