Melihat Upaya Mitigasi Letusan Gunung Kelud Sejak Masa Kompeni

Melihat Upaya Mitigasi Letusan Gunung Kelud Sejak Masa Kompeni
info gambar utama

Letusan gunung api Kelud di Kediri, Jawa Timur, memiliki riwayat suram. Saat meletus pada tahun 1919, Gunung Kelud menewaskan 5.110 orang. Bahkan tahun 1586, letusan Kelud disebut telah menewaskan tak kurang dari 10.000 jiwa.

Berikutnya, kelud meletus pada 1951, 1966, dan 1990 selalu menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Sebagian besar korban gunung ini karena tersapu lahar letusan. Karena itu, mitigasi Gunung Kelud sudah ada sejak zaman kerajaan.

“Selama lebih dari 1.000 tahun, upaya mengatasi letusan Kelud lebih terfokus pada lahar yang dikeluarkannya,” dimuat dalam Jejak Kedahsyatan Kelud terbitan Kompas.

Upaya pertama dan tertua yang tercatat dalam sejarah untuk mengatasi lahar Kelud adalah pembangunan sudetan dan bendungan dari Sungai Konto ke Sungai Harinjing atau sekarang dikenal sebagai Sungai Serinjing di Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kediri.

Dalam Prasasti Harinjing yang ditemukan di sekitar Desa Siman mencatat upaya itu. Prasasti yang kadang disebut juga Prasasti Sukabumi dengan angka tahun 921 Masehi ini diperkirakan dibuat pada era Pemerintah Tulodong.

Amukan Gunung Kelud, Cerita Balas Dendam Lembu Sura yang Melegenda

Disebutkan dalam prasasti tersebut tentang pembangunan (mula dawuhan) dan saluran sungai (dharmma kali) yang keduanya dibangun tahun 804 Masehi. Saluran sungai yang dimaksud adalah Sungai Harinjing, sekarang bernama Sungai Serinjing.

Menurut Dwi Cahyono, bendungan di Harijing bertujuan untuk melindungi desa dari banjir dan terjangan lahar dingin. Dawuhan dan saluran sungai juga digunakan sebagai irigasi sawah basah maupun sawah kering atau pegagan.

“Pembangunan bendungan atau dawuhan dan saluran sungai merupakan strategi adaptasi terhadap kondisi lingkungan sekitar waktu itu,” ucapnya.

Rencana besar

Boomgaard dalam A World of Water: Rain, Rivers, and Seas in Southeast Asian Histories (2007) menyebut bendungan dan saluran sungai itu dibangun dengan alasan religius karena dibangun oleh tokoh agama dan terhubung dengan sebuah candi.

Disebutkan olehnya gunung-gunung aktif dan sungai-sungai yang fluktuatif membuat masyarakat zaman dahulu harus menyiasati dan beradaptasi dengan berbagai keterbatasan.

Meski demikian, jelas Boomgaard, pada zaman dahulu mereka ternyata sudah memiliki rencana besar ke mana harus mengalirkan banjir dari hulu sungai di gunung hingga ke muara laut.

“Ketika itu mereka sampai memetakan rencana besar penyaluran air tersebut sebagai salah satu strategi besar mengendalikan air dan mengurangi dampak bencana,” paparnya.

Dicatat pada 11 Juli 1907, Belanda juga berupaya membuat saluran air di lereng barat Kelud. Dampaknya, tinggi muka air kawah turun 7,4 meter dan isi air berkurangnya 4,3 juta meter kubik.

Cerita Letusan Gunung Kelud yang Sambut Kelahiran Soekarno

Namun volume air danau saat itu yang mencapai 40 juta meter kubik, masih dianggap menjadi ancaman besar. Kemudian pada tahun 1919, penggalian terowongan untuk mengalirkan air danau kawah dilanjutkan.

Air dari terowongan rencananya akan dialirkan ke arah Kali Bladak atau sering disebut Kali Badak. Namun terowongan ini pernah runtuh dan pekerjaan terhenti. Pembangunan lantas dilanjutkan pada 1923 dengan menggali 7 terowongan pembuangan utama.

“Pembangunan ini sukses mengurangi volume air danau dari 40 juta meter kubik menjadi hanya 1,8 juta meter kubik,” ungkapnya.

Mitigasi era modern

Analisis yang dilakukan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menjelang krisis Gunung Kelud pada tahun 2007 menunjukan bahwa jumlah korban letusan berbanding lurus dengan volume air danau kawah.

Saat Kelud meletus pada 1919, volume air danau kawah saat itu mencapai 40 juta meter kubik. Jarak luncur lahar letusan saat itu mencapai 37,5 kilometer dan jumlah korban tewas mencapai 5.110 jiwa.

Sedangkan pada letusan Gunung Kelud pada tahun 1915, dengan volume danau kawah 1,8 juta meter kubik, jarak luncuran lahar letusan hanya 6,5 kilometer. Jumlah korban tewas pun hanya 7 orang.

Lalu pada saat Kelud meletus pada 1966, volume air danau kawah mencapai 21,6 juta meter kubik, jarak luncuran lahar letusan mencapai 31 kilometer dan korban jiwa mencapai 210 orang.

Strategi Mitigasi Perubahan Iklim, Indonesia Siapkan Karbon Biru

Pada masa modern ini, antisipasi bencana Kelud tampaknya belum berubah. Pemerintah masih terfokus untuk menangani lahar Kelud dengan membangun sabo dam, ditangani oleh Proyek Pengendalian Lahar Gunung Kelud di Kediri.

“Sejauh ini belum ada perubahan strategi penanganan dampak letusan yang dilakukan lembaga,” ucap Sudjati yang kala itu menjabat pelaksana teknik Proyek Pengendalian Lahar Gunung Kelud.

Sejak 2008, dengan bantuan dana Pemerintah Jepang, pihaknya telah merenovasi 3 sabo dam dan membangun 5 unit sabo dam baru di Blitar. Kegiatan ini masih terus berlangsung karena saat ini 70 persen sabo dam telah penuh berisi material.

Mantan Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono menyebut letusan Kelud tak bisa diprediksi bagaimana ke depan. Karena itu peta Kawasan Rawan Bencana (Kelud) harus sudah diubah.

“Maka latihan-latihan terkait mitigasi bencana bisa jadi sudah tak relevan dengan versi KRB-nya, skenarionya sudah berubah,” katanya saat itu.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini