Obsesi Bung Hatta: Perekonomian Indonesia Harus Dikelola dengan Jiwa Tolong Menolong

Obsesi Bung Hatta: Perekonomian Indonesia Harus Dikelola dengan Jiwa Tolong Menolong
info gambar utama

Para pejuang dan pendiri bangsa kita ini sejak awal sebelum kemerdekaan memiliki obsesi tentang bagaimana seharusnya negeri ini bentuknya, falsafahnya, pengelolaan perekonomiannya, dll. Salah satu pendiri bangsa, Mohammad Hatta, yang juga salah satu proklamator kemerdekaan, memiliki obsesi dan pemikiran bagaimana perekonomian Indonesia di masa depan.

Pada tanggal 3 Februari 1946, setahun setelah Indonesia merdeka, Muhammad Hatta -atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bung Hatta- mengucapkan pidato pokok-pokok pikirannya di Yogyakarta pada acara pembukaan konferensi ekonomi. Manakala kita menyimak isi pidato beliau, maka kita bisa melihat bahwa ekonomi kerakyatan yang menjadi keinginan kuat beliau tentang perkenomian bangsa.

Menurut Bung Hatta, perkenomian suatu negara pada umumnya ditentukan oleh tiga hal yaitu kekayaan tanahnya, kedudukannya terhadap negara lain dalam lingkungan hubungan internasional, dan kecakapan rakyatnya serta cita-citanya.

Namun khusus untuk Indonesia, menurut beliau harus ditambah satu pasal lagi, yaitu sejarahnya sebagai tanah jajahan. Oleh karena Indonesia berada dalam cengkeraman penjajah asing selama 3,5 abad lebih, maka kondisi perekenomiannya seluruhnya tidak sebagaimana mestinya menurut faktor-faktor tersebut.

BACA JUGA: Janji Hatta, Sebuah Film tentang Kisah Hidup Bung Hatta

Indonesia yang kaya raya ini menghasilkan harta bagi negara lain beratus-ratus tahun, tapi rakyatnya hidup miskin di tengah-tengah kekayaan yang melimpah.

Bung Hatta menilai bahwa akibat penjajahan itu maka sebagian sifat bangsa Indonesia yang sebenarnya “extrovert” itu lenyap karena dibelokkan oleh penjajah. Kejayaan bangsa Indonesia di masa kerajaan Majapahit dan Sriwijaya yang melanglang buana itu menjadi sirna. Beliau mengatakan:

“….sebagai penduduk pulau-pulau yang tersusun di tengah-tengah jalan perhubungan pelayaran, sepatutnya orang Indonesia menjadi bangsa pelayar yang kuat bertindak dan kuat merantau. Tetapi penjajahan Belanda yang bermula dengan menanam kekuasaan monopoli dalam segala rupa, memusnahkan segala aktivitas orang Indonesia. Rakyat Indonesia tertunda hidupnya kedesa, hidup dengan segala genap. Hanya cita-cita untuk menjadi bangsa yang merdeka kembali berdasarkan persaudaraan segala bangsa, tetap padanya”.

Salah satu proklamator kita itu juga berpendapat bahwa arah, dasar perekonomian di masa mendatang akan semakin jauh dari pada dasar indiviualisme, dan semakin dekat dengan kolektivisme, yakni sama-sejahtera, dan kolektivisme itu menurut definisi beliau adalah jiwa tolong menolong.

Barang kali konsep yang beliau usung itu mirip dengan ide DR. Arifin Siregar –Menteri Perdagangan era presiden Suharto dulu– yaitu tentang Indonesia Incorporated di mana semua stakeholders kekuatan ekonomi bangsa saling berhubungan seperti yang terjadi di Jepang.

Negara Matahari Terbit itu punya konsep Japan Incorporated, suatu kebijakan perekonomian di mana pihak swasta dan pemerintah saling memberi dukungan untuk kepentingan bangsa.

BACA JUGA: Geliat Ekonomi Orang Seberuang di Lingkar Saran

Di Jawa Timur Dr. Soekarwo ketika menjabat sebagai gubernur juga punya ide yang hampir sama. “Jatim Incorporated” koloborasi (tolong menolong) antara stakeholders pemain ekonomi.

Bung Hatta menunjukkan pemikiran yang visioner dalam pidatonya itu tentang perlunya pengelolaan perekonomian bangsa ini dengan menggunakan teknologi modern, meskipun waktu itu kemajuan teknologi belum begitu maju seperti sekarang yang sudah super canggih dengan adanya digital technology, artificial intelligent, dsb.

“Pembangunan ekonomi Indonesia sesudah perang haruslah didasarkan pada cita-cita tolong menolong itu, sudah tentu pada tingkatan yang lebih tinggi dan lebih teratur, dengan mempergunakan hasil kemajuan teknik modern”.

Mungkin sekarang kita bisa menjabarkan pemikiran beliau itu bahwa pengelolaan ekonomi harus dengan manajemen modern, SDM yang andal/professional, efisien, berwawasan global tapi tetap memperjuangkan kepentingan nasional, menggunakan teknologi IT yang modern dsb.

Yang menarik dalam pidatonya itu Bung Hatta jauh hari sudah “wanti-wanti” bahwa perekonomian bangsa itu tidak boleh dikuasai segelintir orang saja seperti di negara yang menganut paham kapitalisme di mana segelintir orang menguasai hampir seluruh kekayaan negara; beliau juga mewanti-wanti soal tanah yang dijadikan objek bisnis mencari keuntungan.

BACA JUGA: Ciwidey Harus Bersiap Jadi Kawasan Ekonomi Khusus, Nih

Kalau diperhatikan, bahwa onderneming besar-besar itu sudah merupakan masyarakat sendiri tempat beribu-ribu orang menggantungkan nasibnya dan nafkah hidupnya, maka tak pantas lagi buruk-baiknya diputuskan oleh beberapa orang partikulir saja, yang berpedoman dengan keuntungan semata,” tutur Bung Hatta.

“Apabila tanah dipandang sebagai faktor produksi yang terutama, (maka) pemakaian tanah selain daripada pekarangan (halaman) tempat kediaman -hanya boleh sebagai faktor produksi pula, tanah tidak boleh lagi menjadi obyek perniagaan, yang diperjual belikan semata-mata untuk mencari keuntungan,” lanjutnya.

Ada baiknya semua elemen bangsa dalam menyambut Hari Kemerdekaan Republik ini harus menyadari bahwa perekonomian bangsa dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan kompetisi yang keras seperti sekarang ini -harus sesuai dengan obsesi para pendiri bangsa seperti Bung Hatta ini yaitu dikelola dengan jiwa Tolong Menolong yang sesuai dengan budaya luhur bangsa, bukan dengan jiwa “Jegal-Menjegal” antar-sesama anak bangsa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini