Keajaiban Alam Ubud: Lahirkan Para Penyembuh yang Termasyhur di Dunia

Keajaiban Alam Ubud: Lahirkan Para Penyembuh yang Termasyhur di Dunia
info gambar utama

Majalah perjalanan asal Amerika Serikat, Travel + Leisure menempatkan Ubud sebagai kota terbaik ketiga dalam daftar 25 Kota Terbaik di Dunia 2022 (The 25 Best Cities in The World). Peringkat Ubud naik satu tingkat dari 2021.

Ubud memang telah terkenal sebagai salah satu kota di Bali dengan beragam daya tarik wisata, antara lain wisata alam, wisata kuliner, dan wisata belanja. Berbagai tempat wisata bisa dikunjungi, seperti Monkey Forest, hamparan sawah Tegalalang, dan Bukit Campuhan.

Selain itu, Ubud juga kaya dengan seni dan laku spiritual yang telah menjadi denyut nadinya. Begitulah, jauh di masa lampau, tepatnya pada abad ke 8 Masehi, desa ubud diyakini lahir dari kata ubad yang berarti obat.

Dipercaya di daerah Ubud inilah pusat meditasi dan penyembuhan pada zaman tersebut. Karena itu hingga kini, banyak orang menganggap Ubud sebagai obat penenang dari aktivitas kota yang menjemukkan.

Daerah ini menawarkan banyak kesegaran baru dan ketenangan bagi orang yang sakit. Karena itu, Ubud banyak menjadi tujuan wisata utama para turis untuk melakukan yoga dan meningkatkan aspek spiritual.

“Karena suasananya sangat tenang, Ubud ini menjadi obat bagi banyak orang. Oleh karena itu, keindahan alam Ubud akan terus kami kembangkan dengan tetap menjaga keasriannya, tentu dengan tetap mengikuti perkembangan,” ungkap Tjokorda Gde Putra Sukawati, Raja Ubud yang dimuat dari Mother & Beyond.

Misteri Pemakaman Trunyan, Kuburan Paling 'Wangi' di Bali

Daerah Ubud memang memiliki sejarah pengobatan tradisional yang sangat terkenal. Seperti catatan sejarah Bali kuno yang ditemukan dalam lontar, sejarah Ubud berkaitan dengan perjalanan seorang tokoh Hindu dari India.

Sosok pengelana ini bernama Rsi Markandeya yang datang ke Bali pada abad ke 8 Masehi. Dirinya mendapat wangsit untuk datang ke Bali. Sebelumnya dirinya sempat bertapa di Gunung-Gunung di sekitaran Jawa.

Dirinya bersama pengikutnya lantas pergi ke Bali menuju lereng Gunung Agung untuk merambah hutan. Dalam perjalannya, dirinya membangun sejumlah pura dan sempat juga singgah di kawasan Ubud, tepatnya di kawasan Campuhan Ubud.

Rsi Markandeya kemudian mengenalkan sistem pengairan di wilayah Ubud, kontur tanah miring ini sangat ideal untuk persawahan berundak, dengan sistem pengairan yang tepat, membuat kawasan ini banyak ditemukan sawah terasering.

Selain dikembangkan sebagai wilayah pertanian, kawasan ini juga ditanami bahan-bahan untuk obat (Ubad), sebagai bahan pengobatan tradisional. Obat inilah yang oleh masyarakat setempat dipakai untuk menamai wilayahnya jadi Ubud.

Balian yang terkenal

Elizabeth Gilbert (Julia Roberts) adalah orang beruntung, dia memiliki segalanya dalam hidup, mulai dari suami, rumah, dan karir yang bagus. Namun apa yang terlihat sempurna dari luar belum tentu sama apa yang dia rasakan dalam kehidupan.

Rumah tangganya gagal, Elizabeth terpaksa bercerai dari suaminya, dia pun kehilangan arah. Karena merasa hampa, dia memutuskan untuk berkeliling dunia untuk mencari jati diri dan tujuan hidup.

Dirinya pergi ke Italia, India, dan Indonesia, tepatnya di Bali. Dirinya bertemu dengan Ketut Liyer di rumahnya Jalan Raya Pengosekan, Ubud yang kemudian mengajarkannya meditasi. Adegan ini ada dalam salah satu film terkenal Eat, Pray, Love (2010).

Karena film Hollywood ini, Ketut Liyer mendunia hingga terkenal sebagai medicine man atau tradisional healer, sebutan istilah untuk orang-orang yang melakukan pengobatan secara tradisional atau orang Bali menyebut profesi ini sebagai balian.

Warisan sebagai pusat spiritualitas di masa lalu tersebut memang membuat Bali kaya dengan para balian. Dicatat oleh PPSDM Kemenkes ada sekitar 500 ribu balian yang tersebar di sembilan kabupaten dan kota Bali pada tahun 2016.

Dimuat oleh Suara, dalam kamus bahasa Bali, balian disebut sebagai pengantar upacara. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti dukun. Mereka adalah juru sembuh yang menggunakan metode pengobatan tradisional bernama Usadha.

Balian memiliki beberapa sebutan seperti balian lung, yaitu dukun yang mengobati patah tulang, sedangkan untuk menangani orang yang akan melahirkan ada balian manak, dan masih banyak profesi balian lainnya.

Dalam Weda, balian adalah dokter agama Hindu. Agar bisa menjadi balian, seseorang harus menjaga kesucian, berperilaku terpuji, dan yakin akan segala kuasa dari Tuhan. Sementara itu ilmu ini memang akan terus diwariskan.

Seperti Ketut Liyer yang merupakan generasi kesembilan penerus keluarga balian. Dirinya yang sebenarnya ingin menjadi pelukis, harus memupus keinginannya karena harus menjadi seorang balian.

“Kakek sebenarnya ingin jadi pelukis, tetapi harus menjadi balian karena sudah turun-temurun. Kakek generasi kesembilan. Semuanya balian,” ceritanya yang dimuat dari Kompas.

Terus diwariskan

Ketut Liyer masih menyimpan lontar-lontar tua yang telah diwariskan sejak generasi pertama. Lontar tua ini berisikan mantra-mantra pengobatan maupun pedoman hidup. Di dalamnya ada petunjuk mengenai pengobatan menggunakan ramuan alami.

Ketut Liyer biasanya menerima tamu selesai sarapan. Biasanya tamu-tamunya berasal dari Jepang, terutama perempuan. Ketut biasanya memberikan jasa meramal garis tangan, wajah, juga pengobatan tradisional dengan tumbuh-tumbuhan.

Dirinya memang memiliki hobi yoga dan melukis pewayangan. Karena lukisan inilah, banyak warga negara asing yang mengenalnya dan kemudian juga berobat serta berkonsultasi mengenai masalah non medis.

Lambat laun, sayup-sayup nama Ketut Liyer pun dikenal hingga ke luar negeri. Di awal pengabdiannya menjadi balian, jumlah pasien rata-rata hanya 10 orang dalam sehari. Namun setelah film itu meledak jumlah pasiennya tak pernah kurang 70 orang.

Tetapi, karena pasiennya yang cukup banyak sehingga kondisi Ketut Liyer menjadi kurang sehat. Selain itu, tanaman obat yang dahulunya cukup mudah ditemukan, kini mulai jarang karena hutannya sudah habis.

“Dulu tanaman untuk obat mudah ditemukan di hutan dekat rumah. Sekarang hutannya sudah habis. Tapi kakek tanam beberapa di rumah,” cerita Ketut Liyer yang menghembuskan nafas terakhir di usia 100 tahun pada 2016 silam.

Mengenal Pindekan, Kesenian Baling-Baling Bernada Rindik Khas Bali

Setelah Ketut Liyer mulai sakit-sakitan, kegiatan malianin atau mengobati dan konsultasi diserahkan sepenuhnya kepada I Nyoman Latra. Dirinya merupakan anak dari Ketut Liyer yang telah diamanahkan menjadi penerus balian.

Kini tantangan bagi para pengobat tradisional Bali bukan hanya regenerasi dan bahan-bahan obatan yang mulai langka. Namun juga semakin terhegemoninya pengobatan tradisional dengan ilmu kedokteran modern.

Ida Bagus Suatama, praktisi pengobatan tradisional Bali mendorong pemerintah agar dapat menyembimbangkan pengobatan modern dengan pengobatan tradisional yang merupakan kearifan lokal, seperti halnya yang dipraktikan di China.

“Di sana pengobatan tradisional turut berkembang seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran modern,” ujarnya yang dipaparkan Antara.

Masyarakatnya pun sudah mengakui dan tidak malu-malu untuk menempuh pengobatan alternatif. Tidak seperti di Bali, jelasnya yang masih malu-malu untuk mengakui datang ke pengobatan tradisional.

Menurut Ida, orang-orang Bali yang datang ke pengobatan tradisional masih takut dianggap kampungan atau katrok. Selain itu, kata Ida, masih ada dokter yang tidak mengizinkan mencampuradukkan pengobatan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini