Kisah Tiga Serangkai yang Tetap Melawan Meski Terusir ke Belanda

Kisah Tiga Serangkai yang Tetap Melawan Meski Terusir ke Belanda
info gambar utama

Pada 6 September 1913, tiga pentolan Indische Partij: Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara harus pergi dari Hindia Belanda.

Ratusan orang telah memadati dermaga Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia untuk melepas tiga pahlawan mereka yang akan diasingkan ke Belanda. Dari atas kapal Jerman bernama Bulow ini, ketiga melambangkan tangan.

“Selamat tinggal, kawan-kawan seperjuangan. Selamat tinggal Hindia, aku akan tetap berjuang untuk kemerdekaanmu,” teriak mereka yang dimuat dari Seri Tokoh Douwes Dekker yang diterbitkan Tempo.

Pemerintah kolonial memang mengasingkan tiga serangkai itu karena tulisannya yang dianggap menghasut rakyat. Hukuman itu buntut beredarnya selebaran yang ditulis Ki Hadjar Dewantara soal perayaan seabad kerajaan Belanda bebas dari Prancis.

5 Tokoh yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional di Tahun 2022

Frans Glissenaar dalam Het Leven van E.F.E Douwes Dekker menuturkan bahwa karena tulisan berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda ini membuat pemerintah kolonial murka. Lantas Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg menangkap mereka.

Pada 18 Agustus 1913, Idenburg mengeluarkan surat keputusan mengasingkan ketiganya. Pemerintah kolonial mengasingkan mereka ke Belanda. Disebutkan pilihan itu hanya akal-akal pemerintah kolonial.

“Semakin berbahaya seseorang bagi pemerintah kolonial, semakin jauh orang itu dibuang,” tulis sejarawan Anhar Gonggong.

Melawan dari negeri Belanda

Setelah berlayar selama satu bulan, ketiganya sampai di Belanda pada 2 Oktober 1913. Harry A Poeze dalam Orang Indonesia di Negeri Belanda (1600-1950) menuliskan ketiganya disambut hormat puluhan kader Partai Buruh Belanda.

Dukungan Partai Buruh Belanda kepada mereka merupakan usaha anggota perhimpunan Budi Utomo dan Sarekat Islam di Belanda. Sebelum ketiganya sampai, anggota perhimpunan melobi Partai Buruh agar tidak menahan tiga serangkai.

Karena itulah, harian partai itu, Het Volk memberikan satu halaman kepada mereka untuk menceritakan pengalaman melawan penindasan kolonial. Pada hari itu juga, kaum sosialis Belanda secara terang-terangan mengkritik pengasingan ketiga tokoh nasional itu.

Menjamin Kelestarian Lingkungan, Inilah Para Pejuang Masa Depan Bumi Indonesia

Poeze mencatat, ketiganya tujuh kali berbicara di rapat Partai Buruh Belanda. Karena dukungan yang cukup besar, mereka kemudian membentuk Comite atau Komite Orang Hindia yang bertujuan menyebarkan informasi soal Hindia.

Perhimpunan Budi Utomo dan Sarekat Islam juga mencoba menggalang dana. Dari dana tersebut, ketiga lalu menerbitkan majalah De Indier, media resmi Indische Partij di Belanda. Edisi pertama terbit pada 23 Oktober 1913.

“Yang paling banyak menulis adalah Ernest,” kata Poeze.

Tidak berfungsi banyak

Tetapi propaganda yang gencar dari majalan ini tetap tak bisa membuat pemerintah kolonial luluh. Menteri Daerah Jajahan Thomas Bastian Pleyte tetap menolak mencabut larangan terhadap Indische Partij.

Ketika pertemuan tersebut, Pleyte juga menolak memulangkan mereka ke Hindia. Karena itulah Douwes Dekker melanjutkan studi ke Universitas Zurich di Swiss. Karena itulah majalah ini kehilangan rohnya.

Berwisata ke Tugu Pahlawan dan Museum Sepuluh November di Surabaya

Belakangan, Tjipto malah lebih sering menulis soal Sarekat Islam, juga wabah pes yang menyerang Belanda. Tak ada lagi soal politik Hindia. Tjipto dan Soewardi bahkan meninggalkan dunia politik karena mulai fokus kuliah.

De Indier kemudian hidup segan mati pun tak mau, setelah Tjipto lumpuh dan Belanda dihajar krisis ekonomi. Barulah permintaan Soewardi agar Tjipto diizinkan pulang dikabulkan pemerintah Belanda.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini