Sifon, Tradisi Tak Biasa Setelah Melakukan Khitan di NTT

Sifon, Tradisi Tak Biasa Setelah Melakukan Khitan di NTT
info gambar utama

Tradisi sunat di berbagai tempat masih terikat dengan sejarah, agama, dan nilai-nilai budaya yang terikat dalam masyarakat setempat. Di Indonesia sendiri, mayoritas penduduk melakukan sunat karena perintah agama atau alasan kesehatan.

Sementara itu di Nusa Tenggara Timur (NTT), tradisi sunat ternyata juga dilakukan karena nilai-nilai budaya. Sifon, merupakan tradisi sunat yang dilakukan oleh Suku Atoni Meto. Sunat ini biasanya dimulai saat musim panen jagung dan diwajibkan saat seorang laki-laki telah berumur 18 tahun.

Dikutip dari Liputan6, ritual ini memang dilakukan ketika laki-laki telah dianggap matang untuk berhubungan seksual. Selain itu dipercaya menjadikan tubuh akan sehat, bersih dan tetap muda dan tentu saja agar memperoleh kepuasan saat bercinta.

Ritual sunat ini akan dilakukan oleh seorang tukang sunat yang disebut ahelet. Dirinya akan memastikan bahwa ritual ini telah sesuai dengan tradisi yang ada. Nantinya ritual akan dilakukan di sebuah sungai.

Ahelet akan melakukan tradisi Nain Fatu atau meminta pemuda yang akan di sunat itu untuk menghitung batu sejumlah perempuan yang telah dirinya tiduri. Bila berbohong akan menyebabkan lukanya tidak sembuh. Proses sunat sendiri akan dilakukan menggunakan bambu.

Pemuda ini diperintahkan untuk berendam di sungai yang airnya mengalir agar tubuh tidak terlalu mengeluarkan darah. Setelah disayat, alat kelamin pemuda ini akan dibalut dengan daun endemik yang hanya tumbuh di sana, seperti daun mahang damar (Macaranga triloba) atau bidara (Ziziphus mauritiana).

Perjalanan Du Anyam, Hampir Tujuh Tahun Menjadi Wadah Kehidupan Para Wanita di NTT

Tradisi ini dianggap sangat berbeda dibandingkan dengan sunat di daerah lain. Karena pada puncak ritual ini, para laki-laki diwajibkan untuk melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita yang telah disiapkan secara adat atau bersedia melakukan hal itu.

Wanita yang dipilih untuk melaksanakan ritual sifon bukanlah perempuan sembarangan, tetapi harus seorang janda atau wanita yang ditinggal suaminya. Jika wanita yang dipilih adalah istrinya, maka hal ini dianggap akan mendatangkan kesialan bagi keluarga tersebut.

Proses inilah yang disebut dengan sifon yang berarti membuang panas. Bila semua berjalan dengan baik tanpa adanya pantangan yang dilanggar, maka pemuda ini akan dianggap menjadi lebih 'jantan' dan lebih sehat dari sebelumnya.

Terlepas dari prosesinya yang panjang dan begitu menyakitkan, rasa sakit yang dialami oleh wanita tersebut mungkin lebih sakit dan membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk sembuh dibandingkan pria.

Tradisi ini membawa dua dampak, yaitu dampak kesehatan serta dampak sosial di mana perempuan yang dijadikan medium dikucilkan oleh sekitarnya. Kepercayaan suku menyatakan bahwa perempuan saat sifon menerima “hawa panas” berupa penyakit kelamin dan penyakit kuning.

"Tak hanya itu, hampir semua perempuan yang pernah melakukan sifon menderita penyakit kelamin," tulis
Yunia Rahma Hendisha dalam artikel berjudul Sifon: Mengungkap Phallusentris dalam Tradisi Suku Atoni Meto yang dimuat Medium.

Tradisi yang terbelenggu mitos

Tradisi sifon bagi Suku Atoni Meto memang sulit terkikis, walau sudah banyah pihak yang meminta agar hal ini dihentikan. Apalagi dibalut dengan segepok mitos, sehingga tradisi akan makin sulit untuk dihapus.

Masyarakat sekitar percaya bahwa bila tidak melakukannya, malapetaka akan datang. Pemuda yang tidak bersifon akan impoten. Tetapi bila tradisi ini terus dilakukan, selain martabat perempuan akan makin tertindas, risiko penyakit pun mudah menyebar.

Dipaparkan dari tulisan Rian Suryalibrata dalam buku Khitan, Mitos Sifon dan Polemik yang dimuat dalam Tempo, ketika musim panen jagung para pemuda akan jauh lebih sibuk. Mereka akan memanggil tukang sunat dan bersembunyi di sebuah gubuk yang sepi.

Setelah disunat, sang pemuda biasanya akan membiarkan tubuhnya setengah telanjang. Dirinya memakai baju, tetapi tidak mengenakan celana atau sarung. Karena itulah dirinya harus bersembunyi.

Selain itu, kalau ketahuan kaum wanita, peluang mereka untuk mendapatkan perempuan yang mau diajak bersifon kian tipis. Sejak dahulu kaum perempuan Atoni Meto enggan melayani sifon.

"Jika musim sunat tiba, para wanita tidak berani keluar rumah, apalagi pergi ke ladang," tulis pria yang juga wartawan Tempo ini.

Pelabuhan Atapupu, Tempat Para Pedagang Berburu Cendana Terbaik di Dunia

Walau tidak gampang memenuhi tradisi ini, sebagian besar laki-laki di sana tetap melalukan sifon. Kalau sampai dilanggar, malapetaka akan datang dan sang pemuda tidak akan hidup bahagia karena bisa menderita impotensi.

Selain untuk menolak bala, hubungan seksual seusai sunat dipercaya punya daya magis. Tujuannya untuk mendapatkan kembali kekuatan yang berkurang akibat di sunat.

Dosen Universitas Nusa Cendana Kupang, Primus Lake, menyatakan tidak tahu persis asal muasal tradisi yang sudah dilakukan secara turun temurun ini. Hal yang pasti, tradisi ini tidak berasal dari agama Kristen yang dianut mayoritas masyarakat di sana.

Diceritakan, tradisi sifon berakar dari falsafah keseimbangan alam yang mereka anut. Bahwa setiap kejadian yang bersifat panas harus diimbangi dengan keadaan dingin. Panas berarti buruk, dan mengandung penyakit, sedangkan dingin bermakna positif atau sejahtera.

Begitu juga sunat. Tradisi ini dianggap bisa menjadikan penampilan laki-laki menjadi lebih bersih. Orang Timor percaya, jika tidak disunat tubuhnya akan berbau seperti kambing bandot. Sehingga sulit untuk memikat kaum perempuan.

"Tetapi perbuatan yang bersifat panas ini harus diimbangi dengan pendinginan dengan cara bersetubuh," tulis Primus.

Tradisi yang mulai dilarang

Primus menyebut sekarang mulai jarang perempuan baik-baik yang mau melayani sifon. Dirinya menyimpulkan sebagian besar kaum wanita di sana menolak tradisi ini karena sudah tahu bahaya sifon.

Satu-satunya tempat yang kini populer bagi para pemuda yang mau bersifon adalah kompleks lokalisasi. Untuk mewujudkan hajatnya mereka tidak perlu keluar banyak uang, mereka hanya perlu membayar pekerja seks komersial (psk) dengan nominal Rp10 ribu-Rp50 ribu.

Memang bila diukur dari peradaban modern, dampak yang ditimbulkan sifon sangat buruk. Bukan cuma menyebarkan penyakit, tetapi juga mendorong pergaulan bebas alias hubungan seksual di luar nikah.

Pendeta Samuel Victor Niti dari Gereja Masehi Injili Timor berkali-kali menyerukan agar praktik ini dihentikan. Beberapa kali dirinya mengunjungi tempat-tempat praktik sifon, dan sudah mulai berkurang dibandingkan dahulu.

Sejarah Hari Ini (20 Desember 1958) - Nusa Tenggara Timur Jadi Provinsi

Seruan serupa juga dilakukan oleh Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi NTT, Heni A Nitbani, yang sering melakukan penyuluhan di berbagai seminari agar praktik tidak sehat ini dihentikan.

"Pihaknya juga menyediakan obat-obatan yang disalurkan lewat puskesmas buat para tukang sunat yang ingin menjalankan sunat sehat tanpa sifon," jelas Rian.

Sementara itu Yayasan Bina Mandiri yang telah tiga tahun melakukan kampanye antisifon, mereka langsung memberikan latihan sunat sehat bagi para calak. Isak Falnesi termasuk salah satu tukang sunat yang ikut dalam program ini.

Awalnya banyak pemuda Atoni Melo yang ragu mengikutinya karena takut menderita impoten bila tidak melakukan sifon. Tetapi terbukti dari 120 pemuda yang pernah di sunat di yayasan ini tidak pernah ada yang mengalami impotensi.

Alhasil semua hal itu hanya mitos. Jauh sebelumnya, anggota DPRD Kabupaten Kupang, Ruben A.T Kolnel, pernah mendobrak tradisi ini. Nyatanya, dirinya aman-aman saja dan kini dikaruniai delapan anak dari dua pernikahannya.

Tetapi pergulatan antara mitos dan dampak negatif dari sifon masih belum kunjung reda. Perang antisifon yang digaungkan pemuda terpelajar di Suku Atoni Meto selalu berbenturan dengan tradisi lama. Dan seperti budaya dan kehidupan, polemik ini terus bergelinding belum berhenti hingga sekarang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
AH
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini