Budaya Patriarki dan Dampaknya Terhadap Kesetaraan Gender bagi Laki-laki

Budaya Patriarki dan Dampaknya Terhadap Kesetaraan Gender bagi Laki-laki
info gambar utama

Budaya patriarki menjadi sebuah momok bagi sebagian besar orang. Budaya patriarki itu sendiri adalah suatu pandangan atau pemahaman bahwa laki-laki di atas seorang perempuan. Berdasarkan pemahaman dari Bressler, menurutnya patriarki adalah Suatu sistem sosial yang menempatkan seorang laki-laki sebagai sosok otoritas yang utama yang dan sentral dalam organisasi sosial.

Ayah memiliki sebuah otoritas terhadap seorang perempuan, anak-anak serta harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa seorang laki-laki dan menuntut subordinasi seorang perempuan (Hasan et al., n.d.). dari pemahaman ini mengartikan bahwa seorang laki-laki adalah seorang pemimpin, seorang laki-laki memiliki derajat di atas seorang perempuan, seorang laki-laki yang cocok duduk di suatu pemerintahan, seorang laki-laki harusnya sebagai orang yang kuat karena merekalah yang memimpin.

Tentu saja hal tersebut akan mengakibatkan adanya pemahaman balik yang menyatakan bahwa seorang perempuan adalah orang yang di bawah pimpinan saja, orang yang tidak dapat memimpin, hal tersebut bukanlah suatu pemikiran yang dirasa baik karenanya seorang laki-laki ataupun perempuan seharusnya memiliki hak yang setara terhadap hal yang ada. seorang laki-laki dianggap lebih superior dibandingkan seorang perempuan.

Pemahaman patriarki menjadikan bahwa adanya pembedaan terkait laki-laki dan perempuan yang menjadikan masyarakat menilai hingga ke perilaku yang dihasilkan oleh seseorang. Dan tidak sedikit juga karena pemahaman ini beberapa pekerjaan dibedakan berdasarkan gender yang ada.

Masyarakat yang masih menganut sistem patriarki ini akan selalu meletakkan seorang laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang sangat dominan terhadap setiap hal dibandingkan seorang perempuan. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan (Hasan et al., n.d.).

Rendahnya Keterwakilan Perempuan Sebagai Capres dan Cawapres di Indonesia

Dalam pembahasan tentang patriarki sendiri seringkali bahwa dampak bagi seorang perempuan saja diangkat tetapi jika dilihat dan di telisik seorang laki-laki juga kerap merasakan dampak dari adanya pemahaman terkait adanya budaya patriarki ini. Seorang laki-laki yang dianggap kuat dan sebagai pemimpin kerap kali menimbulkan sebuah anggapan maskulinitas terhadap seorang laki-laki.

Dampak yang dirasakan yaitu seperti toxic masculinity. “toxic masculinity involves the need to aggressively compete and dominate others and encompasses the most problematic proclivities in men. (Harrington, 2021). Toxic masculinity melibatkan suatu kebutuhan bahwa seorang laki-laki harusnya bersaing secara agresif, jika seorang laki-laki terlihat lemah maka sekitarnya akan mengagap bahwa orang tersebut bukanlah seorang laki-laki sejati.

Beragam kata-kata seperti, "Laki-laki kok nangis, kamu kan laki-laki seharusnya kamu begini dan begitu, laki-laki seharusnya memimpin dan sebagainya," hal seperti ini menjadikan dampak yang kurang baik bahkan akan terus meningkatkan patriarki itu sendiri.

By ascribing men as perpetrators, the theoretical connections between patriarchy, male perpetrators, and masculinity (Connell, 1995) have become so well established that any conceptualization of men as “victims” (or women as perpetrators) requires one to move outside the traditional boundaries of thinking, all within a climate that has been slow to acknowledge other paradigms. (Idriss, 2022).

Dampak yang juga dirasakan adalah terkadang laki-laki kerang dianggap sebagai seorang pelaku terhadap pihak yang lebih lemah, seorang perempuan terkadang berlindung pada hal ini. Dalam kasus kekerasan seksual juga terkadang seorang laki-laki dapat menjadi korban, karena pemahaman terhadap masculinity laki-laki juga tidak sedikit korban yang tidak ingin melaporkan.

Untuk dampak di pekerjaan atau perilaku yang ada tidak sedikit pembedaan seperti pekerjaan seperti laki-laki seharusnya tidak memasak, laki-laki seharusnya tidak melakukan pekerjaan rumah tangga menjadikan hal tabu di masyarakat tertentu untuk seorang laki-laki. Pemberian label juga kerap terjadi jika laki-laki bersikap feminin ia adalah seorang yang keperempuanan dan lain sebagainya, dampak patriarki seperti ini yang dapat dirasakan seorang laki-laki.

Memberikan Hadiah di Wisuda Teman, Sebuah Kewajiban atau Pilihan Personal?

Melihat patriarki yang lebih berdampak kepada perempuan bukanlah hal yang salah, tetapi dengan lebih menelisik bahwa seorang laki-laki juga dapat merasakan dampak dari budaya patriarki tersebut. kesetaraan gender yang menjadi tameng kerap kali hanya melihat kepada perempuan dan jarang melihat ke laki-laki.

Berbagai hal juga dirasakan ketika patriarki ini terus tumbuh oleh sebab itu dengan menyeimbangkan kesetaraan gender baik dari pihak laki-laki dan perempuan akan lebih baik, karena sebagai manusia sebaiknya kita bisa melakukan sesuatu yang kita sukai serta jangan sampai dampak yang ada bisa membatasi hak manusia lain.

Referensi:

Harrington, C. (2021). What is “Toxic Masculinity” and Why Does it Matter? Men and Masculinities, 24(2),
345–352.

doi.org Hasan, N., Dosen, S., & Pekalongan, S. (n.d.). TANTANGAN MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER DALAM
BUDAYA PATRIARKI.

Retrieved December 16, 2022, from phierda. Idriss, M. M. (2022). Abused by the Patriarchy: Male Victims, Masculinity, “Honor”-Based Abuse and Forced Marriages. Journal of Interpersonal Violence, 37(13–14), NP11905–NP11932.
https://doi.org/10.1177/0886260521997928

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AB
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini