Syair Smong, Kearifan Lokal yang Selamatkan Simeulue dari Tsunami Aceh

Syair Smong, Kearifan Lokal yang Selamatkan Simeulue dari Tsunami Aceh
info gambar utama

Bencana gempa dan tsunami di Aceh tanggal 26 Desember 2004 telah menorehkan luka yang mendalam bagi masyarakat Indonesia. Gempa yang berkekuatan 9,3 skala richter (SR) serta diikuti gelombang pasang telah menimbulkan dampak sosial ekonomi yang luar biasa.

Bencana ini telah mengakibatkan 128.645 korban jiwa, 37.036 orang hilang, dan 500.000 orang kehilangan tempat tinggal. Bencana ini telah menimbulkan kerusakan bangunan dan mengganggu aktivitas ekonomi, kegiatan pendidikan, dan kehidupan sosial masyarakat.

Bencana alam bahkan berpengaruh besar terhadap kondisi demografi di beberapa lokasi bencana. Tsunami di Kabupaten Aceh Besar tahun 2004, misalnya, mengakibatkan penurunan jumlah penduduk secara signifikan, sebanyak 70 persen di Kecamatan Leupung.

Mengenang Tragedi Tsunami Lewat Museum Tsunami Aceh

Tsunami juga telah menghilangkan sebagian besar penduduk Desa Dayah Mamplam di Kecamatan Leupung. Penduduk di desa ini yang selamat hanya sebanyak 12 persen.

Namun, dari bencana tsunami ini, ada satu cerita lain dari kabupaten di Aceh yang berada persis di tengah-tengah samudra, daerah itu adalah Pulau Simeulue.

Bangunan-bangunannya memang hancur, tetapi korban jiwa hanya tujuh orang. Konsep kearifan lokal telah menyelamatkan nyawa mereka.

Kearifan lokal smong dalam tragedi tsunami Simeulue

Pulau Simeulue merupakan kabupaten tersendiri yaitu pemekaran dari Aceh Barat. Terletak sekitar 150 km lepas pantai barat Aceh, gugusan pulau ini berada di atas persimpangan tiga palung laut terbesar dunia, yaitu pertemuan lempeng Asia dengan Australia dan Samudra Hindia.

Dalam Katalog Tsunami Indonesia 418 - 2018 terbitan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (2019) disebutkan pada tahun 1907, tsunami pernah menghantam Simeulue. Korban jiwa cukup banyak, kerugian materiil dan psikologis tidak dapat dihitung.

Diwartakan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 7 Januari 1907 wilayah pantai selatan Simeulue rusak diterjang oleh gelombang pasang. Selain itu, 300 orang dinyatakan hilang dan 40 orang yang ditemukan telah dimakamkan.

Sementara itu dalam buku Ekspedisi Cincin Api, Hidup Mati di Negeri Cincin Api (2013) dituliskan jika setelah gempa bumi banyak masyarakat Simeulue yang kemudian menuju ke pinggir laut menangkap ikan karena air laut yang surut. Tak disangka, gelombang tsunami kemudian muncul dan menggulung banyak orang, pohon-pohon, perahu, serta rumah-rumah warga.

Jalan Pedang Daud Beureueh, Ulama Karismatik yang Masuk Hutan untuk Tagih Janji

Sebagai pengingat bencana ini, tsunami yang dalam Bahasa Jepang berarti “ombak besar di pelabuhan” punya nama sendiri di Simeulue, yaitu smong. Masyarakatnya Simeulue lalu menceritakan tentang peristiwa ini dalam nafi-nafi yang biasa diceritakan kepada anak-anak.

nafi-nafi mengajarkan mengenai bentuk mitigasi bencana tsunami. Cerita ini mengajarkan kepada masyarakat jika ada gempa kuat yang kemudian diikuti dengan air laut yang surut, segeralah lari agar selamat dari terjangan gelombang besar.

Cerita inilah yang membuat warga Simeulue selalu waspada saat gempa bumi mengguncang pulau mereka. Melalui pengetahuan lokal seperti yang direpresentasikan melalui sebuah nyanyian (smong), masyarakat dapat terselamatkan dari kejadian bencana.

Syair Smong sebagai mitigasi bencana

Dikabarkan dalam laman Pemprov Aceh, syair smog selalu dituturkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi melalui nafi-nafi.Nafi merupakan budaya lokal masyarakat Simeulue yang berisikan cerita nasihat, petuah kehidupan, terutama smong.

Nantinya para tetua dan tokoh adat menyampaikan nafi-nafi kepada kaum muda untuk menjadi pelajaran. Cerita ini akan disampaikan kepada generasi muda, terutama anak-anak dalam berbagai kesempatan, seperti saat menaman cengkih.

Dahulu Simeulue terkenal dengan cengkihnya, anak-anak sering ikut membantu orang tua mereka saat memanen cengkih. Maka tidak heran jika setiap memanen cengkih, kisah-kisah smong jadi selingan di tengah kesibukan.

Nafi-nafi juta disampaikan ketika mengaji di surau-surau setelah salat magrib. Kadang juga menjadi pengantar tidur anak-anak di malam hari oleh orang tua sembari menunggu buah hati mereka terlelap.

