Benarkah Bekas Jajahan Inggris Lebih Maju Daripada Bekas Jajahan Negara Lain?

Benarkah Bekas Jajahan Inggris Lebih Maju Daripada Bekas Jajahan Negara Lain?
info gambar utama

Pertanyaan (dan kadang peryataan) ini mungkin cukup sering kita dengar. "Andaikan dulu kita dijajah Inggris, mungkin Indonesia akan lebih maju". Benarkah begitu? Tentu saja kita takkan pernah tahu, karena meskipun Indonesia pernah dijajah Inggris, tapi rentangnya cukup pendek, yakni 'hanya' 5 tahun (1811-1816). Tak cukup signifikan dibanding dengan rentang waktu dijajah Belanda yang ratusan tahun. Tapi benarkah karena dijajah Belanda, Indonesia belum semaju negara-negara lain (yang lebih maju)? Mari kita coba menjawab.

Sepanjang sejarah, berbagai negara Eropa, termasuk Inggris, Prancis, Portugal, Belanda, dan Spanyol, telah menjajah berbagai wilayah di seluruh dunia, meninggalkan dampak yang signifikan terhadap wilayah yang mereka duduki dalam hal budaya, bahasa, politik, dan ekonomi. Dan memang tak hanya di Indonesia, di banyak negara juga ada kepercayaan bahwa negara-negara yang dijajah oleh Inggris umumnya lebih berkembang dan maju daripada negara-negara yang dijajah oleh Belanda, Prancis, Portugis, atau Spanyol. Bisa jadi benar, bisa jadi salah.

Menilai perkembangan dan kemajuan sebuah negara adalah sesuatu yang komles, yang membutuhkan analisis beberapa indikator. Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita adalah salah satu indikator pembangunan yang paling umum digunakan yang mengukur pendapatan rata-rata per orang di suatu negara. Pada tahun 2022, lima negara teratas dengan PDB per kapita tertinggi adalah Monaco, Liechtenstein, Luksemburg, Bermuda dan Irlandia. Bermuda hingga kini masih menjadi koloni Inggris, Irlandia pernah lama dijajah Inggris. Namun apakah mereka kaya raya seperti saat ini karena dijajah Inggris? Nanti akan terjawab di bagian bawah.

Indikator pembangunan lainnya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI), yang mengukur tingkat keseluruhan pembangunan manusia suatu negara berdasarkan kesehatan, pendidikan, dan standar hidup warganya. Menurut laporan Program Pembangunan PBB tahun 2020, lima negara teratas dalam hal HDI adalah Norwegia, Swiss, Irlandia, Jerman, dan Hong Kong SAR. Sekali lagi, hanya Hong Kong yang langsung dijajah oleh kekuatan Eropa.

Gambar yang memperlihatkan Kekaisaran Belanda memegang permata mahkotanya: Hindia Belanda (kini: Indonesia). Teks:
info gambar

Sementara beberapa (tak banyak) bekas jajahan Inggris telah mencapai tingkat pembangunan yang tinggi, yang lain hingga kini berjuang melawan kemiskinan, ketidaksetaraan, dan ketidakstabilan politik. Misalnya, India, yang berada di bawah kekuasaan kolonial Inggris selama hampir 200 tahun, telah lama berjuang (hingga kini) dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, ketidaksetaraan, masalah kesehatan dan sanitasi, meskipun pertumbuhan ekonominya dalam beberapa tahun terakhir. Demikian pula, Nigeria, yang juga merupakan koloni Inggris, menghadapi tantangan besar seperti korupsi, ketegangan etnis, dan ketidakstabilan politik.

Di samping itu, beberapa bekas jajahan di bawah penjajahan Belanda, Prancis, Portugis, atau Spanyol telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam hal pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, dan stabilitas politik. Singapura dan Malaysia, keduanya bekas jajahan Inggris, telah mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial yang tinggi, demikian pula bekas jajahan Perancis seperti Tunisia dan Maroko, dan bekas jajahan Belanda seperti Indonesia yang makin menunjukkkan perkembangan yang baik.

Beberapa bekas jajahan Portugal, seperti Angola, Mozambik, dan Guinea-Bissau, berjuang melawan kemiskinan, ketidakstabilan politik, dan keterbelakangan. Namun, ini tidak dapat semata-mata dikaitkan dengan sejarah kolonial mereka, karena faktor-faktor lain seperti korupsi, perang saudara, dan bencana alam juga memainkan peran penting.

Serangan Belanda ke Karangasem (Bali) dan Lombok | J. Hoynck van Papendrecht (Public Domain)
info gambar

Dampak kolonialisme sangat bervariasi di berbagai wilayah dan periode. Misalnya, beberapa ahli berpendapat bahwa penjajahan Inggris di India berdampak negatif pada ekonomi, budaya, dan masyarakat negara, sementara yang lain berpendapat bahwa itu memiliki beberapa efek positif seperti pengenalan infrastruktur dan pendidikan modern. Demikian pula, ada yang berpendapat bahwa penjajahan Belanda di Indonesia bermanfaat bagi pembangunan ekonomi negara, sementara yang lain mengkritik eksploitasi dan penindasan terhadap penduduk setempat.

Berbagai pendekatan kolonisasi yang diadopsi oleh berbagai kekuatan Eropa mungkin juga memengaruhi dampak jangka panjang kolonisasi di wilayah yang bersangkutan. Misalnya, Portugis berfokus pada pendirian pos perdagangan dan eksploitasi sumber daya alam, sedangkan Inggris mendirikan koloni pemukim dan bertujuan menyebarkan budaya dan nilai-nilai mereka. Orang Prancis berusaha untuk mengasimilasi penduduk lokal dan menyebarkan bahasa dan budaya mereka.

Faktor lain yang mungkin berkontribusi pada tingkat perkembangan yang berbeda di antara bekas koloni adalah waktu dan durasi kolonisasi. Semakin lama suatu negara berada di bawah kekuasaan kolonial, semakin besar dampak penjajahan terhadap ekonomi, politik, dan masyarakatnya. Oleh karena itu, negara-negara yang dijajah lebih awal dan lebih lama mungkin memiliki lebih banyak waktu untuk mengembangkan ekonomi dan institusi mereka.

Faktor lain yang mungkin berkontribusi pada perbedaan tingkat pembangunan di antara bekas jajahan adalah tingkat perlawanan yang dilakukan oleh penduduk lokal. Dalam beberapa kasus, penjajah menghadapi perlawanan sengit dari penduduk setempat, yang menyebabkan konflik berkepanjangan yang secara signifikan dapat mempengaruhi kemampuan penjajah untuk melakukan kontrol dan pengaruh. Perlawanan ini juga dapat menyebabkan kehancuran simpul sumpul ekonomi, sosial, dan budaya serta sumber daya lainnya, menghambat upaya pembangunan bahkan jauh setelah penjajah pergi.

Bahasa adalah aspek penting lain yang perlu dipertimbangkan. Banyak bekas jajahan kekuatan Eropa mempertahankan bahasa penjajah mereka sebagai bahasa resmi atau salah satu bahasa resmi, yang dapat memiliki efek positif dan negatif. Di satu sisi, penggunaan bahasa yang digunakan secara luas dapat memfasilitasi komunikasi, perdagangan, dan akses ke pasar internasional. Di sisi lain, hal ini juga dapat menyebabkan marginalisasi bahasa dan budaya lokal, yang dapat berdampak negatif jangka panjang pada kohesi dan identitas sosial.

Penting juga untuk mengakui peran lembaga internasional dan sistem ekonomi global dalam membentuk hasil pembangunan. Bekas jajahan yang mampu menjalin hubungan erat dengan organisasi internasional, menarik investasi asing, dan berpartisipasi dalam ekonomi global umumnya mengalami tingkat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang lebih tinggi. Namun, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang peran neokolonialisme dan masih adanya ketidakseimbangan kekuatan antara bekas penjajah dan bekas jajahannya.

Jadi, klaim bahwa koloni Inggris pada umumnya lebih berkembang daripada yang dijajah oleh kekuatan Eropa lainnya tidak didukung oleh bukti yang ada. Pembangunan adalah konsep yang kompleks dan multifaset yang membutuhkan analisis bernuansa berbagai faktor, termasuk faktor ekonomi, sosial, politik, dan sejarah. Sementara beberapa bekas jajahan Inggris telah mencapai tingkat pembangunan yang tinggi, banyak bekas jajahan Inggris yang lain berjuang melawan kemiskinan, ketidaksetaraan, dan ketidakstabilan politik. Demikian pula, beberapa bekas jajahan kekuatan Eropa lainnya telah membuat kemajuan yang signifikan dalam hal pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, dan stabilitas politik, ada juga yang masih cukup tertinggal.

Oleh karena itu, setiap pembahasan tentang hubungan antara kolonialisme dan pembangunan harus mempertimbangkan konteks unik masing-masing wilayah, termasuk faktor sejarah, kebijakan pascakolonial, sumber daya alam, perlawanan lokal, bahasa, dan lembaga internasional. Hanya dengan mengambil pendekatan pembangunan yang komprehensif dan bernuansa, kita dapat berharap untuk memahami warisan kolonialisme yang kompleks dan dampaknya yang berkelanjutan di dunia saat ini.

Referensi:

  1. World Bank. "GDP per capita, PPP (current international $)." World Bank National Accounts Data, and OECD National Accounts Data Files, World Bank, 2020. https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.PP.CD.
  2. United Nations Development Programme. "Human Development Indices and Indicators: 2020 Statistical Update." United Nations Development Programme, 2020. https://hdr.undp.org/sites/default/files/hdr2020.pdf.
  3. Kohn, Margaret. "Colonialism." Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2018. https://plato.stanford.edu/entries/colonialism/.
  4. Osterhammel, Jürgen. "Colonialism." International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, 2nd ed., vol. 4, 2015, pp. 757-762. ScienceDirect, doi: 10.1016/B978-0-08-097086-8.12085-2.
  5. Robinson, Sherrylynne. "Colonialism, Health and Illness." Encyclopedia of Public Health, edited by Lester Breslow, vol. 1, 2002, pp. 248-251. ScienceDirect, doi: 10.1016/B0-12-227225-4/00059-2.
  6. Bayly, C. A. "The Colonial Origins of National Identity." Past & Present, vol. 141, no. 1, 1993, pp. 125-146. JSTOR, www.jstor.org/stable/651208.
  7. Anderson, Clare. "Colonialism and its Legacies: Memory and Commemoration in Africa." Annual Review of Anthropology, vol. 39, 2010, pp. 209-220. doi: 10.1146/annurev-anthro-091908-164305.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini