Mengupas Sejarah Salah Satu Desa Tertinggi di Indonesia, Wae Rebo

Mengupas Sejarah Salah Satu Desa Tertinggi di Indonesia, Wae Rebo
info gambar utama

Indonesia memiliki kekayaan alam yang memesona baik itu di lautan maupun daratan. ''Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja (kekayaan alam yang berlimpah, tertib, tenteram, sejahtera),'' kalau kata Presiden Sukarno saat menggambarkan kekayaan Indonesia dalam pidato memeringati Hari Ibu pada 22 Desember 1960.

Mungkin Kawan GNFI sudah tahu, 77 persen wilayah Indonesia adalah perairan laut sehingga acap kali disebut sebagai negara maritim dan itu bisa dilihat dengan banyaknya gugusan pulau dari timur hingga barat. Namun, kekayaan Indonesia tentu saja tidak hanya di laut, tetapi juga di daratan. Di setiap pulaunya memiliki pesonanya sendiri baik itu berupa hutan nan hijau sampai hamparan dataran tinggi pegunungan.

Khusus untuk kekayaan alam dataran tinggi di Indonesia, biasanya tempat ini menjadi sorotan oleh banyak khalayak terutama bagi mereka yang sedang melancong. Pemandangan alam yang kaya dan sejuknya udara menjadi pelepas penat sempurna ketika menyambanginya.

Hanya saja kita juga jangan lupa, di dataran tinggi di Indonesia tidak hanya ada suguhan pemandangan yang memesona saja, tetapi juga ada masyarakat setempat yang mendiaminya. Terkadang, mereka yang tinggal di dataran tinggi di Indonesia jauh dari peradaban, hiruk-pikuk perkotaan, tetapi masih bisa menikmati hidup bersanding dengan alam. Dari mereka juga kita bisa belajar sejarah, budaya, dan tradisi yang dianut.

Ada banyak masyarakat dataran tinggi yang membuat pemukiman atau desa di sejumlah daerah di Indonesia. Salah satu contohnya ialah Desa Wae Rebo di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di tempat ini masyarakat Desa Wae Rebo bermukim di sebuah dataran tinggi terpencil dan menyatu dengan alam.

Salah Satu Desa Tertinggi di Indonesia

Kita sudah tahu, bagian tengah Pulau Jawa merupakan daerah bentangan dataran tinggi pegunungan. Dari situ, sejumlah desa mendapatkan predikat desa dengan wilayah tertinggi di Indonesia, sebut saja Desa Sembungan di Wonosobo, Jawa Tengah, dan Desa Argosari serta Ranu Pani di Lumajang, Jawa Timur. Lalu bagaimana dengan desa tertinggi di luar Pulau Jawa? Desa Wae Rebo jawabannya.

Panorama Desa Wae Rebo pada kala pagi hari.
info gambar

Sejumlah fakta menarik tersimpan di Desa Wae Rebo yang terletak di Flores, sebuah pulau yang berada di Indonesia bagian timur. Salah satunya yakni usianya sudah ribuan tahun.

''Wae Rebo merupakan sebuah desa yang terletak di Kampung Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese Barat, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Desa ini berada pada ketinggian 1.100 meter di atas permukaan laut (mdpl) sehingga berhawa dingin. Masyarakat Wae Rebo meyakini bahwa pendiri kampung mereka ialah Maro,'' jelas sejarawan asli Flores yang kini bermukim di Ruteng, Servulus Erlan de Robert, ketika dikontak GNFI pada Jumat (12/6).

''Sahibul hikayat, Maro datang bersama saudaranya, Bimbang. Setelah hidup berpindah-pindah, Maro memilih menempati lembah yang dikelilingi gunung-gunung yang saat ini bernama Wae Rebo. Menurut tradisi lisan, usia Wae Rebo saat ini sekitar 1.080 tahun berdasarkan perhitungan generasi saat ini yang sudah memasuki urutan 18 dengan masing-masing generasi berusia maksimal 60 tahun,'' terangnya lagi.

Keturunan Orang Minang

Walaupun Wae Rebo adalah perkampungan di Manggarai Barat, NTT, tetapi rupanya warga desanya mengklaim bahwa mereka adalah keturunan Minang dari Sumatra Barat. Ribuan tahun yang lalu leluhur mereka melakukan penjelajahan dengan perahu dan mendarat di Nangapaang, sebelah timur dari Ruteng.

Bila ditilik lewat platform Google Maps, jauhnya perjalanan dari Provinsi Sumatra Barat ke NTT bisa mencapai tiga ribuan kilometer dan memakan waktu tiga hari jika menggunakan perjalanan darat memakai mobil. Pada zaman dulu jelas belum ada mobil, jadi perjalanannya lebih berat berhubung memakai perahu. Kemungkinan lamanya perjalanan akan memakan waktu berminggu-minggu atau bahkan bulanan tergantung dari kondisi cuaca laut ketika sedang berlayar.

Jarak ribuan kilometer harus ditempuh jika ingin bertolak dari Sumatra Barat ke Nusa Tenggara Timur (Pulau Flores).
info gambar

''Leluhur masyarakat Wae Rebo berasal dari ranah Minang, yaitu Empo Maro. Bersama saudaranya, Bimbang, mereka datang ke Flores menggunakan perahu layar. Mereka berlabuh di Nangapaang. Dari situ, mereka menuju arah utara dan tiba di wilayah yang bernama Todo. Singkat cerita, Maro dan keluarganya tiba di wilayah Golo Pando yang kelak berganti nama menjadi Wae Rebo,'' terang Erlan, sejarawan lulusan Universitas Indonesia yang pernah menerbitkan buku tentang timah di Belitung tempo dulu.

Rumah Adat Wae Rebo, Mbaru Niang

Memiliki darah orang Minang, tetapi nama-nama penduduk Desa Wae Rebo tidak seperti nama orang Minang kebanyakan. Meskipun begitu, penduduk yang mendiami desa tersebut masih mempertahankan unsure ke-Minang-an dalam segi arsitektur rumah adatnya.

Soal arsitektur rumah adat Desa Wae Rebo memang menonjol dan menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Bentuknya berupa lumbung kerucut dan hanya berjumlah tujuh buah saja. Konon bentuknya mengadopsi rumah gadang yang bisa dijumpai di tanah Minang.

Citra Desa Wae Rebo dari atas udara.
info gambar

''Pengaruh Minang terlihat pada arsitektur rumah adat Manggarai pada bagian atap yang disebut Niang Dangka. Bagian ini kemungkinan besar mengadopsi atap rumah gadang dengan bubungan bertanduk rangkap dua yang dijadikan satu,'' jelas Erlan.

Mbaru Niang—yang mendapatkan penghargaan tertinggi untuk kategori konservasi warisan budaya UNESCO Asia-Pasifik pada 2012—memiliki lima lantai dengan tinggi sekitar 15 meter. Di tiap bagiannya memiliki fungsi yang bermacam-macam untuk kebutuhan rumah tangga keluarga yang mendiaminya.

Rumah ini juga memiliki nama lain yaitu Rumah Bundar. Sedikit tidak cocok karena bentuknya yang mengerucut. Rumah ini memiliki diameter dan ketinggian yang sama dan bisa ditinggali 6-8 keluarga.

Penampakan bagian dalam Mbaru Niang.
info gambar

''Rumah adat (Mbaru Niang) di Wae Rebo ada tujuh buah. Masing-masing rumah terdiri atas lima tingkat. Tingkat pertama adalah tempat tinggal anggota keluarga; tingkat kedua adalah tempat menyimpan makanan sehari-hari; tingkat ketiga adalah tempat penyimpanan makanan cadangan; tingkat keempat merupakan tempat menyimpan benih dan; tingkat kelima untuk menyimpan piring guna memberi makan leluhur. Piring ini hanya dikeluarkan saat upacara khusus di pertengahan November,’’ imbuhnya.

Sebelumnya, GNFI sudah pernah membahas mengenai rumah adat Mbaru Niang ini lewat artikel "Desa Warisan Budaya UNESCO Ini Ada di Atas Awan" pada 2018. Di dalam artikel tersebut juga dipaparkan keseharian warga Desa Wae Rebo di dalam maupun di luar rumah adat mereka.

Berkunjung ke Wae Rebo, Perlu Tenaga Ekstra

Letak Desa Wae Rebo bisa dibilang terpencil karena berada di pegunungan yang aksesnya masih belum bagus. Tim Lonely Planet, sebuah penerbit buku asal Australia yang sering membuat buku panduan perjalanan, menginfokan lewat buku Lonely Planet Indonesia butuh sekitar 3-4 jam untuk menyambangi Desa Wae Rebo.

''Untuk mencapai Wae Rebo, pengunjung dapat menggunakan mobil atau motor dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai menuju Desa Denge. Dari Denge, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar dua jam menuju Wae Rebo,'' kata Erlan.

Masuk ke Desa Wae Rebo tidak dipungut biaya, tetapi lain lagi jika ingin menginap untuk menikmati keeksotisan pemandangan malam dan pagi hari desa tersebut. ''Tidak ada biaya masuk menuju Wae Rebo. Pada 2020, pengunjung hanya membayar biaya menginap sebesar Rp 325.000,00 per malam,’’ paparnya lagi.

Siapkan Baterai Cadangan dan Buku Anak

Jika Kawan GNFI ada rencana untuk berkunjung ke Desa Wae Rebo, sediakanlah baterai cadangan untuk perangkat elektronik yang dibawa. Pasalnya di Wae Rebo akses listrik masihlah sangat terbatas.

''Listrik ada pukul enam sore sampai sepuluh malam (Waktu Indonesia Timur/WIT),'' kata Erlan ketika ditanya mengenai ketersediaan aliran listrik di sana.

Ada pun membawa baterai cadangan untuk gawai tidak terlalu dibutuhkan di sana karena minimnya sinyal operator seluler. Lagipula, jauh-jauh ke Wae Rebo ada baiknya berinteraksi dengan penduduk setempat, benar begitu bukan?

Seorang bapak warga Desa Wae Rebo membacakan cerita pada anak-anak.
info gambar

Namun perlu diketahui ketika berinteraksi khususnya pada anak-anak Wae Rebo. Mereka tidak terlalu lancar berbahasa Indonesia karena sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa Manggarai. Meskipun kurang dalam berbahasa Indonesia, anak-anak Wae Rebo tetap mempelajarinya di sekolah desa terdekat.

Wae Rebo sendiri memiliki perpustakaan untuk asupan literasi bagi anak-anak setempat. ''Wae Rebo tidak memiliki lembaga pendidikan. Anak-anak Wae Rebo menempuh pendidikan dasar di desa terdekat dari sana yaitu Denge dan Wae Kombo. Walau demikian, Wae Rebo memiliki perpustakaan hasil sumbangan donatur,'' jelas Erlan.

Buku-buku yang disumbangkan itu langsung diberikan guru Wae Rebo atau orang dewasa. Di sana memang ada imbauan untuk tidak memberikan apapun ke anak-anak baik itu uang sampai makanan kecil. Hal itu dilakukan agar menghindari mental meminta-minta.

Bagaimana Kawan GNFI, berminat berkunjung ke Wae Rebo?

Baca Juga:

Referensi: Detik.com | Kompas.com | David Eimer, et al, "Lonely Planet Indonesia" | Yori Antar, "Pesan dari Wae Rebo" | Fitri Haryani Nasution, "70 Tradisi Unik Suku Bangsa di Indonesia" | Tri Cahyani, "30 Destinasi Wisata di Nusa Tenggara Timur"

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini