12 Jenis Mamalia di Gunung Merapi Perlu Perlindungan

12 Jenis Mamalia di Gunung Merapi Perlu Perlindungan
info gambar utama

Kehidupan 12 jenis mamalia di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) dikabarkan terancam akibat erupsi periodik dan aktivitas manusia. Habitat satwa asli pegunungan Jawa ini terganggu karena berada di kawasan gunung berapi aktif dan dekat dengan permukiman padat penduduk.

Situasi ini tergambar dalam hasil penelitian Nurpana Sulaksono, mahasiswa program studi Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan UGM. Dia memasang puluhan kamera jebakan, lalu menemukan sebanyak 12 jenis mamalia berukuran sedang hingga besar tinggal di area TNGM. Mereka terdiri dari monyet, kijang, landak, garangan, lutung, babi hutan, trenggiling, kucing hutan, biul, rase, dan tupai terbang.

“Yang paling banyak itu adalah monyet ekor panjang, kijang, landak, dan luwak," ungkap Nurpana dalam Ujian Terbuka Promosi Doktor di Fakultas Kehutanan UGM, Senin (13/3).

Erupsi Gunung Merapi dan Kisah Sang Juru Kunci Mbah Maridjan

Dalam disertasinya yang berjudul Respon Mamalia Darat Ukuran Sedang-Besar pada Berbagai Tipe Gangguan di Lanskap Taman Nasional Gunung Merapi, Nurpana memaparkan mamalia dengan ukuran sedang dan besar seperti monyet, lutung, dan kijang, cenderung menghindar serta menjauhi area yang dekat dengan gangguan, baik pemukiman maupun penambangan.

“Satwa itu cenderung berada di area tutupan rapat dan menjauh dari area pemukiman dan penambangan serta suka pada lahan yang agak tinggi,” jelasnya.

Mengenai ketersediaan habitat populasi mamalia di TNGM saat ini, Nurpana mengungkapkan habitat paling luas dimiliki oleh kucing hutan yang menempati area seluas 5.000 hektare, disusul luwak 4.700 hektare, serta kijang 3.000 hektare, baik di dalam maupun di luar kawasan TNGM.

Sementara itu, Nurpana menjelaskan sejumlah habitat mamalia yang terganggu. Contohnya, habitat kijang saat ini mengalami fragmentasi akibat erupsi serta aktivitas pemukiman penduduk. Lokasinya berada di utara dan selatan gunung Merapi.

"Antara wilayah utara dan selatan yang terputus akan memberikan dampak pada pelestarian area, seharusnya populasinya bisa terhubung,” paparnya.

Lalu, gangguan paling tinggi, menurut penemuannya, terjadi pada habitat yang terdampak akibat gangguan aktivitas penambangan. Habitat dengan tingkat gangguan tinggi cenderung direspon dengan kekayaan jenis dan keragaman jenis mamalia yang rendah.

Sebaliknya, pada habitat yang tidak terganggu justru cenderung memiliki kekayaan tinggi, tapi tingkat keragaman mamalianya paling rendah akibat adanya dominasi beberapa jenis satwa tertentu.

Butuh pengamanan yang berkelanjutan

Melihat kondisi tersebut, Nurpana merekomendasikan agar dilakukan pengukuran kondisi mamalia secara aktif serta berkelanjutan guna mengetahui dinamika dan perkembangan jumlah populasi beserta habitatnya.

Tak hanya itu, kata dia, diperlukan juga pengaturan waktu aktivitas pengambilan rumput oleh masyarakat.

“Pengaturan dilakukan untuk mencegah gangguan tidak melebihi ambang batas toleran yang dapat memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap satwa liar khususnya mamalia,” ujarnya.

Kemudian, ada hal lain yang tidak kalah penting, yakni pengamanan kawasan TNGM untuk mencegah aksi perburuan, lalu melakukan pengaturan serta penertiban terhadap aktivitas penggalian batu dan pasir untuk mencegah terjadinya fragmentasi habitat.

“Pengambilan material batu dan pasir yang tidak terkendali bisa menyebabkan terputusnya konektivitas antar habitat,” tutupnya.

Museum Gunungapi Merapi di Sleman, Daya Tarik Wisata tentang Gunung dan Gempa

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Afdal Hasan lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Afdal Hasan.

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini