Soal Energi Terbarukan, Munawar Chalil: Pemerintah Harus Keluar dari Zona Nyaman

Soal Energi Terbarukan, Munawar Chalil: Pemerintah Harus Keluar dari Zona Nyaman
info gambar utama

''Memang saat bicara energi, itu bicara tentang politik. Harus ada keputusan politik yang mengikat dan mendesak. Pemerintah harusnya berinisiatif membuat keputusan politik yang mengikat dan mendesak untuk menuju energi yang terbarukan itu.''

---

Renewable energi (energi terbarukan) menjadi salah satu topik yang diperbincangkan di tengah perubahan iklim. Banyak negara-negara dunia mulai satu persatu menggeser sumber energi mereka kepada bahan bakar ramah lingkungan.

Indonesia yang menjadi bagian ekosistem global dan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat dunia juga berperan penting. Hal inilah membuat Indonesia menandatangani Paris Agreement di markas PBB di New York pada Jumat, 22 April 2016.

Namun nampaknya perubahan energi Indonesia menuju bahan bakar ramah lingkungan belum terlihat ada kemajuan. Dalam beberapa data, terlihat energi fosil masih mendominasi sebagai bahan bakar utama untuk konsumsi masyarakat dan industri.

Padahal dengan jumlah Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah seperti surya, angin, hingga panas bumi (geotermal). Bisa membuat Indonesia lebih unggul dalam pemanfaatan energi alternatif dibandingkan negara lain.

Melihat hal ini pemerhati otomotif dan kendaraan listrik, Munawar Chalil, menilai banyak pihak yang belum berani keluar dari zona nyaman. Kondisi ini salah satunya berasal dari kurangnya kebijakan dan infrastruktur dari pemerintah.

"Pemerintah tidak mau keluar dari zona nyaman. Sudah terbiasa dengan pola yang sama. Mereka pikir bahan bakar fosil kita masih banyak. Tetapi kan pada suatu hari itu akan habis," tegasnya.

Indonesia 2050: Kendaraan Listrik, dan Ambisi Besar Nol Emisi Karbon

Lalu bagaimana tantangan Indonesia dalam menghadapi krisis energi pada masa depan? Dan potensi Indonesia dalam mengembangkan beberapa energi alternatif, terutama kendaraan listrik.

Berbincang melalui sambungan telepon dengan penulis GNFI, Rizky Kusumo. Bang Chalil--sapaan akrabnya--menyampaikan beberapa besarnya potensi dan tantangan energi alternatif di Indonesia.

Berikut kutipannya.

Indonesia telah menandatangani Paris Agreement pada tahun 2016, apa sudah terlihat dampaknya?

Terus terang saja belum ada terlihat upaya yang signifikan. Paling upaya Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2019, tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.

Menurut saya belum cukup, harus ada upaya yang nyata dan konkret dan juga mendesak. Salah satu contoh misalnya konversi ke mobil listrik, tetapi masih sedikit masyarakat yang pindah.

Belum lagi soal tambang, regulasi tambang kita sangat longgar. Misal kita masih lihat sampai satu pulau dijadikan tambang emas.

Bicara energi alternatif harus ada upaya integratif. Ini kan yang paling masuk akal, energi alternatif itu yang terjangkau. Terutama untuk kendaraan bermotor.

Seperti panel surya, padahal matahari kita melimpah tetapi karena perangkatnya mahal. Jadi orang tidak tertarik untuk ke sana.

Mungkin kalau panel surya bisa diproduksi massal dengan harga kompetitif, orang akan memilih panel surya ketimbang Perusahaan Listrik Negara (PLN)

Kan panel surya hanya bayar di depan saja. Masalahnya perangkatnya mahal untuk saat ini. Harus ada campur tangan pemerintah untuk memproduksinya secara massal.

Memang seberapa besar potensi energi alternatif di Indonesia?

Panel surya misalnya, matahari itu di Indonesia tidak pernah habis, gas pasti habis, batu bara pasti habis. Dan panel surya sama sekali tidak merusak lingkungan.

Kalau fosil, gas, batu bara akan merusak lingkungan. Kedua panel surya itu akan jauh lebih murah daripada energi fosil dan zero emission.

Atau mau lebih canggih menggunakan nuklir. Selama tidak bocor tidak akan ada emisi. Pasti ada radiasi dalam radius tertentu tetapi itu bisa dikontrol.

Di negara maju mengapa listrik murah jadi jawaban karena menggunakan nuklir. Cuma memang investasinya besar.

Sekarang penggunaan energi fosil masih besar, mengapa sulit berubah?

Pemerintah tidak mau keluar dari zona nyaman. Sudah terbiasa dengan pola yang sama. Mereka pikir bahan bakar fosil kita masih banyak. Tetapi kan pada suatu hari itu akan habis

Padahal bahan bakar fosil dalam proses penambangan menimbulkan emisi dan polusi yang berpengaruh terhadap kerusakan lingkungan.

Memang saat bicara energi, itu bicara tentang politik. Harus ada keputusan politik yang mengikat dan mendesak. Pemerintah harusnya berinisiatif membuat keputusan politik yang mengikat dan mendesak untuk menuju energi yang terbarukan itu.

Kalau diserahkan kepada masyarakat. Biasanya orang kan cenderung nyari yang mudah. Dan untuk pindah dari zona nyaman tidak gampang.

Maksudnya perlu dipaksa seperti apa?

Orang harus dipaksa untuk pindah. Karena kalau dikasih pilihan yang mau pindah silakan, yang tidak enggak papa. Ya orang akan tetap pada zona nyamannya.

Sekarang kita kasih insentif pajak. Ya misal nanti mobil listrik dikasih setengah, atau nol. Tetapi orang kan mikirnya, kendaraan listrik itu susah.

Charging station masih sedikit. Dan ini tidak bisa satu malam, industri juga berperan. Secepat apa mereka berinovasi, bisa menjawab kekhawatiran masyarakat tentang mobil listrik?

Misal charging time. Mengecas 7 jam, kapan saya perginya? Harusnya bisa charging 2 jam atau 1 jam. Sekarang sudah ada fast charging tetapi membutuhkan daya yang besar juga.

Tetapi ini adalah keputusan politik. Kalau pemerintah tetapkan, kita juga tidak bisa protes. Dipaksa misalnya harus memakai mobil listrik dalam 10 tahun ke depan sekian persen.

Industri kan tidak punya pilihan, kalau pemerintah sudah menetapkan. Sampai hari ini belum ada ketetapan agar industri harus ke sana.

Apakah hal ini juga terkait infrastruktur yang kurang?

Memang ini harus dilakukan secara bertahap. Dalam sekian tahun beberapa persen. Tetapi di sisi lain infrastruktur harus dipersiapkan.

Ini kan ada peluang bisnis juga untuk PLN, sebagai perusahaan listrik negara. Mereka bisa menjadi seperti Pertamina dengan SPBU-nya.

Selama ini Pertamina punya SPBU ada yang milik sendiri ada yang swasta. Dengan banyak mobil listrik--suatu saat nanti, PLN ini bisa menggantikan Pertamina dalam hal distribusi energi.

Tetapi sumber energinya sendiri tentu kita masih menggunakan energi fosil sampai setengah dekade ke depan. Karena tidak mudah mengkonversi dari energi fosil ke tenaga surya apalagi hidrogen, itu sekarang masih cukup mahal.

Ongkos Jakarta-Bali Hanya Rp200 Ribu, Indonesia Siap Jadi Pemain Utama Mobil Listrik

Banyak produsen kendaraan listrik yang mengeluhkan komponen dalam negeri kurang, tanggapannya?

Kalau industri dipaksa untuk menjual produknya sekian persen harus kendaraan listrik. Otomatis kalau barang ada di pasar, produk dukungannya pasti muncul.

Vendor akan bikin spare part. Sekarang siapa yang mau bikin spare part kalau mobilnya baru 1 atau 2 saja.

Jadi, sudah hukum ekonomi pasar. Kalau barangnya ada dan populasi ada, tanpa disuruh pun orang akan menjadi vendor. Pasti mereka tertarik untuk menjadi pemasok. Sekarang mau bikin komponen--secara mandiri, bisa bangkrut.

Tetapi apakah Indonesia masih berpotensi dalam industri kendaraan listrik?

Potensi ada dan sangat besar, jual mobil aja kita setahun 1 juta unit untuk mobil konvensional. Sekarang ada target 20 persen produksi mobil listrik pada 2025. Tetapi mewujudkannya gimana?

Menurut saya belum cukup dengan membuat aturan begini, begitu. Tetapi infrastruktur tidak dipersiapkan.

PLN misal coba bikin charging station di beberapa titik. Soalnya ini kan lagi-lagi terkait zona nyaman. Untuk apa kita beli mobil listrik, kalau kita bisa isi bensin tiap saat.

Kalau mobil listrik, dalam pikirannya saat baterainya habis harus mengecas. Nyarinya susah. Cari charging station susah. Sudah gitu lama ngecasnya.

Apa ini yang membuat perkembangan industri kendaraan listrik Indonesia lambat?

Saya ambil contoh, di Swedia misalnya, mewajibkan mobil yang dijual di sana pada tahun 2025 harus listrik. Jadi dari sekarang sudah bersiap. Bengkel tradisional sudah siap beralih.

Mungkin beberapa tahun masih melayani mobil lama, tetapi peredaran mobil lama akan dibatasi. Mobil konvensional yang menggunakan bahan bakar akan dibatasi. Akan dilebur.

Sampai nanti 2040 semua mobil udah listrik, dan prosesnya dibuat secara bertahap. Indonesia? tentu lebih kompleks. Ada jutaan orang yang hidup dari industri otomotif.

Mulai vendor, penyedia komponen, perusahaan kreditur, penyuplai, sampai bengkel. Kalau dibuat satu malam mau ke mana itu bengkel? Ya, pada tutup.

Ini butuh waktu, misal montir ini bisa tidak skillnya di upgrade ke mobil listrik? Pemilik bengkel juga menyesuaikan diri, beradaptasi juga butuh waktu.

Perusahaan penyediaan komponen juga butuh shifting. Karena mobil listrik ini bagi orang awam liatnya bahaya. Karena ini mereduksi komponen sampai 75 persen. Dalam satu mobil konvensional misal ada 4.000 komponen, mobil listrik itu cuma butuh 1000.

Tidak ada mesin, tidak pakai oli. Nah ini perusahaan komponen mau bikin apa. Itu juga harus dipikirkan dan diarahkan.

Kondisi kita ini sama dengan Jepang. Mereka ingin sih pindah ke energi terbarukan tetapi tekanan bisnis juga kuat. Kalau bikin peraturan ini, besok pagi berapa orang yang kehilangan pekerjaan dan itu tanggung jawab siapa?

Sekali lagi, persoalan ini sangat sensitif. Saya paham juga mengapa pemerintah lambat, karena tidak mudah. Kita paham karena banyak manusia di situ yang bergantung di industri otomotif.

Mobil Listrik Akan Diwajibkan di Ibu Kota Baru Indonesia

Apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah?

Road map harus dibuat. Dari road map ini kita bisa petakan, ekonomi, sosial, lingkungan, dan timeline. Berapa tahun 20, 30, 40? upaya apa yang bisa kita tuju?

Contoh, mobil konvensional yang pakai bensin ditinggikan pajaknya. Tetapi pajak mobil listrik direndahkan bahkan ditiadakan. Kalau tidak dibegitukan orang tidak mau pindah.

Apa harapan untuk industri kendaraan listrik di Indonesia?

Tanpa dipaksa pun, harapannya produsen akan berinisiatif memproduksi mobil listrik dengan harga yang terjangkau. Saat ini harga mobil listrik masih tergolong mahal.

Dengan harga terjangkau mungkin banyak akan beralih. Kalau kelas menengah konsekuensinya kan banyak saat membeli kendaraan listrik.

Selain belinya mahal, daya listrik rumahnya harus ditambah. Itu artinya konsumsi listriknya harus ditambah. Kalau mobilnya murah mereka tidak akan keberatan untuk menambah daya listrik di rumah.

Dan yang senang PLN juga. Saya berharap ada inisiatif bukan hanya dari produsen, tetapi dari pemerintah dengan membuat road map.

Jadi, nanti mulai kebiasaan akan berubah. Sekarang kebiasaan kita kan dikendalikan oleh smartphone. Misalnya kita keluar pasti baterai Handphone penuh. Tetapi nanti kita hitung, saya pulang malem. Harus bawa charger.

Mobil listrik juga akan mengubah kebiasaan, misalnya kita jalan ini sampai berapa kilometer pulang pergi kantor tidak sampai nih. Sampai kantor harus mengecas nih.

Di kantor ada tempat charging enggak? Kalau nanti banyak mobil listrik di setiap kantor akan sukarela bikin charging, kan kita bayar. Ekosistemnya juga berubah.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini