Desa Trunyan yang Menggoda Wisatawan Melihat Entitas Bali Turunan

Desa Trunyan yang Menggoda Wisatawan Melihat Entitas Bali Turunan
info gambar utama

Desa Trunyan menyajikan panorama yang berbeda bagi para wisatawan. Ketika memasukinya langsung tercium tempat yang khas pedesaan. Karena itulah pantas Trunyan disebut antitesis dari suasana Bali bagian selatan, seperti Denpasar dan Kuta.

Di Trunyan ini terlihat tenang, lapang, dan santai. Kaum laki-laki duduk sementara perempuan mencuci pakaian, ditemani sejumlah anak yang berenang di pinggir danau. Lelaki itu mengantar makanan menemui kepala desa.

RI Promosikan Wisata Bali hingga Sarden Kaleng di Namibia, Afrika Selatan

Orang Trunyan biasa disebut orang Bali Aga, Bali Mula atau Bali Turunan. Bali Aga berarti orang Bali Pegunungan yang diperoleh dari penduduk Bali lainnya, yakni Bali Hindu. Bali Hindu ini merupakan entitas kaum yang terkena pengaruh kebudayaan Jawa.

“Namun warga setempat lebih suka dengan sebutan Bali Turunan karena mereka percaya leluhur mereka “Turun” dari langit ke Bumi Trunyan,” papar Benny D Koestanto dalam Tanah Air: Terunyan dan Entitas Bali Turunan yang dimuat Kompas.

Mitos orang trunyan

Asal usul penduduk Trunyan diambil dari sebuah mitos soal dewi yang turun ke desa itu. Rahim dewi ini kemudian dibuahi oleh Sang Surya hingga melahirkan anak kembar, salah satunya adalah perempuan.

“Anak perempuan itu lalu kawin dengan seorang putra Raja Jawa (disebut Putra Dalem Solo). Raja itu datang ke Trunyan karena tertarik dengan bau harum yang dipancarkan sebatang pohon kemenyan yang tumbuh di desa ini. Dari dua insan itulah warga Trunyan berasal,” jelas Sutapa.

Pemerintah Yakin Kunjungan Wisman Ke Bali Tahun 2023 Tembus 4,5 Juta Orang

Disebut oleh Sutapa, mitos inilah yang menerangkan asal usul nama desa itu. Perihal keberadaan desa itu, para arkeolog memperkirakan keberadaan Trunyan sudah ada sejak abad 10 Masehi.

Hal ini berdasarkan prasasti Trunyan AI, misalnya yang merekam adanya tulisan tahun 833 Saka yang menerangkan pembangunan satu kuil untuk Batara Da Tonta yang tidak lain adalah Ratu Sakti Pancering Jagat.

Berbeda dari Hindu lain

Sementara itu dari kehidupan religi, warga Trunyan disebut berbeda dari Hindu pada umumnya di Bali. Dari luar, memang terlihat tata cara Hindu Bali pada umumnya yakni Pura. Namun dewa yang dipuja berbeda, mereka tak mengenal Siwa, Wisnu dan Brahma.

Sutapa menyatakan ritual-ritual keagamaan di Trunyan berbeda dengan penganut Hindu di Bali. Salah satu contohnya adalah ritual Nyepi. Pada hari itu masyarakat Trunyan tetap beraktivitas seperti biasa.

Peringati Hari Kartini, Peselancar Wanita di Bali Pakai Busana Kebaya

“Pada hari Nyepi kami beraktivitas seperti biasa, memasak, bercengkrama, juga menyalakan listrik atau lampu,” ucap Sutapa.

Dari sekian pandangan, cara hidup, hingga ritual, tradisi pemakaman warga Trunyan tentu paling diingat oleh wisatawan. Warga tidak mengembumikan atau membakar anggota komunitasnya yang meninggal dunia, tetapi hanya diletakkan saja.

Cara pemakaman itu menjadi daya tarik bagi wisatawan sejak era 1970-an. Nengah Kama, salah satu pemandu wisata menyebut desa itu pernah dikunjungi 1.000 turis dalam sehari untuk bisa melihat tempat unik ini.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini