Mengenal Suku Laut, Pelestari Kehidupan Bahari yang Mulai Terlupakan

Mengenal Suku Laut, Pelestari Kehidupan Bahari yang Mulai Terlupakan
info gambar utama

Suku laut (Sea Nomads) atau Suku Sampan merupakan salah satu komunitas pribumi yang mendiami wilayah perairan Kepulauan Riau. Berdasarkan jumlah pendataan Departemen Sosial (Depsos) RI 1988, sekitar 11,23 persen terkonsentrasi berada di wilayah perairan Batam, berada di sekitar Selat Malaka, Selat Philip, dan Laut China Selatan.

Disebut sebagai suku laut karena keberadaannya yang hidup nomaden dengan melakukan seluruh aktifitas kegiatan hidup tinggal di sebuah perahu atau sampan yang beratapkan sebuah Kajang. Dahulunya, mereka hanya hidup di laut, berpindah dari pulau ke pulau hingga muara sungai.

Kehidupan Orang Laut--sebutan anggota suku laut--terbilang sangat sederhana. Mereka yang bermukim di atas sampan hanya ditutupi kajang sebagai pelindung dari terik panas dan hujan. Untuk menafkahi hidup, mereka mencari ikan dengan peralatan sederhana, seperti tempuling, tombak, dan serampang.

Melansir situs resmi Disbud Kepri, suku laut mulai menghuni wilayah Melayu-Lingga pada tahun 2500-1500 sebelum masehi sebagai bangsa Proto Melayu atau Melayu Tua. Mereka menyebar ke sebagian besar wilayah Sumatra melalui Semenanjung Malaka.

Menyatu dengan Alam Melalui Rumah Adat Suku Huaulu

Tahun 1500 sebelum masehi, mereka terdesak ke arah pesisir laut karena adanya arus migrasi besar-besaran oleh bangsa Deutro Melayu. Tapi ada juga yang menyebut, suku laut dulunya adalah kawanan perompak.

Menurut Cynthia Chou (2009) dalam sejarah Melayu, Orang Laut dikenal sebagai penjaga wilayah perairan kesultanan, pasukan perang, dan bertugas untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan laut bagi pihak kesultanan. Mereka berperan penting dalam kejayaan Kesultanan Malaka, Kesultanan Johor, dan Kerajaan Sriwijaya.

Tugasnya adalah menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, hingga memandu para pedagang ke pelabuhan kerajaan-kerajaan tersebut. Mereka adalah orang-orang yang setia terhadap kerajaan.

Ketika klan suku laut itu bersatu, mereka disebut sebagai "Orang Kerahan", mereka selalu berpandangan bahwa orang Melayu adalah kaum aristokrat dan pedagang yang harus dihormati. Suku laut bersama dengan orang Bugis dan Banjar adalah suku yang pada masa lalu selalu terlibat dalam mempertahankan kerajaan.

Mengajarkan tradisi kemaritiman sejak belia

Wilayah perairan Kepulauan Riau merupakan kawasan yang didiami oleh beberapa klan dari Orang Laut, masing-masing klanOrang Laut ini dipimpin oleh seorang Batin (Kepala Suku). Dalam satu kelompok suku laut atau klan bisa mencapai sekitar 30-an kajang/sampan, satu kajang/sampan biasanya dihuni oleh satu keluarga.

Di atas kajang ini pula, mereka mencari pasangan hidup dan membentuk keluarga baru. Kelompok suku laut akan mendarat di suatu pulau jika mereka hendak mengambil air bersih, mengebumikan anggota kelompoknya yang meninggal dunia, dan menjual ikan hasil tangkapannya.

Untuk melindungi diri dari perompak, mereka juga menyertakan seekor anjing yang dalam bahasa mereka disebut koyok. Ada juga membawa burung betet yang digunakan untuk mengetahui keadaan cuaca, melalui kicauan atau gerak geriknya.

Sebagian besar bayi lahir di dalam sampan saat berada di tengah lautan. Tidak sedikit yang meninggal dunia karena tidak adanya pertolongan dari tenaga medis, baik bidan, perawat, maupun dokter. Hal ini tentu saja karena kondisi yang serba minim dan tidak memenuhi persyaratan sebuah persalinan.

Jangan Salah! Ini Perbedaan Pakaian Adat Suku Baduy Dalam dan Baduy Luar

Mereka percaya bahwa bayi yang lahir di sampan yang sedang berlayar merupakan orang suku laut yang sesungguhnya. Sesuai tradisi, bayi itu pun langsung dimandikan air laut dan ditetesi air laut ke bibirnya.

“Supaya terbiasa dengan kehidupan laut,” ujar Fatimah, warga setempat.

Sejak kanak-kanak, mereka sudah diajarkan cara-cara hidup di lautan. Mulai saat berlabuh, memasang layar, mendayung, memfungsikan mesin kapal serta isyarat-isyarat khusus menghadapi ancaman, serta kehidupan pribadi.

Misalnya, jika kedua dayung sampan disilangkan, artinya kedua orang tuanya sedang bermesraan, sehingga tidak boleh diganggu. Termasuk, jika kedua orang tuanya pergi dari tepi pantai sekitar 100 meter, artinya sedang memadu kasih. Isyarat itu berlaku bagi masyarakat Suku Laut.

Umumnya, untuk mencari nafkah, mereka mencari ikan dengan cara menombak. Ikan yang ditangkap memakai tombak (nyuluh) untuk dimakan sendiri. Pasalnya, kondisi ikannya rusak, sehingga jika dijual di daratan, harganya menjadi murah.

Selain itu, mereka juga memasang ‘bubu’ di tengah laut untuk mendapatkan ikan dalam jumlah besar. Biasanya, dilakukan saat bulan purnama ketika ikan berkeliaran dalam kelompok besar.

Sementara bila terdampar di perairan Singapura, umumnya tidak ditangkap polisi karena mengetahui kalau mereka berasal dari suku laut di Kepulauan Riau. Selain itu orang China Singapura juga kerap membutuhkan mereka untuk membeli ikan teripang. Ikan ini tidak hanya favorit bagi suku laut, tetapi juga warga Singapura.

“Mereka berani membeli dengan harga dolar Singapura yang tinggi. Transaksi dilakukan di tengah lautan,” tulis Andul Rahman dalam buku "Menantang Gelombang: Kehidupan Suku Laut di Pulau Bertam Perairan Batam".

Upaya mendaratkan Suku Laut yang hilangkan tradisi?

Memiliki akar tradisi bahari yang sangat kuat, kehidupan suku laut tentu sangat kental dengan hukum adat yang menginduk pada kebudayaan maritim. Namun, Pemerintah Kepulauan Riau terus berupaya agar suku laut bisa menetap, pendataan dan berbagai pendekatan terus dilakukan.

Pemerintah setempat mulai membenahi tatanan pola kehidupan mereka dengan membangun sarana perumahan, kesehatan, dan pendidikan di sekitar pesisir pantai. Hal ini secara khusus diberikan secara gratis dan berbagai program-program pemberdayaan masyarakat pulau dan pesisir, yang khusus ditujukan untuk Orang Laut.

Bertahun-tahun Pemerintah Daerah (Pemda) melakukan upaya sosialisasi kepada Orang Laut dan membujuk mereka untuk tinggal di darat. Pada awalnya Orang Laut menuruti apa yang diinginkan oleh pemerintah.

Namun hal ini tidak berlangsung lama, banyak dari mereka yang meninggalkan rumah-rumah yang telah disediakan. Kemudian kembali lagi hidup di laut karena mereka menganggap rumah di darat hanya sebagai persinggahan sementara saja.

Orang Kincai, Manusia Pertama yang Mendiami Pulau Sumatra

Walau begitu, lambat laun suku laut sangat sulit ditemui. Keberadaannya pelan-pelan mulai terlupakan. Kalaupun ada, mereka jarang bisa dikenali. Banyak yang menduga, suku laut kini telah menetap di darat. Mereka menetap di Pulau Ngenang, salah satu pulau kecil di Batam.

Masalah kesehatan, pendidikan, dan masa depan generasi kaum gipsi laut itulah yang mendorong sebagian mereka disebut berubah pikiran. Kini, mereka lebih memilih memiliki tempat tinggal tetap di pulau.

"Sejak 1973 kami tidak lagi menetap di laut, dan 10 tahun terakhir sebagian besar kami tidak lagi melaut atau mencari ikan,” kata Batman (70), pawang atau tokoh adat Suku Sekak, salah satu kelompok suku laut yang berdiam di Desa Baskara Bakti, Kecamatan Namang, Kabupaten Bangka Tengah, seperti dikutip dari Mongabay Indonesia.

Mereka sebenarnya bisa saja kembali melaut, tapi pendapatan dari melaut dibandingkan pengeluaran untuk bahan bakar tidak seimbang. Apalagi menurut orang suku laut, jumlah ikan sekarang sudah menipis dan sulit didapatkan.

"Mungkin ikan sudah busuk dan sulit dijual jika sampai ke daratan,” jelas Batman

Padahal banyak yang berharap suku asli penghuni Batam dan Provinsi Kepri tetap terlestarikan. Pasalnya, apa yang diajarkan para leluhur suku laut merupakan aset kekayaan budaya Nusantara.

Apalagi bila pemerintah mampu mewujudkan solusi yang lebih baik kepada orang suku laut. Maka dengan demikian kita sebagai orang Indonesia yang sering menyanyikan lagu "Nenek Moyangku Seorang Pelaut" tidak melupakan identitas bangsanya sendiri sebagai masyarakat bahari.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini