Belajar dari Maria Ulfah, Menteri Perempuan Pertama di Indonesia

Belajar dari Maria Ulfah, Menteri Perempuan Pertama di Indonesia
info gambar utama

Dalam daftar 60 anggota Panitia Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang pada 1 Juni 1945 melahirkan Pancasila sebagai dasar negara, ada dua nama perempuan yang tertera di dalamnya. Mereka adalah Maria Ulfah dan Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito.

Pada kesempatan ini, mari kita bahas perjalanan Maria Ulfah, seorang perempuan dari keluarga priayi yang gigih memperjuangkan hak-hak kaumnya.

Lahir dan tumbuh di tengah keluarga priayi, ia menyaksikan bagaimana perempuan diperlakukan secara tidak adil dan cenderung direndahkan. Ia melihat sendiri seorang perempuan yang sudah menikah dipulangkan ke rumah orang tuanya karena alasan sakit. Kemudian, dengan semena-mena, si suami menjatuhkan talak.

Berbagai peristiwa ketidakadilan yang menimpa perempuan itu, menggerakan hati Itje—sapaan akrab Maria Ulfah—lebih memilih belajar ilmu hukum daripada kedokteran.

Ia ingin memperjuangkan hak-hak perempuan yang diperlakukan tidak adil, dicerai secara sepihak tapi tidak boleh protes atau menggugat ke pengadilan, serta ketimpangan peraturan lainnya.

Kelak, Itje akan menjadi salah satu sosok penting dalam perjalanan Indonesia di masa kemerdekaan. Tercatat, ia merupakan perempuan Indonesia pertama yang mendapat gelar sarjana hukum dari Universitas Leiden, Belanda.

Ia juga merupakan menteri perempuan pertama di Indonesia. Selain itu, namanya juga tercatat sebagai satu dari dua perempuan yang beradu gagasan dalam sidang BPUPKI yang didominasi oleh laki-laki.

Meski namanya tidak seterkenal R.A. Kartini atau Dewi Sartika. Namun, kiprah Maria Ulfah dalam memperjuangkan hak-hak wanita Indonesia tak perlu diragukan.

Berawal dari Pengalaman Pahit

Maria ulfah
info gambar

Maria Ulfah adalah anak perempuan Raden Mochammad Achmad, Bupati Kuningan pada tahun 1923 dan RA Hadidjah Djajadiningrat. Ia lahir di Serang, Banten, pada 18 Agustus 1911 ketika ayahnya bertugas sebagai amtenar atau pegawai pemerintah di sana.

Dalam urusan pendidikan, Maria cukup beruntung berada di lingkungan keluarga yang peduli terhadap pendidikan. Ayahnya merupakan pribumi lulusan Hogere Burger School (HBS) dan ibunya pun mengenyam pendidikan yang cukup baik untuk ukuran perempuan di zamannya.

Masa kecil Maria banyak dihabiskan di Serang dan di kota itu pula ia memulai riwayat pendidikannya. Setelah tinggal di Serang, ia kembali berpindah kota mengikuti ayahnya yang ditugaskan menjadi Bupati Meester (kini Jatinegara) di Batavia yang dulu masih masuk wilayah administrasi Jawa Barat.

Pada 1929, Mochamad Achmad mendapat kesempatan belajar perkoperasian di Den Haag, Belanda. Ia kembali memboyong keluarganya hijrah ke negeri Kincir Angin itu. Pada saat yang sama, merupakan waktu bagi Maria melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.

Sebenarnya, waktu itu Maria ditawari untuk melanjutkan pendidikannya sebagai dokter. Namun, ia menolak dan lebih memilih melanjutkan di jurusan hukum.

Beruntung ayahnya mengizinkan, dan atas pilihannya sendiri, ia mendaftar ke Fakultas Hukum di Universitas Leiden, Belanda.

Pilihannya melanjutkan pendidikan di bidang hukum berdasarkan pengalaman masa kecilnya menyaksikan banyak ketidakadilan yang dialami perempuan. Hal yang paling membekas dalam ingatannya adalah apa yang dialami bibinya sendiri.

"Bibi saya pulang ke tempat orang tuanya untuk istirahat karena belum sembuh dari sakitnya. Tak lama ia menerima surat talak dari suaminya tanpa diberi alasan. Ia tidak dapat memprotes. Kemudian ia mendengar bahwa ia ditalak karena tidak dapat memberi keturunan kepada suaminya," tutur Maria dalam bukunya Perjuangan untuk Mencapai Undang-undang Perkawinan (1981),dikutip dari Kompas.com.

Kegelisahan di masa kecilnya itu membuat ia memilih pendidikan hukum untuk memperjuangkan keadilan bagi kaumnya. Karena ketekunannya, pada 1933 ia berhasil menyelesaikan studinya dalam waktu empat tahun.

Sebagai catatan, Maria Ulfah adalah perempuan Indonesia pertama yang berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum dari Universitas Leiden.

Kenal Tokoh Pergerakan Nasional

Maria ulfah
info gambar

Selama menempuh pendidikan di Leiden, Itje—sapaan akrab Maria—banyak mengenal para mahasiswa pejuang yang kelak menjadi tokoh pergerakan nasional dan calon pemimpin Indonesia. Di antara yang Itje kenal ialah Haji Agus Salim, Mohammad Hatta, dan Sjahrir.

Dari ketiga tokoh itu, Sjahrir adalah adalah sosok yang paling banyak mempengaruhi Itje dalam pandangan ideologinya. Melalui Sjahrir, Itje dikenalkan kepada kalangan sosialis Belanda dan diajak ke pertemuan-pertemuan kaum sosialis di sana. Selain itu, Itje juga kerap melahap bacaan-bacaan berhaluan kiri yang mendidik pribadinya hingga bermental revolusioner.

Selang satu tahun dari waktu kelulusannya, Itje pulang ke Indonesia. Ia memulai kiprah pergerakannya dengan mengajar di sekolah menengah pertama milik organisasi Muhammadiyah. Kemudian pindah mengajar di "sekolah liar" milik Perguruan Rakyat. "Yamin dan Amir Sjarifoeddin, yang menjadi tokoh pemimpin nasionalis, juga mengajar di sana," katanya, dikutip dari Berdikarionline.com.

Pada era 1930 hingga 1940-an, Itje banyak berkecimpung dalam gerakan perempuan. Ia, beberapa kali memimpin organisasi maupun federasi gerakan perempuan. Tidak hanya itu, ia juga berperan dalam beberapa kali penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia.

Ketika BPUPKI dibentuk pada 1945, Itje adalah satu dari dua perempuan yang menjadi anggota dari badan yang didominasi oleh pria tersebut. Dari 60-an anggota BPUPKI, hanya ia bersama Siti Sukaptinah yang menjadi perwakilan kaum perempuan.

Sementara Itje ditempatkan dalam Panitia Pertama Perancang Undang-Undang Dasar. Siti Sukaptinah (Ketua Fujinkai/Organisasi Perempuan Zaman Jepang) berada di Panitia Ketiga yang membahas tentang pembinaan tanah air.

Menurutnya, alasan Itje ditempatkan di Panitia Pertama adalah karena ia ahli hukum. Bersama Ketua Aktif, Soepomo, mereka banyak menyusun UUD 1945.

Kiprahnya dalam dunia pergerakan nasional tidak berhenti sampai disitu. Setelah kemerdekaan, Itje juga pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Kemudian pada 1946, ia ditunjuk Sjahrir yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri menjadi Menteri Sosial. Jabatan itu yang menjadikan Maria Ulfah sebagai menteri perempuan pertama di Indonesia.

Memperjuangkan Hak Perempuan

Maria Ulfah
info gambar

Maria Ulfah telah aktif dalam dunia pergerakan sejak tahun 1920-an. Sejak awal abad ke-20, organisasi yang berorientasi pada pergerakan perempuan sudah banyak muncul di Indonesia.

Pasca Kongres Perempuan Indonesia pertama 1928, upaya penyatuan gerakan perempuan sangat banyak dilakukan.

Kala itu, Maria Ulfah bersama sejumlah organisasi perempuan yang lebih kecil, mendorong berdirinya organisasi yang bernama Isteri Indonesia, Maria tampil sebagai ketuanya. Dalam aktivitasnya, organisasi itu menerbitkan majalah bulanannya sendiri yang diberi nama sama dengan nama organisasi induknya.

Maria Ulfah didaulat menjadi salah satu kolumnis tetap di majalah tersebut. Ia kerap mencurahkan pikiran-pikirannya tentang gerakan perempuan di Indonesia.

Tulisan-tulisannya banyak menyoroti hal pokok seperti keadaan umum perempuan di Indonesia, pernikahan paksa, buruh perempuan, dan soal perwakilan perempuan di dalam parlemen di Hindia Belanda. Melalui Isteri Indonesia, Maria memperjuangkan gagasan perlunya perempuan Indonesia duduk di parlemen dan dewan-dewan kota (gemeente).

Lantaran aktivitasnya dalam menyuarakan hak perempuan tersebut, Maria kerap berurusan dengan pemerintah Hindia Belanda dan intelijen kolonial Belanda (PID). Pada 1937, misalnya, pada sebuah rapat gerakan perempuan di Purwokerto, PID langsung turun tangan untuk melarangnya berbicara.

Peristiwa lainnya, pada 1938, gerakan perempuan sepakat mengusung Maria Ulfah sebagai calon anggota Volksraad (dewan rakyat bentukan Belanda). Maria yang pernah mengenyam pendidikan hukum di Belanda, dianggap sangat pantas menduduki jabatan tersebut. Ia dirasa mampu menyuarakan hak-hak kaum perempuan.

Akan tetapi, penguasa kolonial yang memiliki wewenang menunjuk anggota Volksraad, malah menunjuk seorang perempuan Belanda bernama NJ Razoux-Schultz.

Tak pelak, keputusan itu menuai protes dari gerakan perempuan yang mengusung Maria Ulfah sebagai perwakilannya. Sebagai perempuan Indonesia, Maria adalah orang yang paling cocok mewakili suara perempuan Indonesia di Volksraad.

Menentang Poligami

Di kalangan gerakan perempuan saat itu, Maria Ulfah dikenal sebagai penentang poligami dan diskriminasi terhadap perempuan. Ia memiliki dedikasi yang tinggi dalam memperjuangkan UU yang membatasi poligami.

Sejak kongres Perempuan Indonesia Pertama tahun 1928, kecaman terhadap poligami sudah sangat nyaring. Maria Ulfah mengatakan, "Bagaimana mungkin perempuan Indonesia memenuhi harapan kita untuk mengasuh bangsa yang baru jika laki-laki Indonesia tidak ingin melepaskan kedudukan mereka sebagai raja dalam perkawinan?" (BBPIP, 1939: 67).

Dalam upayanya menentang poligami, Maria mengajak gerakan perempuan untuk merancang peraturan guna melindungi kaumnya, dari penyalahgunaan hukum agama yang dipakai sebagai dalil kepentingan kaum lelaki saja.

maria ulfah
info gambar

Pada 1933 berlangsung kongres ke IV Perkumpulan Perikatan Istri Indonesia (PPPI). Perkumpulan ini merupakan gabungan dari ratusan organisasi perempuan. Termasuk organisasi perempuan Islam yang pro terhadap poligami, karena ajaran yang diyakininya.

Saat itu, organisasi Istri Sedar, yang berhaluan radikal antipoligami juga turut hadir. Pertemuan dua organisasi yang berbeda haluan itu mengakibatkan perbenturan yang tidak bisa dihindarkan.

Saat itu, Ratna Sari, aktivis Persatuan Muslim Indonesia (PERMI), menyampaikan pidato yang menyebut poligami sebagai kewajiban istri. Tidak mengherankan Ratna mengatakan hal tersebut, sebab dalam ajaran Islam memang ada dalil yang menyatakan hal itu.

Mendengar apa yang disampaikan oleh Ratna, Nj. Pringgodigdo, perwakilan Istri Sedar tidak terima dan seketika naik ke panggung. Suasana kongres jadi riuh. Tambah lagi dengan provokasi yang dilakukan oleh peserta laki-laki dalam kongres tersebut.

Pada saat itulah Maria tampil memberi jalan tengah terhadap perseteruan itu. Ia mengusulkan dibentuknya Badan Konsultasi Perkawinan. Usulannya disetujui oleh organisasi perempuan Islam maupun non-Islam.

Itulah yang menarik dari Maria Ulfah. Meski ia merupakan penentang poligami, ia tidak serta merta mau mempertentangkannya dengan ajaran yang diyakini kelompok Islam. Menurutnya, pertentangan hanya akan melemahkan persatuan kaum nasionalis.

Sebagai jalan keluarnya ia lebih mendorong ke arah regulasi, sesuai dengan latar belakangnya di bidang hukum.

Keunggulannya di bidang hukum juga kerap ia manfaatkan dalam sepak terjangnya di kongres maupun pertemuan-pertemuan lainnya. Ia gigih memperjuangkan adanya regulasi berkaitan dengan kesamaan hak perempuan.

Meski undang-undang atau peraturan itu sendiri akhirnya baru disahkan pada 1974, tetapi perjuangannya sudah ia mulai jauh sebelumnya.

Sebagai seorang perempuan yang memiliki keahlian khusus. Ia menyadari betul, bahwa kemampuannya harus digunakan seoptimal mungkin untuk memperjuangkan nasib perempuan yang mungkin tidak memiliki kesempatan seperti dirinya.

Idaman Pemuda Pergerakan

Di masa pergerakan, sosok Itje bisa dibilang perempuan yang langka pada zamannya. Itje kerap dikerubungi para cendekiawan-cendekiawan muda. Tak jarang pula ia harus terlibat dialog-dialog tajam yang mengasah otak hingga berjam-jam. Tanpa canggung, ia meladeni adu gagasan dengan para pemuda yang kelak akan jadi pemimpin Indonesia itu.

Dikutip dari Tirto.id, mantan wartawan Pedoman, Gadis Rasid, pernah menyebut Itje dengan julukan parade paard yang berarti pusat perhatian. Itje memang pusat perhatian dan kebanggaan kaum nasionalis.

Ia selalu ditonjol-tonjolkan sebagai seorang perempuan yang berasal dari keluarga bupati didikan Belanda, tetapidengan sukarela terjun ke gelanggang perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Sebagai perempuan yang langka di zamannya, banyak pemuda pergerakan yang mencoba mendapatkan hatinya. Apalagi, saat Itje bersama temannya Siti Soendari tinggal bersama di rumah kontrakan di Salemba Tengah, Jakarta.

Kediaman Itje bersama Siti berlokasi tidak jauh dari gedung sekolah Perguruan Rakyat di Kramat Raya. Tempat itu sering dijadikan lokasi pertemuan para pemuda pergerakan. Pemuda yang paling menonjol di sana adalah Amir Sjarifoeddin. Selain itu, di antara para pengajar Perguruan Rakyat, terdapat nama-nama beken seperti Wilopo, Mohammad Yamin, Sumanang Surjowinoto, dan lainnya.

Maria Ulfah
info gambar

Rumah kontrakan Itje dan Siti kerap menjadi sasaran apel para pemuda pergerakan. Berdasarkan kisah yang ditulis Gadis Rasid, setidaknya ada tiga pemuda pergerakan yang mencoba mendekati Itje. Mereka adalah Adnan Kapau Gani, Hindromartono, dan Santoso Wirodihardjo.

Semua lelaki itu tajam dan suka berterus terang, khas pemuda pergerakan. Itje tampaknya lebih suka yang pendiam. Ia justru memilih menambatkan hati kepada Santoso Wirodihardjo, sarjana hukum lulusan Leiden, yang tidak terlampau menonjol dalam pergerakan. Itje dan Santoso memutuskan menikah pada Februari 1938.

Pernikahannya bertahan 10 tahun dengan akhir yang menyedihkan. Pada tahun kesepuluh itu, Santoso tewas ditembak seorang sersan mayor Belanda yang mabuk. Jenazah suami Itje ditemukan meregang nyawa di sekitar Bandara Maguwo pada Desember 1948.

Ditinggal suaminya, Itje menolak berteman terlalu lama dengan kesedihan. Ia lebih memilih menyibukkan diri dengan tugas-tugasnya sebagai Dewan Menteri yang sangat menyita tenaga dan perhatian sehingga lupa pada kesedihan.

Bahkan Itje menolak pemberian santunan dari Belanda, yang merasa malu karena kelakuan serdadu mabuknya telah menyebabkan suaminya tewas.

Selang 15 tahun ditinggal suaminya dan tenggelam dalam kesibukan. Itje akhirnya menikah lagi. Pria pilihan Itje memang tidak pernah jauh dari para tokoh pergerakan nasional. Pria itu adalah Soebadio Sastrosatomo, salah satu pentolan Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Niat menikah Itje dan Soebadio sempat terganjal akibat ditangkapnya Soebadio karena tuduhan mendorong gerakan separatisme PRRI/Permesta.

Namun, hal itu tidak menghalangi cinta keduanya. Berbekal surat izin dari Bung Karno, Soebadio dan Itje akhirnya menikah pada 10 Januari 1964. Mereka baru bisa berkumpul kembali pada 1966, setelah Soeharto memerintahkan melepas semua tahanan politik era Soekarno.

Begitulah, sekilas kisah tentang sepak terjang Maria Ulfah alias Itje, dalam memperjuangkan nasib perempuan. Perjalanannya tidak selalu mulus, tapi dengan segenap tekadnya ia mampu menjadi teladan bagi para perempuan Indonesia yang mewarisi hasil perjuangannya.

Semoga, kita bisa meneladani perjuangan menteri perempuan Indonesia pertama itu. Sekaligus perempuan Indonesia pertama yang menjadi sarjana hukum dari Universitas Leiden, Belanda.

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini