Nasionalisme Lewat Musik ala Ismail Marzuki

Nasionalisme Lewat Musik ala Ismail Marzuki
info gambar utama

Dalam suasana Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang ini, karyanya yang berjudul Hari Lebaran (1950) masih kerap diputar di berbagai media. Walaupun ada lagu-lagu baru yang bertema sama dari para musisi lain. Namun, lagu ciptaan maestro musik Indonesia Ismail Marzuki ini, memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat.

Karya-karyanya melintasi zaman, mulai dari lagu perjuangan, kritik sosial, hingga bernuansa romantis. Dalam lagu Hari Lebaran, misalnya, sambil mengucapkan selamat hari raya kepada umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia. Ismail Marzuki juga sangat cerdik menyelipkan kritik sosial yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat kala itu, seperti dalam penggalan liriknya berikut ini:

“Maafkan lahir dan batin, ulang taon idup prihatin

Cari uang jangan bingungin, bulan Syawal kita ngawinin

Cara orang kota berlebaran lain lagi

Kesempatan ini dipakai buat berjudi

Sehari semalam main ceki mabuk brandi

Pulang sempoyongan kalah main pukul istri

Akibatnya sang ketupat melayang ke mate

Si penjudi mateng biru dirangsang si istri.”

Dari penggalan lirik tersebut, terlihat Ismail Marzuki sangat peka menyorot berbagai fenomena sosial di tanah kelahirannya, Jakarta. Lewat karyanya tersebut ia menggambarkannya dengan sangat apik.

Meski ada karya-karyanya yang bernada kritik, tetapi bila mengingat sosok Ismail Marzuki, masyarakat biasanya akan mengingat dengan lagu-lagu perjuangan yang membangkitkan semangat nasionalisme.

Karena lagu-lagu karyanya yang membangkitkan semangat perjuangan tersebut. Oleh Presiden Soekarno, Ismail Marzuki dianugerahi Piagam Wijaya Kusuma, suatu penghargaan tertinggi dari pemerintah dalam bidang seni.

Berminat Pada Musik Sejak Belia

Ismail Marzuki lahir di Kampung Kwitang, Senen, Jakarta pada 11 Mei 1914. Dalam pergaulan sehari-hari ia biasa dipanggil Maing. Maing merupakan anak dari keluarga Betawi yang terpandang. Ayahnya bernama Marzuki Saeran dan ibunya bernama Solechah.

Ayahnya adalah seorang yang berpikiran maju, maka dari itu ia yang mengharuskan anak semata wayangnya mempunyai pendidikan yang baik. Tidak heran jika pada waktu itu, Maing menjadi anak Betawi yang berbeda dari kebanyakan anak Betawi lainnya.

Ia sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Kristen Hollandsche Inlandsche School (HIS) Idenburg di daerah Menteng. Di sekolah itu, nama panggilan Maing adalah Benyamin. Namun karena ayahnya khawatir anaknya nanti akan bersifat kebelanda-belandaan, kemudian ia dipindahkan ke Madrasah Unwanul-Falah di Kwitang. Lulus dari madrasah tersebut, ia melanjutkan pendidikannya ke MULO (Sekolah Lanjutan Pertama zaman Belanda) di Jalan Menjangan, Jakarta.

Usai sekolah di MULO, karena mampu berbahasa Belanda dan Inggris dengan baik. Maing kemudian bekerja di Socony Service Station di Java Weg (sekarang Jalan HOS Tjokroaminoto) sebagai kasir.

Namun, ia tidak lama menggeluti pekerjaannya itu, kemudian pindah ke perusahaan dagang K.K. Knles di Noordwijk yang sekarang menjadi Jalan Ir. H. Juanda. Di sana ia menjual alat musik dan merekam piringan hitam Polyor. Maing kerasan kerja di sana karena sesuai dengan minatnya di bidang seni musik.

Sejak kecil Maing sudah menunjukkan minatnya pada musik. "Ia betah nongkrong berjam-jam di depan gramophone sambil memutar lagu-lagu mulai dari keroncong hingga samba,” seperti dikutip dalam Tokoh Indonesia Teladan terbitan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI.

Selain minat, ia juga dianugerahi talenta dalam bermusik yang sulit dicari bandingannya. Minat dan bakat tersebut menurun dari ayahnya, sang ayah dikenal gemar dan piawai memainkan beberapa alat musik sambil melantunkan syair-syair yang bernuansa Islami. Jadi bukanlah hal yang terlalu mengherankan bila sejak kecil Maing tertarik dengan musik.

Tambah lagi, ketika beranjak dewasa, Maing kerap dibelikan alat-alat musik sederhana. Hal itu semakin mengasah kemampuan Maing dalam bidang seni musik.

Maing juga dikenal sebagai sosok pemuda yang gemar berpenampilan necis. Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat dan senang memakai dasi. Ia juga mempunyai kepribadian yang sederhana dan tergolong anak yang pintar.

Ismail Marzuki
info gambar

Bakat seni musiknya semakin terasah saat ia aktif di organisasi Kepanduan. Dalam organisasi tersebut ia mulai berkenalan dengan nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan. Di usianya yang relatif belia pada saat itu, ia mulai menciptakan lagu berbekal kemampuannya memainkan berbagai alat musik seperti ukulele, piano, akordeon, dan gitar.

Selain aktif dalam organisasi, rasa nasionalismenya terpengaruh pula oleh lingkungan tempat tinggalnya yang dekat dengan Gedung Sumpah Pemuda. Sebagai seorang komponis, Maing mahir memadukan unsur romantisme, patriotisme dan keindahan seni, sebagaimana yang tercermin dalam karya-karyanya.

Dalam lagu Rayuan Pulau Kelapa, misalnya, dengan terampil ia menggambarkan kecintaannya kepada Tanah Air lewat ungkapan yang melukiskan keindahan alam dan kesuburan tanahnya.

Karir bermusiknya dimulai pada tahun 1936, saat ia bergabung dengan Orkes Lief Java sebagai pemain gitar, saksofon dan harmonium pompa. Tidak hanya itu ia juga menjadi penyanyi sekaligus penggubah lagu.

Dalam perkumpulan orkes tersebut, Maing kembali mendapatkan jalan untuk mengasah bakatnya. Ia sangat kreatif dalam mengaransir lagu Barat, keroncong, maupun langgam Melayu.

Orkes Lief inilah yang kemudian membawanya ke dalam siaran Nederlands Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM), untuk mengisi acara siaran musik. Sejak saat itu Maing terjun dalam dunia radio. Perannya adalah sebagai penggubah dan pengaransemen lagu.

Namun, ia berhenti dari radio tersebut karena hanya sedikit memberi kesempatan kepada orang Indonesia untuk menyuarakan perjuangannya. Keluar dari NIROM, Maing bergabung dengan para nasionalis lainnya dan mendirikan Vereeniging Oosterche Radio Omroep (VORO).

Di radio bentukannya bersama kawan-kawannya itu, ia leluasa menyuarakan buah pikiran dan karya-karyanya yang bernada nasionalis. “Karyanya yang pertama lahir adalah O, Sarinah,” seperti dikutip dari Tokoh Indonesia Teladan.

Dalam lagu O, Sarinah, ia menggambarkan rakyat Indonesia yang sedang tertindas. Di periode ini, karya-karyanya banyak yang mencerminkan dirinya sebagai seorang pemuda yang penuh romantisme dan rasa nasionalisme. Kalung Asmara dan Sampul Surat adalah sedikit dari karyanya pada periode ini yang menyiratkan hal itu.

Menciptakan Lagu Perjuangan

Di periode 1943-1944, Maing mulai mengarahkan karyanya pada lagu-lagu perjuangan. Meski tidak langsung turun dalam pertempuran, tetapi lewat lagu-lagunya ia ingin ikut berjuang. Ia berharap lagu-lagunya dapat menambah semangat perjuangan bagi bangsa Indonesia.

Dalam periode ini, karya-karyanya yang terkenal antara lain, Rayuan Pulau Kelapa, Bisikan Tanah Air, Gagah Perwira, dan Indonesia Tanah Pusaka. Maing sempat mendapat masalah karena lagu Bisikan Tanah Air dan Indonesia Tanah Pusaka. Dalam masa penjajahan Jepang ini, sepak terjangnya diawasi oleh Kepala Bagian Propaganda Jepang.

Namun, hal tersebut tidak membuatnya gentar, bahkan ia malah melahirkan karya lainnya yang juga bertema perjuangan, yaitu Selamat Jalan Pahlawan Muda.

Rasa nasionalisme Maing sempat diuji saat Belanda mencoba kembali menjajah Indonesia. Pada akhir tahun 1946, Belanda mengambil alih Radio Republik Indonesia (RRI) di Jakarta dan mengganti namanya dengan Radio Omroep In Overgangstijd (ROIO).

Departemen Penerangan Pemerintah Belanda di Indonesia, merayu Maing agar tetap mau mengisi siaran musik di sana. Kala itu, Maing memang kerap menjadi pengisi acara siaran musik di sana.

Belanda merayunya dengan menawarkan gaji besar, tempat tinggal, sebuah mobil dan berbagai fasilitas lainnya. Namun, semua ia tolak dengan tegas. “Menurutnya lebih baik jualan gado-gado daripada harus mengorbankan harkat dan martabat kepada penjajah,” seperti dikutip dalam Tokoh Indonesia Teladan.

Maing baru mau kembali mengabdi untuk RRI setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia di penghujung tahun 1949.

Pencipta Lagu Bernuansa Lembut hingga Mars Pengobar Semangat

Ismail Marzuki bersama istrinya sempat mengungsi ke Bandung tatkala keadaan Jakarta semakin genting. Ternyata keadaan Bandung waktu itu juga tidak lebih baik dari Jakarta, Belanda terus menggempur Kota Kembang itu. Bersama keluarganya, ia kembali mengungsi lebih jauh ke daerah Ciwidey.

Nalurinya sebagai musisi membuatnya terdorong untuk menuangkan pengalamannya selama mengungsi ke dalam lagu. Beberapa karyanya seperti Saputangan dari Bandung, Karangan Bunga dari Selatan, dan O Angin Sampaikan Salamku, lahir dari pengalamannya saat mengungsi di daerah Bandung dan sekitarnya.

Namun, karyanya yang paling fenomenal pada waktu itu adalah lagu Halo-halo Bandung yang bernuansa patriotik.

Selain mampu menciptakan lagu-lagu bercorak nasionalisme yang mengobarkan semangat (mars). Ismail Marzuki juga menciptakan lagu-lagu cinta tanah air berirama tenang seperti Gugur Bunga.

Pada waktu itu, berita tentang pahlawan yang gugur di medan perang adalah kabar yang terdengar hampir setiap hari dalam masa revolusi kemerdekaan. Perasaan romantisme, kepedihan, dan penghormatan pada para pahlawan dituangkan dalam lagu itu. Nilai patriotisme dan nasionalisme yang tinggi juga terbungkus dengan apik di antara lirik-liriknya.

Selain lagu berirama lembut yang bertemakan nasionalisme. Ia juga kerap membuat lagu yang bernafaskan Ketuhanan seperti O, Angin Sampaikan Salamku. Tema lainnya yang juga mendapat sorotan dari komponis asli Betawi yang nasionalis ini adalah tentang kehidupan para pejuang kemerdekaan.

Lagu karyanya yang menceritakan sisi kehidupan para pejuang adalah Oh Kopral Jono dan Sersan Mayorku. Kedua lagu tersebut dibuat dengan lirik yang ringan dalam alunan nada yang populer kala itu.

ismail marzuki
info gambar

Menciptakan Lagu Bernada Kritis

Pada pembukaan tulisan ini telah disinggung bahwa sebagai seorang musisi, Ismail Marzuki juga kerap membuat lagu bernada kritis. Salah satu contohnya adalah lagu Hari Lebaran yang menyindir perilaku masyarakat dalam merayakan Hari Raya Idul Fitri.

Selain Hari Lebaran, Maing juga kerap membuat lagu yang mengkritik dalam masa perjuangan revolusi. Lagu Seruan Seruni misalnya, ia dengan lantang mengkritik orang-orang yang berkedok pejuang tapi sebenarnya lebih untuk memenuhi kepentingan pribadi ketimbang perjuangan yang hakiki.

Sementara dalam karyanya yang berjudul Djakarta Menanti, ia memperlihatkan sikap kritisnya dengan membantah mitos yang menganggap bahwa Jakarta bukanlah kota perjuangan.

Ia mengkritik pula orang-orang yang meninggalkan Jakarta untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Maing menyebut orang-orang seperti itu bukanlah pejuang sejati.

Selain dari pengalaman pribadinya, Ismail Marzuki juga kerap menciptakan lagu yang terinspirasi dari pengalaman teman-temannya di medan perang. Contohnya, sewaktu masuknya kembali tentara Republik Indonesia ke Jakarta setelah penyerahan kedaulatan. Ia menciptakan lagu berjudul Selamat Datang Pahlawan Muda.

Sementara lagu Sepasang Mata Bola (1946) tercipta ketika ia bersama dengan komponis Iskandar Muda, sedang menempuh perjalanan dengan kereta api dari Jakarta menuju ibukota RI kala itu, Yogyakarta.

Tujuan perjalanannya saat itu adalah untuk menghadiri Perayaan Hari Radio yang pertama pada 1946. Selama di kereta, Maing terus menulis di secarik kertas hingga tiba di stasiun kereta api Yogyakarta. Lagu ini kemudian diperkenalkan pada perayaan Hari Radio tersebut.

Ismail Marzuki
info gambar

Mengundurkan Diri

Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada Desember 1949, Ismail Marzuki sempat memimpin Orkes Studio Djakarta (OSD). Maksud didirikannya orkes ini adalah untuk membina kebudayaan nasional dengan mengembangkan kesenian-kesenian daerah yang sejalan dengan tujuan negara.

Namun, karena sakit paru-paru yang dideritanya, hal itu tidak berlangsung lama. Kepemimpinan OSD ia serahkan kepada Sutedjo. Ia lebih memilih hanya menjadi pencipta lagu saja.

Pada 1950, saat Indonesia sedang memperjuangkan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi karena Belanda bersikeras tidak mau menyerahkannya. Maing mengutarakan dukungannya kepada pemerintah RI dengan menciptakan lagu Irian Samba.

Karena alasan kesehatannya, akhirnya Ismail Marzuki memutuskan untuk mengundurkan diri dari kegiatannya di dunia seni musik. Hanya untuk mengisi waktu luang, sesekali ia tetap menciptakan lagu.

Pada suatu siang di hari Minggu, tepatnya tanggal 25 Mei 1958, Republik Indonesia kehilangan seorang komponis besar yang karya-karyanya berhasil membangkitkan semangat juang dalam melawan penjajah. Ismail Marzuki, tutup usia.

Ismail Marzuki memang tidak berjuang secara langsung dengan terjun di medan pertempuran. Akan tetapi, melalui syair-syairnya yang menggugah semangat, ia berhasil menggerakan hati masyarakat untuk senantiasa mencintai Tanah Air Indonesia.

Demi mengenang karya dan jasanya di bidang kesenian, selain dianugerahi Piagam Wijaya Kusuma, namanya juga diabadikan untuk pusat kesenian di Jakarta, yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM).

Mengenang sosok Ismail Marzuki tidak pernah lepas dari mengenang karya-karyanya. Sebagai seorang komponis, ia menunjukkan rasa cinta dan nasionalisme kepada tanah air lewat karya-karyanya. Hal itu membuktikan, di berbagai bidang apapun yang digeluti, kita masih tetap bisa menunjukkan rasa cinta kita kepada Indonesia, seperti Ismail Marzuki (Bang Maing) dengan lagu-lagunya.


Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini