Kue Delapan Jam Palembang, Si Manis yang Filosofis

Kue Delapan Jam Palembang, Si Manis yang Filosofis
info gambar utama

Kuliner Palembang bukan hanya sebatas pempek atau tekwan saja. Selain kedua makanan tersebut, Ibu Kota Sumatra Selatan ini juga punya kue basah yang lezat bernama kue delapan jam.

Di balik kelezatan rasanya, kue ini juga mengandung nilai kehidupan yang menjadi pegangan masyarakat Palembang pada zaman dahulu. Sesuai dengan namanya, kue ini membutuhkan waktu delapan jam untuk pengukusan, tidak boleh lebih maupun kurang.

Kue delapan jam memiliki warna coklat kekuningan dengan pori–pori kecil yang tampak pada tiap potongannya. Teksturnya sendiri lembut dan agak sedikit kenyal. Ketika sampai di lidah, rasa legit dengan sensasi basah akan 'pecah' di mulut dengan kenikmatan yang tiada duanya.

Kue Putu, Kudapan Tradisional yang Masuk Daftar Kue Terbaik di Dunia Versi TasteAtlas

Jadi Santapan Bangsawan

Pada zaman dahulu, hanya masyarakat kelas atas saja yang bisa menikmati kue ini. Hal ini beralasan, sebab bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat kue delapan jam cukup mahal. Sebenarnya, bahan kue delapan jam cukup sederhana, seperti telur, margarin, kental manis, dan gula.

Hanya saja, jumlah telur yang dibutuhkan untuk kue ini setidaknya haruslah 20 butir. Bahan ini termasuk cukup mahal pada zaman dahulu, apalagi telur menjadi pilihan utama untuk lauk pauk masyarakat menengah ke bawah.

Seiring dengan perubahan zaman, hampir semua lapisan masyarakat sudah bisa menikmati kue ini. Bahan-bahannya pun sudah sangat mudah untuk didapatkan.

Kue ini kerap jadi hidangan utama ketika hari besar atau perayaan tertentu. Kalau kamu datang ke Palembang ketika bulan puasa atau Idul Fitri, sebagian besar rumah akan menyediakan kudapan ini.

Kue Leker, Tipis-Manis Nostalgia Masa Sekolah Generasi 90-an

Memiliki Nilai Filosofis

Kue delapan jam | Kurniawan Eka Putra/Shutterstock
info gambar

Kue yang menjadi warisan budaya takbenda Sumatera Selatan ini kaya akan nilai filosofis mengenai kehidupan dan ketuhanan.

Pertama, nilai ini tersirat pada proses pembuatannya yang memakan waktu berjam-jam. Ini memiliki arti bahwa kehidupan harus dijalani dengan sabar sebelum mencapai tujuan. Jika ada yang mencoba mengukus kue ini dengan waktu kurang dari 8 jam, cita rasanya pun tidak akan maksimal. Kue akan menjadi lembek dan tak berpori.

Lalu dari segi penamaan, pemilihan waktu delapan jam ini juga punya alasan. Dilansir dari IDN Times Sumsel, menurut sejarawan Palembang bernama Mang Amin, ini ada kaitannya dengan pembagian waktu dalam hidup.

Di mana dalam 24 jam waktu dalam sehari, setidaknya kita harus membaginya dengan 3 kegiatan yang berbeda selama 8 jam. Yaitu 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk istirahat, dan 8 jam untuk beribadah.

Angka 8 juga melambangkan jumlah orang yang mengangkat keranda kita ketika tutup usia nanti. Artinya, kita harus ingat bahwa hidup di dunia hanya sementara.

Kalau kamu berkunjung ke Palembang, jangan lupa untuk mencicipi kue lezat ini.

Mengenal Kue Dongkal, Jajanan Khas Betawi yang Semakin Sulit Ditemukan

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Muhammad Fazer Mileneo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Muhammad Fazer Mileneo.

MM
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini