Pohon Daluang: Penghasil Kertas Kelas Dunia yang Bawa Kesejahteraan

Pohon Daluang: Penghasil Kertas Kelas Dunia yang Bawa Kesejahteraan
info gambar utama

Pohon daluang adalah sebutan untuk tumbuhan (Broussonetia papyrifera) maupun produknya berupa lembaran dari pepagan (kulit kayu) yang dipakai sebagai bahan untuk berbagai keperluan.

Suparti, salah satu warga di Tegalsari, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur memiliki puluhan pohon daluang di pekarangan rumahnya. Dirinya mengaku tak pernah merawatnya.

Pohon itu dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri, bersama dengan tanaman lainnya seperti ketela. Dirinya hanya memakainya saat sedang membutuhkan, bahkan beberapa sudah ditebang dan diganti tanaman lain.

Dari 20 Spesies Pinus yang Ada di Dunia, 1 di Antaranya Endemik dari Indonesia

Realitas ini bertolak belakang dengan era tahun 1950-an. Ketika itu, pohon daluang menjadi pohon uang bagi masyarakat. Pohon yang berkembang biak dengan akar rimpang atau bercabang-cabang banyak diburu orang.

Ketika itu pohon daluang menjadi bahan baku utama perusahaan Kertas Gedog yang dikelola oleh keluarga Marsudi, suami dari Suparti. Perusahaan kertas tradisional Nusantara ini diwarisi dari orang tua Marsudi.

Di masa kejayaannya, pada era sebelum tahun 1960-an, perusahaan ini mempekerjakan 10 pegawai. Produksinya mencapai ratusan lembar kertas halus per minggu. Kertas-kertas itu semua dibeli dan konon di bawa ke Belanda.

“Kabarnya, kertas daluang ini dipakai untuk bahan baku pembuatan uang di luar negeri. Sebab, kertas ini sangat ulet dan awet (tahan lama). Kertas ini juga tak mudah dirobek atau rusak hanya karena terkena air,” katanya yang dimuat Kompas.

Proses yang panjang

Suparti sebagai generasi terakhir Perusahaan Kertas Gedog Ponorogo itu menjelaskan tak mudah membuat kertas daluang. Sebab, katanya, prosesnya cukup berbelit sehingga memakan waktu dan menguras tenaga.

Pertama, pohon daluang yang akan diproses harus dipilih dan dipilah. Idealnya, pohon yang masih muda, kira-kira usia enam bulan hingga setahun. Tujuannya, agar kulitnya empuk, tetapi kuat sehingga tak mudah robek yang dicari batang lurus dan tak bercabang.

Batang itu kemudian dipotong dan dikuliti. Kulit luar yang kasar dan berwarna coklat kehitaman di kerok hingga bersih. Setelah tinggal kulit berwarna putih, baru direndam sehari semalam agar empuk.

Berikutnya, kulit kayu ditiriskan dan dipukul-pukul dengan batangan tembaga yang beratnya sekitar 2,5-5 kilogram. Tujuannya, agar kulitnya halus dan mengeluarkan teksturnya. Setelah halus baru dikeringkan dengan melingkarkan pada batang pisang.

Palahlar, Pohon Endemik Nusakambangan dengan Kayu Berkualitas

Sementara sembari menunggu kering, kulit kayu digosok-gosok daun nangka. Kulit kayu yang sudah kering, dengan sendirinya akan lepas dari batang pisang. Itulah kearifan lokal untuk mengukur kelembapan kertas.

Tetapi proses belum berhenti, dua lembar kulit kayu yang kering dilekatkan jadi satu. Selain itu, bagian kulit yang cacat seperti bekas goresan atau bekas potongan ranting harus disulam agar rata.

Selanjutnya kulit dipukul-pukul lagi menggunakan batangan tembaga hingga halus dan permukaannya rata. Proses terakhir menghaluskan kulit kayu hingga mengilap dengan cara menggosok-gosokkan kulit kerang laut di atas permukannya.

Setelah jadi kertas dan mengilap, baru dirapikan tepiannya dengan diukur dan digunting. Ukuran kertas disesuaikan permintaan pemesan. Setelah Belanda meninggalkan Tanah Air, pesanan datang dari Pemerintah Jepang dan Indonesia.

Berharap kembali

Namun memasuki era tahun 1960, pesanan mulai seret. Bahkan, sejak tahun 1962, pesanan tak ada sama sekali. Produksi terakhir dilakukan Marsudi saat mengikuti Pameran Industri Djawa Timur ke-1 yang digelar di Taman Hiburan Rakyat Surabaya.

Karena mandeknya pesanan kertas daluang, dirinya pun banting setir. Jika sebelumnya pengusaha kertas kelas dunia, Marsudi hanya jadi pegawai kantor kecamatan. Sementara istrinya buka warung kopi yang melayani santri di Pesantren Tegalsari.

Sejarah menunjukkan kertas daluang dipakai untuk menulis naskah kuno seperti mantra atau tradisi tulis-menulis. Di pondok pesantren, kertas ini dipakai untuk menulis kitab suci, Di Pacitan, tersimpan Wayang Beber yang dilukis di atas kertas daluang.

7 Macam Pohon Endemik Berstatus Langka di Indonesia

Cipto Wiyadi, putra bungsu Suparti mengatakan walaupun industri tradisional pembuatan kertas daluang tamat riwayatnya, tetapi pihaknya masih menyimpan sebagian alat produksinya.

“Kami masih menyimpannya, walaupun tak tahu akan diapakan. Suatu saat, alat tersebut akan berguna, setidaknya sebagai pengetahuan anak cucu,” katanya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini