Ikatan Persahabatan Abadi Masyarakat Flores Hadapi Ancaman Bencana

Ikatan Persahabatan Abadi Masyarakat Flores Hadapi Ancaman Bencana
info gambar utama

Bagi masyarakat di Kecamatan Ndori, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur memuliakan tamu merupakan soal penting. Dengan memuliakan tamu, mereka menjalin persaudaraan dengan pihak lain yang datang.

Menurut Muhammad Aksa, salah satu tokoh kampung itu akar dari sikap ini adalah tradisi tura jaji, yaitu budaya mengikat persaudaraan di antara para suku. Sebagai tanda ikatan, kedua suku saling menukar benda berharga untuk disimpan di rumah adat masing-masing.

Bila sudah diikat, kedua suku akan bersaudara selamanya dari generasi ke generasi. Anggota suku yang berkunjung ke suku saudaranya memiliki hak untuk dijamu dengan baik, begitu pula sebaliknya.

Menikmati Padang Rumput Eksotis di Fulan Fehan

Misalnya Kampung Mole yang berada di lereng Gunung Kili Samba, memiliki tura jaji dengan Kampung Egon di Natarloki, Kabupaten Sikka. Mereka akan saling memberi makan satu sama lain bila berkunjung.

“Kalau berkunjung ke Egon, kami punya hak untuk makan kelapa, singkong, bahkan ternak. Mereka tak boleh menghalangi. Begitu pula sebaliknya,” kata Sulaiman Setu tokoh masyarakat Kampung Mole dalam Tura Jaji di Tengah Ancaman Bencana terbitan Kompas.

Sulaiman menyebut setiap generasi baru akan terus diwariskan ingatan dan pesan agar tidak melanggar perjanjian lama itu. Mereka menyatakan bahwa tura jaji merupakan hal yang wajib untuk dipertahankan.

Kebersamaan di tengah bencana

Pater Piet Petu SVD dalam buku Tata Berladang Tradisional dan Pertanian Rasional Suku Bangsa Lio (1992) menyebutkan bagi masyarakat etnik Lio di Ende, tura jaji merupakan perjanjian persahabatan abadi.

Kondisi alam yang sulit melatarbelakangi antar suku atau wilayah di Flores melakukan tura jaji. Tujuannya untuk menopang dalam menghadapi situasi sulit, bukan mengganggu, menindas, atau menyerang.

“Pada masa lalu, tura jaji biasanya digunakan untuk mengamankan lalu lintas serta pemasaran dalam jual-beli dan tukar menukar hasil pertanian,” paparnya.

Selain untuk kepentingan ekonomi, jelas Pater, tura jaji pun terbukti sangat berguna saat menghadapi bencana alam yang kerap melanda Flores. Misalnya jika terjadi gempa, gunung meletus, atau tsunami.

Danau Rana Mese, Cermin Raksasa di Kota Ruteng NTT

“Kampung lain yang aman dengan terbuka mau menerima saudaranya yang mengungsi,” jelasnya.

Pengalaman itu yang dirasakan warga Pulau Babi saat tertimpa gempa dan tsunami pada 1992 yang menewaskan sekitar 300 orang. Ketika pulau tempat tinggalnya ludes dan dilarang ditinggali masyarakat di sana pun diungsikan ke Desa Nangahale.

Hal serupa dialami warga Egon Buluk yang tinggal di lereng Gunung Egon, Kabupaten Sikka. Ketika gunung itu mengeluarkan abu pada 2008, mereka berbondong-bondong mengungsi sementara di Desa Waigete yang lebih aman.

“Karena sama-sama tinggal di dekat gunung yang bisa meletus, kami terbiasa tolong menolong,” kata Bura Gela tokoh adat di Egon Buluk.

Modal melawan tantangan alam

Tura jaji telah terbukti menjadi modal sosial yang efektif dalam menghadapi kerasnya tantangan alam. Sejarah mencatat, sejak 1814 hingga kini terjadi sekitar 25 gempa besar. Beberapa memakan korban cukup banyak.

Terakhir, gempa pada 12 Desember 1992 yang mengakibatkan tsunami dan menewaskan 2.100 orang. Flores yang berada di Kepulauan Sunda Kecil juga dijejali gunung aktif, di antaranya Anak Ranakah, Inerie, Ebulobo, Kelimutu, Iya, Egon, Rokatenda, dan Lewotobi.

Selain untuk menghadapi bencana, tura jaji merupakan suatu perjanjian antar persekutuan adat dengan tujuan untuk mencegah konflik sosial di tengah masyarakat adat. Misalnya ketika terjadi perselisihan tetua adat akan menggelar ritual Mi Mina.

Misalnya ketika terjadi pertikaian antara pemuda di Kampung Adat Onekore yang secara brutal merusakan beberapa unit kendaraan milik warga Wolotopo di area Jalan Udayana. Tetua adat pun meminta masalah ini diselesaikan secara adat.

Sifon, Tradisi Tak Biasa Setelah Melakukan Khitan di NTT

“Ini adalah acara adat perdamaian antar kedua kampung ini. Perdamaian dilakukan secara adat. Jadi rasa dendam, rasa iri hati dan permusuhan sudah mesti dihilangkan. Damai akan tidak bermakna apabila rasa dendam dan permusuhan masih melekat pada diri pemuda-pemuda ini,” ungkap Don Bosko Wajo yang diwartakan Voxntt.

Upacara Mi Mina yang digelar di pelataran rumah adat Onekore ini sebagai bentuk pemulihan nama baik agar hal serupa tak terulang. Selain itu untuk mengantisipasi terjadinya bencana seperti yang diyakini kedua belah pihak.

Dalam acara itu, tampak para pemuda kedua kelompok ini saling berbaur dan berbagi dengan mencicipi minuman lokal (tuak) secara bergilir. Minuman tersebut sebagai wujud perdamaian.

“Jadi, ini yang terakhir dan tidak terulang lagi. Leluhur kita sudah berjanji dan mengajar kita untuk bahu membahu menjaga sikap kekeluargaan,” tutur Don.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini