Tradisi Larung Laut, Bentuk Syukur Suku Jawa Atas Hasil Alamnya

Tradisi Larung Laut, Bentuk Syukur Suku Jawa Atas Hasil Alamnya
info gambar utama

Bukan Indonesia jika tidak terkenal akan budayanya, seperti Tradisi Larung Laut yang dilakukan oleh masyarakat di daerah pesisir selatan Pulau Jawa.

Tradisi Larung Laut merupakan tradisi yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas hasil alam berupa tangkapan ikan untuk nelayan selain itu juga hasil panen pertanian dan peternakan. Biasanya tradisi ini disebut juga sebagai Larung Sesaji atau Sedekah Laut.

Sejarah Tradisi Larung Laut

Sejarah tradisi Larung Laut, tradisi melarungkan sesajian yang sudah ada sejak lama

Tradisi Larung Laut atau Larung Sesaji ini awalnya dilakukan oleh Atmaja atau Atmo Wijoyo yaitu salah satu prajurit dari Mataram, anak buah Pangeran Diponegoro. Ia melarikan diri ke Pantai Tambakrejo dan melakukan ritual syukuran atas berkah yang ia dapat. Mulai dari situlah tradisi tersebut dikenal sebagai Larung Sesaji.

Namun, terdapat cerita lain yaitu terdapat sosok Mbok Ratu Mas yang berdiam diri di laut selatan. Ia dikenal sebagai sosok yang disegani oleh warga Desa Tambakrejo sehingga para warga harus menaruh hormat kepada Mbok Ratu Mas. Dan konon katanya Mbok Ratu Mas juga merupakan salah satu perwujudan dari Nyi Roro Kidul, penguasa pantai selatan Pulau Jawa.

Waktu Pelaksanaan Tradisi Larung Laut

Waktu pelaksanaan tradisi Larung Laut yang dilaksanakan pada satu muharram atau satu suro sebagai puji syukur kepada hasil tangkapan ikan dan panen yang berlimpah

Larung Laut biasa dilaksanakan setiap tanggal 1 Muharram atau 1 Suro, bagi kaum muslim 1 Muharram merupakan bulan pertama dalam kalender Hijriyah atau biasa disebut sebagai Tahun Baru Islam.

Dan bulan Muharram merupakan sebaik-baiknya bulan untuk berpuasa setelah bulan Ramadhan, sebenarnya untuk penyebutan 1 suro sama dengan 1 Muharram namun penyebutan 1 suro biasa digunakan oleh masyarakat Jawa.

Baca juga tradisi Indonesia yang dilakukan di laut lainnya: Tuturangiana Andala, Tradisi Tolak Bala di Lautan Makassar

Proses Pelaksanaan Tradisi Larung Laut

Proses dan filosofi tradisi Larung Laut yang dilaksanakan sebagai puji syukur kepada hasil tangkapan ikan dan panen yang berlimpah

Tradisi Larung Laut ditujukan sebagai rasa syukur oleh masyarakat atas hasil alam dan nikmat Tuhan berupa rezeki hingga keselamatan semasa hidupnya. Tradisi ini selalu ditungu-tunggu oleh masyarakat dari berbagai daerah.

Prosesi Larung Laut pun tidak dilakukan sembarangan, prosesi ini diawali dengan pembacaan doa atau ujub yang dipimpin oleh ketua adat. Ujub berisikan ungkapan-ungkapan syukur atas hasil laut yang diperoleh selama setahun. Selain itu, diungkapkan pula harapan dan juga doa supaya mendapatkan hasil yang baik tanpa adanya halangan, wabah, dan juga musibah.

Semalam sebelum Tradisi Larung Laut dilaksanakan biasanya digelar pertunjukan pergelaran wayang kulit dan esoknya baru prosesi dilaksanakan. Pada prosesi Larung Laut biasanya menggunakan sesajian seperti Tumpeng Emas, Takir Plonthang, dan Cok Bakal.

Tumpeng Emas diartikan sebagai komponen paling penting karena diisyaratkan sebagai doa keselamatan dan upaya untuk mempercayai keberadaan Mbok Ratu Mas dan memohon keselamatan serta kesejahteraan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk takir plontang sendiri merupakan nasi yang dibungkus dengan daun pisan dan kelapa muda yang berbentuk seperti perahu dengan ujungnya dibentuk dengan lidi. Komponen ini ditujukan sebagai simbol menata pikiran menuju hal baik secara terus-menerus.

Cok Bakal digunakan sebagai simbol mengungkap isi alam semesta dan permulaan hidup yang melibatkan Tuhan dengan manusia. Biasanya berisikan telur, bungan setaman, buah-buahan, jajanan pasar, bumbu dapur, dan jejamuan.

Sesajian-sesajian tersebut dibawa dengan menggunakan tandu yang diangkat oleh empat orang dengan barisan dibelakangnya yaitu orang-orang yang mengenakan busana adat dan juga orang-orang berpakaian hitam yang mengenakan udeng.

Lalu saat tiba di pantai, semua sesajian diletakkan di sebuah panggung sambil diiringi oleh doa-doa dan diarak menuju bibir pantai. Pertama, perahu akan membawa gunungan berputar sebanyak tiga kali mengelilingi teluk setelah itu gunungan dibawa ke laut untuk dilarung melalui dermaga sejauh sekitar empat kilometer ke tengah laut hingga ditenggelamkan.

Selain bagian dari suatu adat dan kebudayaan Indonesia yang perlu dijaga, Tradisi Larung Laut ini menyimpan banyak nilai sosial seperti nilai gotong-royong khas masyarakat Indonesia yang saling rukun satu sama lain dan sifat puji syukur atas segala pemberian yang diberikan oleh Tuhan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Phyar Saiputra lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Phyar Saiputra.

Terima kasih telah membaca sampai di sini