Ayah, Jadi Gak Kita Beli Baju Lebaran Nanti?

Fauzan Luthsa

Berlatar belakang jurnalis ekonomi dan politik, saat ini aktif sebagai pengamat kebijakan publik, terkait ekonomi dan sosial.

Ayah, Jadi Gak Kita Beli Baju Lebaran Nanti?
info gambar utama

Akhirnya pemerintah Menaikan harga BBM pertamax (RON 92) per 1 April 2022, sebesar Rp12.500 (Rp13.000 di beberapa wilayah lain) dari harga muasal Rp9.000.

Kenaikannya cukup signifikan, 3.000 perak lebih, atau sekira 30 persen—dari harga awal. Biang keroknya jelas, naiknya harga minyak mentah dunia. Demikian ungkap pemerintah.

Saat menerima notifikasi berita ini di ponsel, Kamis (31/3/2022), saya sedang mengisi BBM jenis Super di SPBU Shell, yang banderol seliternya Rp12.900.

Tentu saya nggak kaget, juga tak terlalu risau. Tapi bagaimana dengan masyarakat kebanyakan? Yang hidupnya saban hari berkutat dengan roda, dari jalanan ke jalanan, dari pom bensin ke pom bensin, apalagi jika bukan untuk membuat dapur tetap ngebul. Mitra ojol misalnya.

Disparitas harga yang lebar antara pertamax dengan pertalite (RON 90) yang lebih dari Rp 5.000, otomatis akan membuat pengguna kendaraan beralih ke pertalite. Ini sih, sudah pasti.

Hukum ekonomi akan berlaku, dan ini akan berakibat buruk terhadap APBN kita yang masih mensubsidi pertalite.

Padahal, kalau diibaratkan APBN kita itu atlet judo. Tubuh atlet ini sedang berusaha recovery setelah dihantam bertubi tubi oleh pandemi. Saat masih sempoyongan untuk bangkit kembali, tiba tiba kena pukulan menanggung biaya proyek kereta api cepat.

Dilanjut terkaman tanggungan biaya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Dan sekarang bersiap menanggung beban tambahan subsidi pertalite.

Apes…

Sungguh saya tak dapat membayangkan menjadi seorang Sri Mulyani yang sebagai bendahara negara saat ini. Mungkin di dalam tasnya selalu sedia Panadol atau Neuralgin untuk pereda sakit kepala.

Kenaikan harga pertamax juga berpotensi berimbas terhadap sektor lainnya. Misal sektor logistik. Ada kemungkinan jasa transportasi akan turut menyesuaikan tarif. Ojek online misalnya.

Jika ini terjadi, akan berpengaruh terhadap produk derivatifnya seperti makanan—termasuk ongkir-nya. Semua akan menyesuaikan harga. Jika sudah begini, kenaikan inflasi tak terhindarkan.

Kira-kira, itu gambaran kalkulasi ekonominya.

Walau sebagai BBM non-subsidi, jumlah konsumen pertamax hanya sekitar 12 persen, kalah jauh ketimbang konsumen pertalite yang mencapai 76 persen. Ancaman kenaikan inflasi tampaknya tidak terlalu besar. Namun di tengah situasi seperti sekarang, sumbangan inflasi tetap harus dicermati.

Di dunia nyata jelas akan semakin berat beban masyarakat. Belum lagi sengkarut harga minyak goreng, dan sebentar lagi kenaikan harga gas 3 kilogram dan pertalite akan terjadi. Untungnya, masyarakat kita penyabar, bukan pemberang seperti warga Prancis.

Cerita utamanya adalah kehidupan yang semakin berat. Semoga masyarakat masih memiliki tenaga ekstra untuk terus bergerak menjadikan hidup yang lebih baik. Masyarakat kita sudah terlatih survive, dengan atau tanpa negara.

Namun tampaknya, masyarakat harus rela untuk shifting habit guna mengakali beban kenaikan harga. Seperti membiasakan diri mengukus atau merebus untuk bahan-bahan makanan yang pengolahannya lazim dengan goreng-menggoreng.

Tapi jika kenaikan harga pertalite dan gas 3 kilogram benar benar terjadi, tampaknya sulit untuk menghibur diri bahwa hal tersebut memiliki impact kecil bagi pengeluaran rumah tangga.

Pengaruh ke berbagai sektor juga bikin ngeri. Sudah pasti harga harga akan meroket tanpa perlu pendorong lainnya. Bayangan ini sudah barang tentu ada di benak masyarakat, bahkan ketika artikel ini belum diterbitkan.

Dari ragam bad news tadi, good news-nya adalah masyarakat kita pada dasarnya memang pintar. Pintar menerka, pintar mengalkulasi, dan tentu pintar mencari jalan keluar tanpa perlu dimentori. Semua demi arus kas rumah tangga yang harus stabil jelang lebaran nanti. Karena sejatinya akan ada baju atau sepatu baru untuk anak tercinta di hari yang fitri nanti.

Masyarakat juga tetap optimistis, kok, karena pernah melewati masa-masa yang lebih berat. Salah satunya dengan memanfaatkan masifnya digitalisasi dan meningkatnya kecepatan internet, elemen teknologi akan membuka peluang-peluang baru.

Dengan memanfaatkan hal tersebut, semoga hidup kita semakin lebih baik.

Lantas pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan masyarakat yang lokasi jaringan internetnya kurang mumpuni?

Saya hanya berdoa, semoga di bulan Ramadan yang penuh rahmat ini, masyarakat kita ditimpakan keberkahan yang tiada henti, kesehatan yang tiada putus, serta rasa syukur yang tak berkesudahan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Fauzan Luthsa lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Fauzan Luthsa.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

Terima kasih telah membaca sampai di sini