Semua orang tua melakukan hal yang sama, sehingga tradisi ini menjadi kearifan lokal masyarat Simeulue. Penghayatan kearifan lokal smong esensinya bagaimana memahami tanda-tanda alam di sekitar mereka dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Para tetua meyakini suatu saat smong akan datang lagi, walaupun mereka sangat berharap agar kejadian itu tidak pernah terulang lagi. Dari kisah nafi-nafi tersebutlah masyarakat Simeulue belajar yang kemudian dijadikan sebagai alat mengomunikasikan mitigasi bencana.

Mercusuar Willem Toren III, Jejak Seabad Monumen Navigasi Warisan Belanda di Aceh

Smong adalah air mandimu, gempa adalah ayunan tidurmu, hujan badai adalah musikmu, guntur adalah lampumu. Begitulah penggalan nafi-nafi yang dituliskan dalam dalam Bahasa Devayan,” ujar Alfi Rahman dosen FISIP dan Magister Kebencanaan Universitas Syiah Kuala yang menerjemahkan penggalan syair nafi-nafi tersebut dinukil dari Aceh trend.

Menurut skripsi Rasli Hasan Sari dan kawan-kawan yang berjudul Kearifan Lokal Smong Masyarakat Simeulue dalam Kesiapsiagaan Bencana 12 Tahun Pasca Tsunami menyebut pemahaman pratanda smong, dapat dideteksi melalui beberapa gejala alam.

Seperti gempa bumi yang kuat, disusul air laut surut dengan kecepatan tinggi, sampai ikan-ikan menggelepar di pantai, air sungai mengering, air sumur tiba-tiba menyusut, dan angin dingin berhembus dari arah laut hingga penampakan gelombang raksasa disertai suara gemuruh yang sangat keras.

Pengetahuan masyarakat Pulau Simeulue akan terjadi smong tidak terbatas pada gejala alam saja namun dapat pula ditandai dengan perubahan perilaku pada hewan ternak. Salah satu tandanya adalah sesaat setelah gempabumi, gerombolan kerbau, sapi, dan kambing yang berada di pinggir pantai tiba-tiba melarikan diri ke arah hutan.

"Pengetahuan ini berdasarkan kesaksian penyintas bencana gempabumi dan tsunami tahun 2004" tulis Rasli.

Kombinasi pengetahuan masyarakat dalam mitigasi bencana

Sosialisasi kearifan lokal smong juga tidak terbatas melalui syair lagu dan cerita rakyat, akan tetapi dapat pula melalui dunia bisnis. Beberapa pengusaha di Simeulue menamakan usaha mereka berkaitan dengan smong.

Menurut Rasli, bahkan salah seorang anak yang lahir pada saat gempabumi dan tsunami 2004, diberikan nama oleh orang tuanya yaitu Putra Smong. Kata smong telah menjadi salah satu simbol di Pulau Simeulue.

"Bentuk-bentuk inovasi di atas merupakan hasil kreasi pengetahuan yang secara tidak langsung menjadi media diseminasi pengetahuan smong kepada lapisan masyarakat," bebernya.

Sementara itu Yarmen Dinamika selaku Wakil Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana menyatakan dalam konteks lokal ada beberapa istilah yang merujuk pada tsunami, yaitu gloro (Singkil), smong (Simeulue), ie beuna (Aceh Besar), dan alon buluek yang diistilahkan oleh masyarakat di pesisir utara Aceh dan ternyata berasal dari bahasa Tagalog.

Dirinya menekankan pentingnya merawat sebuah ingatan tentang sebuah bencana sebagai upaya penting dari mitigasi bencana. Menurutnya pengetahuan akan bencana memiliki relevansi yang sangat erat dengan keselamatan masyarakat ketika terjadi bencana berikutnya.

"Dengan cara itu paling tidak kita dan generasi berikutnya tidak akan mudah melupakan bencana besar, karena lupa merencanakan strategi pengurangan risiko bencana dalam membangun, berarti merencanakan kegagalan dan itu sengaja mengundang bencana,” ujarnya.

Dikabarkan dari Indonesia.go.id, tsunami Aceh pada tahun 2004 menjadi tantangan besar bagi laku smong masyarakat Simeulue. Tantangan terhadap kearifan lokal dan adat tutur yang telah diwariskan itu ternyata berhasil dilalui.

Legenda Tuan Tapa, Telapak Kaki Raksasa di Kota Naga Aceh Selatan

Karena itulah, masyarakat dunia pun mempelajari smong sebagai salah satu cara untuk mitigasi tsunami. Belajar dari smong, kesiapsiagaan masyarakat merupakan kunci dalam menghadapi bencana.

Sikap kesiapsiagaan itu biasanya terbentuk dari perilaku yang telah dijaga secara turun-temurun. Cara tersebut menjadi satu budaya yang masih dipelihara oleh masyarakat lokal di setiap daerah-daerah di tanah air.

Apalagi melihat kondisi Indonesia yang begitu rawan bencana, dari catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 1-16 Januari 2021 ada 136 bencana alam terjadi di Indonesia. Bencana alam terbanyak adalah banjir lalu disusul kejadian tanah longsor, puting beliung, gempa bumi, dan gelombang pasang.

"Kebijakan–kebijakan publik kita harus didasarkan pada kearifan lokal yang telah hidup ratusan bahkan ribuan tahun agar tercipta ketahanan terhadap bencana, sehingga dapat menjadi bangsa Indonesia yang berkepribadian nasional dan keanekaragamannya menjadi sumber kekuatan atau energi positif," ungkap Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini