Sebab-Sebab Terbaginya Negara Kaya, Berkembang, dan Miskin

Sebab-Sebab Terbaginya Negara Kaya, Berkembang, dan Miskin
info gambar utama

Pernahkah Kawan bertanya-tanya kenapa Indonesia termasuk negara berkembang? Lalu, kenapa negara-negara seperti Amerika Serikat dan Eropa menjadi negara kaya? Di samping itu, ada pula negara miskin yang kebanyakan asalnya dari Benua Afrika.

Memang benar kemakmuran suatu negara ditentukan oleh perkembangan ekonomi dan kesejahteraan warganya. Namun, kenapa kemakmuran tersebut tidak terjadi merata di seluruh belahan dunia?

Beberapa teori berikut ini bisa menjadi jawaban atas sebab-sebab terbaginya negara kaya, berkembang dan miskin. Simak baik-baik, ya!

1. Hipotesis Geografi

negara kaya
info gambar

Salah satu teori paling populer tentang penyebab kesenjangan kemakmuran dunia adalah hipotesis geografi. Teori ini menyatakan bahwa pemisah negara terkaya dan termiskin di dunia tercipta oleh perbedaan kondisi dan lokasi geografi.

Banyak negara miskin di kawasan Afrika, Amerika Tengah, dan Asia Tengah yang secara geografis terletak di sekitar Garis Balik Utara dan Garis Balik Selatan. Sementara itu, negara-negara kaya terletak di daerah beriklim sedang.

Konsentrasi kelompok negara kaya dan miskin itulah yang membuat banyak orang tertarik pada hipotesis geografi. Akan tetapi, bukan berarti hipotesis itu sepenuhnya bebas dari kelemahan.

Montesquieu, pelopor hipotesis geografi, menyebut bahwa negara-negara beriklim panas pasti rakyatnya cenderung hidup melarat. Namun buktinya, negara tropis seperti Singapura justru dapat tumbuh lebih maju.

Selain itu, teori ini nyatanya juga tidak mampu menjelaskan alasan di balik makmurnya negara seperti Jepang dan China.

2. Hipotesis Kebudayaan

Teori hipotesis kebudayaan cukup luas pengaruhnya dalam mengaitkan kemakmuran dengan kebudayaan. Teori ini dikembangkan dari pernyataan para pemikir ternama, misalnya Max Weber, seorang sosiolog masyhur asal Jerman.

Meski kurang pantas untuk disebutkan secara terbuka, hipotesis kebudayaan menilai bahwa bangsa-bangsa Afrika mengalami kemiskinan karena mereka

  • tidak memiliki etos kerja yang baik,
  • masih percaya pada tenung dan sihir, atau
  • menolak teknologi baru dari Barat.

Tak sedikit pula orang yang percaya bahwa Amerika Latin tidak akan bisa bangkit dari kemiskinan sebab rakyatnya boros dan sulit diajak hidup makmur. Kedua kebiasaan tersebut dipercaya merupakan "warisan" budaya Iberia yang kurang menghargai waktu.

Jika Kawan menengok ke China, etos kerja orang Tionghoa membuktikan diri mereka sebagai motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi di sana. Kalau begitu, bisakah hipotesis kebudayaan dipakai untuk memahami sebab-sebab terbaginya negara kaya, berkembang, dan miskin?

Baca Juga: Mengapa Ada Sebagian Negara Maju dan Kaya, dan Sebagian yang Lain Miskin dan Tertinggal?

3. Hipotesis Kebodohan

negara miskin
info gambar

Teori tentang penyebab kesenjangan antara negara-negara kaya dan miskin berikutnya adalah hipotesis kebodohan. Didukung oleh Lionel Robbins—ekonom terkemuka Inggris, teori ini menegaskan bahwa kesenjangan ada karena para penguasa tidak tahu cara memakmurkan bangsanya.

Hipotesis kebodohan menyebutkan, negara-negara miskin adalah korban dari kondisi gagal pasar karena para pembuat kebijakannya tidak tahu cara mengatasi kondisi tersebut dan mengambil arah kebijakan yang salah di masa lalu. Sebaliknya, negara-negara kaya bisa seperti itu sebab para pemimpinnya bekerja keras membuat kebijakan yang lebih efektif dan berhasil mengatasi kondisi gagal pasar.

Kalau begitu, mungkinkah negara-negara di Afrika itu lebih miskin karena para pemimpinnya punya pandangan yang keliru tentang cara mengelola negara sehingga menjerumuskan rakyatnya pada kemiskinan? Lantas, apakah para pemimpin di negara-negara Barat “lebih pintar” dan memiliki banyak penasihat kelas atas sehingga negaranya makmur dan berjaya?

Meski banyak contoh kasus tentang para pemimpin dunia yang salah mengambil kebijakan karena keliru menafsirkan berbagai konsekuensi yang bisa timbul sebagai akibat dari kebijakannya, hipotesis kebodohan hanya bisa digunakan untuk menjelaskan kasus-kasus kesenjangan ekonomi pada lingkup yang terbatas, tetapi sulit diterapkan pada level makro.

4. Kegagalan Institusi

Daron Acemoglu dan James A. Robinson melalui bukunya yang berjudul Why Nations Fail (2017) berusaha membedah penyebab kesenjangan kemakmuran negara-negara di dunia. Bukan karena geografi, kebudayaan, maupun kebodohan para pemimpinnya, negara bisa dikatakan kaya atau miskin lebih diakibatkan oleh kegagalan institusi yang ada di negara itu sendiri.

Institusi yang dimaksud di sini adalah institusi politik-ekonomi yang berperan dalam menjalankan suatu negara. Menurutnya, banyak negara jatuh miskin pada zaman sekarang karena melanggengkan institusi ekonomi yang ekstraktif dan diiringi dengan institusi politik yang ekstraktif pula. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi hanya diperuntukkan demi mengukuhkan kekuasaan segelintir orang.

Kawan dapat melihatnya pada kasus ekstrem, misalnya di Zimbabwe dan Sierra Leone yang perekonomiannya mandek karena para politisinya melakukan korupsi. Mereka dengan rakus menggarong kekayaan negara dan rakyat serta menyabot segala bentuk aktivitas ekonomi independen yang bisa mengancam kekuasaan para elite.

Dengan demikian, Acemoglu dan Robinson meyakini bahwa penyebab terbaginya negara kaya, berkembang, dan miskin ditentukan dari bagaimana kerja institusi yang ada di negara itu sendiri. Kamu setuju?

Baca Juga: Kasus Korupsi di Indonesia Masih Tinggi, Apa Penyebabnya?

Itulah beberapa teori terkenal yang menjelaskan tentang sebab-sebab terbaginya negara kaya, berkembang, dan miskin dari perspektif para filsuf dan ilmuwan sosial. Kalau menurut Kawan GNFI, teori manakah yang paling masuk akal?

Referensi:

Acemoglu, Robinson, Adhivijaya (Ed). 2017. Why Nations Fail. Jakarta: Kompas Gramedia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Firdarainy Nuril Izzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Firdarainy Nuril Izzah.

FI
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini