Watu Gilang dan Sekilas Sejarah Desa Ngabab

Watu Gilang dan Sekilas Sejarah Desa Ngabab
info gambar utama

Peninggalan benda di Indonesia mendapat perhatian penting baik dari lembaga pemerintah maupun dari masyarakat sekitar yang berdekatan dengan letak situs tersebut. Masyarakat setempat mempercayai peninggalan tersebut merupakan cagar budaya sekaligus bentuk ritual. Jejak-jejak peninggalan yang berskala besar seperti reruntuhan candi atau formasi batuan-batuan kuno.

Lalu, peninggalan yang ukurannya lebih kecil seperti arca, umpak, lingga, yoni, dan berbagai bentuk peninggalan lainnya dari masa megalitik hingga masa hindu-budha tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satunya terdapat di wilayah Kabupaten Malang, Kecamatan Pujon lebih tepatnya di Desa Ngabab.

Desa itu memiliki peninggalan bersejarah berupa formasi batuan andesit memanjang dengan panjang 28 meter dengan tinggi 4 meter. Warga setempat menyebut situs tersebut dengan nama Watu Gilang.

Pada areal Watu Gilang tersebar beberapa peninggalan yang diyakini sebagai makam para leluhur. Akan tetapi, sebagaimana penemuan bersejarah lain yang berupa makam, tidak selalu dapat dipastikan bahwa terdapat seseorang yang dikuburkan di tempat tersebut. Hal ini bisa saja berupa makam-makam semu.

Lokasi dari Watu Gilang berada di atas puncak gunung dan berbatasan dengan gunung Dworowati di sisi selatan. Peninggalan ini banyak interpretasi baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat setempat perihal fungsi serta tujuan dibangunnya dari Watu Gilang pada masa itu.

Menurut Dylan Walsh dalam tulisannya Kepercayaan Masyarakat Terhadap Gunung, kedekatan serta kepercayaan masyarakat Jawa terhadap gunung sangat dalam dan erat yang kemudian dilambangkan sebagai penderma dan pengambil.

Menurut kosmologi masyarakat Jawa, gunung-gunung sebagai tempat bersemayamnya para makhluk halus. Sedang dalam kepercayaan hindu gunung merupakan tempat dari Sang Hyang dan para dewa-dewa lainnya bersemayam.

Menengok Desa Lamno di Aceh, Kampung Bule yang Warganya Punya Mata Biru

Sebagai keperluan pemujaan, manusia mendirikan berbagai bangunan yang terbuat dan tersusun dari batu-batu besar, yang biasa dikenal dengan nama megalitik seperti dolmen, menhir, bilik batu, kubur batu dan punden berundak (Soejono, 1984). Maka dari itu, pemahaman tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan kembali tentang fungsi dan tujuan dibuatnya Watu Gilang.

Penampakan situs Watu Gilang di desa Ngabab berupa susunan berbahan batu andesit
info gambar

Dijelaskan oleh Stutterheim, pada masa Majapahit, mulai berkembang tradisi neo-megalitik. Tradisi ini bercirikan melakukan revitalisasi terhadap situs megalitik yang ada. Dalam penelitian selanjutnya, hal ini diperkuat kembali bahwa fungsi dari bangunan neo-megalitik adalah sebagai sarana pemujaan terhadap roh nenek moyang, pemujaan terhadap dewa gunung, dan kresiyan dengan menggunakan situs yang telah ada sebelumnya (Marsudi, 2015:86).

Menurut Dwi Cahyono, Watu Gilang merupakan bentuk dari peninggalan tradisi neo-megalitik. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan prasasti Selabraja yang terletak di Dusun Selobrojo, Desa Banjarejo, Kecamatan Ngantang. Prasasti ini berangka tahun 1336 saka atau 1414 Masehi dalam masa pemerintahan Raja kelima Majapahit Wikramawarddhana. Dalam prasasti tersebut menyebutkan dua buah tempat penting, yaitu Mandala Awaban dan Sagara.

Prasasti Selabraja Desa Banjarejo, Kecamatan Ngantang
info gambar

Dalam prasasti Selabraja, menurut Dwi Cahyono, Mandala Awaban merupakan dugaan nama kuno dari Watu Gilang saat ini. Bangunan Watu Gilang yang berbentuk seperti benteng sebenarnya adalah tanggul untuk penahan kontur tanah bertebing.

Adapun perkiraannya masih terdapat bangunan induk, tetapi masih belum ditemukan. Jika melihat corak bangunan megalitik, maka bisa didapati teras-teras berundak dengan bangunan induk berada pada bagian atas disertai altar sesajian.

Tertulis dalam laporan Hindia Belanda, di Desa Ngabab sempat ditemui peninggalan bersejarah berupa arca Ganesha dan yoni.

Desa Cihideung, Daerah Penghasil Kembang yang Memperindah Kota Bandung

Apabila Watu Gilang memang dijadikan sebagai objek pemujaan, maka dapat diperkirakan terdapat beberapa arca yang digunakan sebagai media pemujaan. Sesuai dengan tradisi neo-megalitik, Watu Gilang merupakan bentuk kontinuitas dari budaya megalitik yang direvitalisasi kembali pada masa Majapahit.

Sedangkan, nama dari Watu Gilang Sendiri sebagaimana pernyataan Dwi Cahyono merupakan nama-nama yang diberikan pada situs atau peninggalan yang biasanya berbentuk balok atau batu persegi panjang untuk struktur bangunan.

Menurut pendapat lain di areal tersebut pernah terjadi pertempuran antara pasukan Singosari melawan Kediri. Penguasa Gelang-Gelang (Kediri) yaitu Jayakatwang menyerang Singosari dari arah selatan dan utara. Dijelaskan jika Watu Gilang adalah benteng dari kerajaan Singosari untuk melawan Kediri.

Lokasinya yang berada di puncak gunung memang strategis untuk pertahanan. Hal ini diperkuat kembali dengan ditemukan jalur kuno disekitaran menuju Watu Gilang. Namun, pendapat tentang peperangan ini masih belum ditemukan manuskrip atau prasasti yang menjelaskan tentang jalannya pertempuran.

Meskipun begitu, diperkirakan di lokasi ini, Singosari mengalami kekalahan karena ada cerita yang menyatakan jika penyerangan Jayakatwang ke Singosari berjalan sukses.

Melihat dari keberadaan situs ini, erat kaitannya dengan toponimi-toponimi daerah sekitaran kawasan Pujon, tak terkecuali asal nama desa Ngabab. Keterangan lebih lanjut oleh Dwi Cahyono menjelaskan bahwa nama dari Desa Ngabab merupakan toponimi yang berasal dari Awaban yang ada pada prasasti Selabraja.

Desa Ngabab mendapat awalan berupa sengau “Ng”, lalu perubahan huruf "w" menjadi "b". Hal ini didukung kembali dengan jarak prasasti Selabraja yang tidak jauh dari Desa Ngabab. Sedangkan, menurut pandangan lain dari para sesepuh Desa Ngabab, cerita itu terbagi dalam beberapa versi.

Salah satunya nama Desa Ngabab berasal dari kata ngatasi bab arti dari kata bab ialah keinginan atau keinginan yang tercapai (kekarepan lan keturutan). Selain itu, terdapat pendapat lain yang mengatakan Ngabab berawal dari kata kasabab. Namun, dari beberapa informasi yang didapat, kata itu mengerucut pada makna yang sama yaitu tempat dimana keinginan dapat terwujud.

Dalam pendapat Bapak Wachid sebagai salah seorang sesepuh desa, bahwa nama dari Desa Ngabab memiliki keterkaitan dengan keberadaan Watu Gilang. Sedangkan, menurut beliau, bahwa leluhur masyarakat desa Ngabab berasal dari keraton Sumenep yang kemudian mendirikan desa di Ngabab.

Terdapat perbedaan pendapat dalam penyampaian perihal sejarah dari Watu Gilang maupun dari kesejarahan Desa Ngabab. Dalam kajian ini penulis mencoba memberikan gambaran sekilas mengenai potensi kesejarahan yang terdapat di Desa Ngabab yang masih bisa digali lebih dalam.

Dengan hal itu, penulisan kesejarahan kali ini masih dirasa kurang. Jadi, Kawan bisa menambah dan melengkapi data kesejarahan dalam historiografi desa Ngabab dengan beragam penelitian baik secara lapangan maupun literatur sejarah. Meskipun ada perbedaan pendapat dari berbagai kalangan, perkembangan sejarah Desa Ngabab tidak pernah berhenti.

Referensi:

Bagus Ary Wicaksono, dkk. 2014. “Menguak Kemahsyuran Majaphit Dari Jendela Malang Raya”. Malang: Ekspepdisi SAMALA, Laporan Jurnalistik Malang Post.

Marsudi. 2015. Bangkitnya Tradisi Neo-Megalithik Di Gunung Arjuno. Sejarah Dan Budaya, No 1.

Rapporten van de Commissie in Nederlandsch-Indië voor Oudheidkundig Onderzoek op Java en Madoera ..., 1902, 1902. Geraadpleegd op Delpher op 20-07-2021.

Soejono. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.

Walsh, Dylan. 2000. Kepercayaan Masyarakat Terhadap Gunung. Doctoral dissertation, Thesis.

Mengenal Pintu Gerbang Majapahit yang Terabadikan di Pati

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

JB
KO
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini