Melihat Rumah Masa Kecil Bung Hatta, Pembentuk Karakter Sederhana dan Keislaman

Melihat Rumah Masa Kecil Bung Hatta, Pembentuk Karakter Sederhana dan Keislaman
info gambar utama

Mohammad Hatta lahir dan beranjak dewasa di rumah sederhana yang terletak di Jalan Soekarno Hatta, dekat kawasan Pasar Bawah, Kota Bukittinggi. Di rumah inilah figur Hatta sebagai pemimpin yang dikenal akan ketegasan dan kesederhanaannya mulai dibentuk.

Rumah ini adalah tempat Bung Hatta dilahirkan dan menghabiskan masa kecilnya sampai berusia 11 tahun. Bung Hatta kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di Meer Uitgebred Lager Onderwijs (MULO), atau sekolah menengah di kota Padang.

Rumah ini didirikan sekitar tahun 1860-an dan menggunakan struktur kayu yang terdiri dari bangunan utama, paviliun, lumbung padi, dapur, kandang kuda, serta kolam ikan. Bangunan utama berfungsi untuk menerima tamu, ruang makan keluarga, dan kamar ibu, paman, dan kakek Bung Hatta.

Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta sebenarnya adalah rumah kakek Bung Hatta dari pihak ibu, yaitu Haji Ilyas Bagindo Marah yang kerap disapa Pak Gaek. Di sana, Hatta tinggal bersama ibunya, Saleha, dan paman-pamannya, yaitu Saleh Sutan Sinaro dan Haji Idris.

Ibunya tinggal di lantai atas, sedangkan para pamannya tinggal di lantai bawah. Hatta sendiri menempati sebuah kamar di belakang yang letaknya terpisah dari bangunan utama rumah itu.

Dilansir dari Banjarmasinpost, kamar bujang Bung Hatta tidaklah megah, melainkan sangat sederhana. Menurut adat Minangkabau, kamar anak laki terpisah dari hunian induk rumah kelahiran Bung Hatta. Ini dimaksudkan agar mandiri. Di dalam kamar, hanya ada tempat tidur seperti bale, meja kecil, kursi, meja belajar, dan lemari.

Sedangkan di kamar orang tua Bung Hatta, terdapat dipan kanopi dari kayu, meja rias dengan ukiran disekelilingnya, dan karpet. Kamar itu dominan dengan material dari alam, membuat nuansa kamar menjadi hangat.

Obsesi Bung Hatta: Perekonomian Indonesia Harus Dikelola dengan Jiwa Tolong Menolong

“Rumah kami bertingkat dua, terbuat dari papan dan atap seng. Dari situ kami dapat menikmati pemandangan yang indah atas dua sejoli, Marapi dan Singgalang,” sebut Hatta dalam buku Mohammad Hatta Memoir (1979).

Seiring waktu, rumah ini kemudian tidak lagi digunakan oleh keluarga besar Bung Hatta karena telah mengalami kerusakan. Bahkan, rumah ini sempat dimiliki oleh seorang pengusaha bahan bangunan bernama Bapak Sabar.

Rumah ini kemudian diruntuhkan oleh pemiliknya. Memasuki tahun 1990-an, muncul gagasan untuk membangun ulang rumah bersejarah tersebut, dan tanah tersebut kemudian dibeli kembali oleh pihak Universitas Bung Hatta.

Merangkum dari laman resmi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Senin (17/8/2020), pembangunan kembali rumah kelahiran Bung Hatta ini sebagai upaya mengenang dan memperoleh gambaran masa kecil sang proklamator di kota Bukittinggi.

Penelitian pembangunan ulang rumah Bung Hatta dimulai dari November 1994. Tapi pembangunan baru dimulai pada 15 Januari 1995 dan diresmikan pada 12 Agustus 1995, bertepatan dengan hari lahir Bung Hatta. Peresmian ini juga sekaligus dalam rangka merayakan 50 tahun Indonesia Merdeka.

Rumah ini dibangun mengikuti bentuk aslinya yang dapat dilihat di memoir Bung Hatta dan berbagai foto atau dokumentasi milik keluarga Bung Hatta. Sebagian besar perabotan di dalam rumah, masih asli dari peninggalan masa kecil Bung Hatta yang diperoleh dari keluarga dan kerabat.

Pak Gaek dan Hatta

"Aku dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus 1902. Bukittinggi adalah kota kecil yang terletak di tengah-tengah daratan tinggi Agam. Letaknya indah di ujung kaki Gunung Marapi dan Singgalang,” tulis Bung Hatta.

Mohammad Hatta semula diberi nama Mohammad Athar. Namanya kemudian diganti menjadi Mohammad Hatta. Ayahnya Muhammad Djamil meninggal dunia saat Bung Hatta berumur delapan bulan, sehingga si Bung tak mengenal ayahandanya.

Dikutip dari Anwar Abbas dalam buku Bung Hatta dan ekonomi Islam (2010), Ayah Hatta berasal dari Batu Hampar, sekitar 9 km dari Kota Payakumbuh yang termasuk dalam Luhak--wilayah--Limo Puluh Kota. Sementara ibunya, berasal dari Kota Bukittinggi yang termasuk luhak Agam. Kedua orang tua Hatta merupakan sosok terhormat dalam lingkungan masyarakat di luhak masing-masing.

“Ayah Hatta adalah anak dari Syekh Arsyad, seorang guru agama dan pimpinan Tariqat Naqsyabandi yang cukup terkenal di daerahnya. Beliau tidak sempat merawat dan membesarkan anaknya karena dia sudah meninggal dalam usia yang masih terbilang muda yaitu 30 tahun, ketika Hatta masih berusia tujuh bulan. Sedangkan ibunya adalah anak dari Ilyas Bagindo Marah, yaitu seorang pedagang yang cukup kaya di kota Bukittinggi,” papar Anwar Abbas.

Walau sudah ditinggal ayahnya sejak kecil, Hatta tidak pernah kekurangan kasih sayang. Sebagai anak laki-laki satu-satunya di keluarganya, Hatta kecil selalu mendapat perhatian dari ibu, kakek, nenek, dan pamannya.

Nostalgia Penjara Glodok, Rumah Tahanan Hatta dan Koes Bersaudara yang Jadi Glodok Plaza

"Orang-orang tua di Bukittinggi menyebut dia anak cie pamaenan nato atau anak yang terpendam kebaikan, dan perangainya mengundang kasih sayang," tulis Buku TEMPO: Bapak Bangsa Hatta.

Hatta juga cukup dekat dengan sang kakek dari ibunya yang ia panggil Pak Gaek. Pak Gaek disebut Hatta memiliki 18 ekor kuda di pekarangannya. Kuda-kuda itu berfungsi mengantar pos dengan gerobak dari Bukittinggi ke Sibolga. Untuk mengurus kuda-kudanya, Pak Gaek mempekerjakan beberapa pembantu yang diperlakukan dengan mulia.

"Kita sama-sama manusia. Kalau tidak karena mereka, tak dapat aku mengerjakan pekerjaan sebanyak itu," nasihat Pak Gaek kepada Hatta kecil yang begitu membekas dalam ingatannya

Selain itu Pak Gaek pun mengajarkan Hatta soal disiplin kerja, ketepatan waktu, dan kesederhanaan. Sebagai pengusaha pos, Pak Gaek memiliki komitmen tinggi soal waktu. Barangkali kebiasaan tepat waktu Hatta mulai dipupuk dan disiram semasa ia berada dalam didikan sang kakek.

Dari Pak Gaek pula Bung Hatta belajar mengorganisir, sebab jasa pengangkutan pos tersebut tidak mungkin bisa berjalan, jika tidak diorganisir dengan baik berdasarkan dengan pengalaman dan keilmuan yang dimiliki oleh kakeknya.

Selain pengangkutan pos dengan pemerintah, kakek Bung Hatta juga menyediakan barang makanan untuk para pekerja di Sawah Lunto. Pekerjaan sebanyak itu bisa berjalan dengan lancar dan baik, tentu dengan kemampuan mengorganisir yang baik pula.

"Dari Nenek Aminah yang keras mengajarkan keteguhan hati, sedangkan Kakek Ilyas Bagindo Marah mendidik Hatta prinsip dasar keniagaan," jelas buku tersebut.

Dididik dengan ajaran Islam

Di seberang rumah kelahiran tersebut, kata Bung Hatta, terbentang sawah yang luas. Di tengah-tengah kumpulan sawah itu, kira-kira lebih sedikit dari setengah kilometer jaraknya dari rumahnya, terdapat kampung bernama Tengah Sawah. Dalam kampung itu, lanjut Bung Hatta, terdapat rumah dan surau ulama besar Syekh Muhammad Djamil Djambek.

"Beliaulah yang membimbing langkahku yang pertama ke jalan pengetahuan Islam. Mengaji Quran sampai tamat dipimpin oleh murid-muridnya yang sudah khatam Quran beberapa kali dan diangkat beliau jadi 'Guru Tua'. Sesudah itu untuk menanam pengertian tentang agama Islam, beliau sendiri yang mengajarkannya.” ungkap Bung Hatta.

Bung Hatta memang dibesarkan dalam keluarga yang berpegang teguh pada agama dan adat. Maka sesuai tradisi masa kecil Hatta lebih banyak dihabiskan di surau. Dalam adat Minang, surau memegang peranan penting dalam pembembentukan karakter anak.

Di surau, mereka dididik untuk menjadi muslim yang baik, yang memahami hukum Islam dan tafsir Alquran sebagai bekal dalam menjalani kehidupan. Tak terkecuali Hatta. Sejak berusia lima tahun ia sudah lalok di surau (tidur di surau). Selama masa lalok di surau, Hatta berguru pada Syekh Mohammad Djamil Djambek, seorang ulama terkenal di Sumatra Barat.

Setiap menjelang magrib, Hatta melangkahkan kaki menuju surau yang terletak di tengah sawah tak jauh dari rumahnya dan akan pulang setelah subuh. Pelajaran yang Hatta dapatkan di surau selama bertahun-tahun membentuknya menjadi pribadi yang taat beribadah dan sangat menjaga pergaulannya, dua karakter yang ia bawa terus sepanjang hidupnya.

3 Tokoh Bangsa, Lulus di Luar Negeri Pulang Demi Kemerdekaan

Lingkungan agama di Bukittinggi, tempatnya tinggal dan tumbuh besar, ditambah menjadi anggota keluarga besar ahli agama, membuat pendidikan Islam Bung Hatta pada masa kecil tidak diragukan. Nilai-nilai keislaman yang dipelajarinya dari keluarga dan guru-gurunya sudah menumbuh.

Bahkan saking Islaminya, Bung Hatta pernah berencana melanjutkan studinya ke Mekkah dan Kairo, meski rencana itu tidak terlaksana--akhirnya ia mengembara ke Jakarta dan Rotterdam. Suatu hari, Bung Hatta pernah bercerita tentang Perang Padri yang berlangsung di Sumatra Barat mulai tahun 1820-an hingga awal 1840-an.

Perang Padri berawal dari pertentangan kaum adat dan kaum agama. Kaum agama yang baru datang dari Mekkah, terpengaruh sikap keras dan puritan dari kaum Wahabi, hendak membersihkan agama Islam di Minangkabau yang bercampur tradisi.

Bung Hatta menyayangkan perang saudara di daerahnya itu. Apalagi konfrontasi ini diperparah dengan pihak kolonial yang menunggangi kaum adat. Hal ini mengindikasikan bahwa agama merupakan alat pemecah belah umat yang sangat efektif.

"Mereka lupa bahwa hukum yang setinggi-tingginya dalam Islam ialah damai," kata Bung Hatta mengkritik perang tersebut.

"Damai membawa kesejahteraan kepada segala golongan dan memperbesar rasa bakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Di atas dasar damai itu Nabi Muhammad SAW membiarkan berlaku hukum kebiasaan di Tanah Arab yang menjamin keselamatan umum. Tetapi menurut kebiasaan, pengikut-pengikut baru dalam Islam yang belum memahami ajaran Islam seluruhnya untuk dunia dan akhirat lebih fanatik dibandingkan dengan Rasul dan pengikut-pengikut yang pertama," lanjutnya.

Pengalaman di masa kecil itu sangat berbekas kepada Bung Hatta dan kemudian menentukan sikapnya dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Selain mengaji di surau dan belajar dari pengalaman kehidupan, Bung Hatta bersekolah resmi di HBS di Bukittinggi dan menamatkannya di Padang tahun 1916.

Ia kemudian menyambung ke MULO. Sebelum kemudian pindah ke Batavia untuk masuk sekolah ekonomi Prins Hendrik School (PHS). Dari sana ia kemudian melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi EKonomi Handels Hogeschool di Negeri Belanda.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini