Rendahnya Keterwakilan Perempuan Sebagai Capres dan Cawapres di Indonesia

Rendahnya Keterwakilan Perempuan Sebagai Capres dan Cawapres di Indonesia
info gambar utama

Menyambut pesta demokrasi akbar di Indonesia yaitu Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024. Berbagai media massa berbondong-bondong menghias halaman utama beritanya mengenai nama-nama politisi yang akan maju pada pemilihan umum bakal calon presiden (bacapres) dan bakal calon wakil presdien (bacawapres) tahun 2024. Berita tokoh-tokoh politisi ini banyak membahas profil hingga kinerja para politisi dengan tujuan menarik simpati suara pemilih di ajang pemilu 2024.

Namun, ada satu fenomena yang menarik perhatian penulis, yaitu dari beberapa nama kandidat politisi yang digadang-gadang akan mencalonkan diri sebagai capres, tidak ada satu pun politisi perempuan yang tersorot sebagai calon wakil presiden (capres) maupun (cawapres).

Nama-nama politisi laki-laki lah yang sering disorot oleh berbagai liputan media massa, seperti Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, Mahfud MD, dan Ridwan Kamil. Seiring dengan itu mulai bermunculan survei-survei elektabilitas bacapres dan bacawapres yang didominasi oleh kalangan politisi laki-laki.

Berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesiayang merilis 19 nama politisi untuk mengukur elektabilitas bacapres pada pemilu 2024, posisi tiga teratas ditempati oleh Prabowo Subianto mempunyai tingkat elektabilitas sebesar 25,3 persen, Ganjar Pranowo dengan tingkat elektabilitas 25,2 persen, sedangkan Anies Baswedan hanya mendapatkan elektabilitas sebesar 12,5 persen.

Ikatan Dokter Indonesia dan Perdagangan Bebas Global

Survei elektabilitas oleh Indikator Politik Indonesia ini dilakukan dalam kurun waktu 26-30 Mei 2023 dengan melibatkan 1.230 responden menggunakan metode random digit dialing (RDD). Survei elektabilitas ini mempunyai klaim margin of error +/- 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Survei yang baru-baru ini diselenggarakan olehIndikator Politik Indonesiatidak mengubah kenyataan mengenai minimnya tingkat elektabilitas politisi perempuan untuk menjadi bacapres dan bacawapres. Dalam survei tersebut dari 19 nama bacapres serta bacawapres, hanya terdapat 5 nama politisi perempuan dengan tingkat elektabilitas tergolong rendah. Mereka adalah Susi Pujiastuti mendapatkan elektabilitas 2,2 persen, Khofifah Indar Parawansa 0,9 persen, Puan Maharani 0,7 persen, Sri Mulyani Indrawati 0,7 persen, dan Tri Rismaharini 0,4 persen.

Apa penyebab Rendahnya Elektabilitas Politisi Perempuan?

Rendahnya elektabilitas politisi perempuan disebabkan oleh permasalahan struktural dan kultural. Dari permasalahn stuktural mengacu pada metode pencalonan kader yang diterapkan oleh partai politik (parpol) dalam internal demokrasinya.

Dalam Undang-Undang No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) dan UU No. 2/2011 tentang Perubahan UU No. 2/2008 mengenai Partai Politik, dimana partai politik telah diamanatkan untuk memastikan kuota 30 persen bagi politisi perempuan untuk dicalonkan dalam daftar anggota parlemen. Namun, faktanya amanat itu tidak dipenuhi oleh banyak parpol.

Nurul Amalia Salabi, seorang peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengunggkapkan dari sembilan parpol di parlemen, hanya satu partai yang memenuhi target keterwakilan perempuan 30 persen, yaitu Partai NasDem (Nasional Demokrat). Amalia juga menyatakan representasi perempuan di parlemen tidak mencapai 30 persen, setelah pemilu 2004.

Partai politik cenderung asal merekrut politisi perempuan sebagai formalitas, tidak melalui proses rekruitmen politik yang sistematis dan kaderisasi yang baik. Keterwakilan perempuan di dalam kontestasi politik juga harus selaras dengan keterwakilan perempuan pada penyelenggaran Pemilu.

Program Pascasarjana Monash University Menjawab Tantangan dan Kebutuhan di Indonesia

Sebab kehadiran perempuan pada penyelenggara Pemilu dapat melakukan pengawalan terhadap suara perempuan dan peran strategis untuk melakukan sosialisasi peningkatan partisipasi perempuan di politik hingga pendidikan preferensi suara pemilih. Apabila perempuan minim dilibatkan dalam penyelenggaran Pemilu, maka semakin sedikit juga perempuan yang melibatkan diri dalam kontestasi politik.

Dari sisi kultur, penyebab minimnya elektabilitas bacapres dan bacawapres perempuan adalah ketidakberpihakan media terhadap representasi politisi perempuan. Keadaan tersebut dapat terlihat dari cara media yang selalu menyorot kinerja politisi laki-laki dibandingkan kinerja politisi perempuan.

Adapun jika ada berita mengenai politisi perempuan yang selalu diidentikan dengan perilaku feminim dan lebih mengandalkan perasaan dalam mengambil keputusan. Interaksi antara masyarakat dan media ini akan membentuk pandangan masyarakat terhadap politisi perempuan yang akan berakibat langsung terhadap rendahnya elektabilitas bacapres dan bacawapres perempuan.

Pendapat politisi perempuan yang sering diabaikan menyebabkan politisi perempuan jarang untuk mengutarakan pemikirannya. Oleh karena itu, harapan agar politisi perempuan dapat menyuarakan kebutuhan kaum perempuan di pemerintahan hanya menjadi harapan semata tanpa terwujud nyata. Beban ganda juga harus dipikul oleh politisi perempuan yang mempunyai tanggung jawab dalam ranah domestik bukanlah publik.

Cara Untuk Meningkatkan Representasi Politisi Perempuan

Cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di politik:

Pertama, mendorong gerakan pemberdayaan perempuan sebagai akar rumput untuk meningkatkan partisipasi perempuan yang memiliki potensi dan bakat untuk terjun di ranah politik. Ini tak hanya untuk menjamin keterwakilan perempuan secara kuantitas tapi juga kualitas.

Kedua, parpol dapat meningkatkan fungsinya sebagai pendidik politik kepada kadernya. Parpol harus memastikan pendidikan politik yang cukup agar politisi perempuan dapat bersaing dengan politisi laki-laki di lingkungan publik, seperti memberikan edukasi strategi berpolitik bagi kader perempuannya.

Ketiga, Media massa juga harus didorong untuk meningkatkan peliputan kinerja dan prestasi politisi perempuan. Hal ini merujuk pada apa yang disampaikan oleh data Perludem yang memantau hanya delapan stasiun televisi di Indonesia yang kerap memberitakan politisi perempuan. Sedangkan, politisi perempuan yang menjabat sebagai kepala daerah yang terbilang sukses dalam menjalankan programnya hanya rajin diliput oleh media lokal, sehingga tidak terlalu mendongrak popularitasnya secara nasional.

Mengapa Orang Majalengka Manis? Karena Memiliki 3 Kecap yang Legendaris

Keempat, Politisi perempuan harus diberikan kesempatan yang sama untuk menunjukkan kemampuannya dalam berpolitik seperti politisi laki-laki. Oleh sebab itu, memperbanyak framingpolitisi perempuan di media massa menjadi sangat penting dengan menekankan jika kepemimpinan politisi perempuan yang identik dengan nilai-nilai feminim terbukti efektif dalam menyelesaikan permasalahan publik.

Seperti cara Jacinda Ardern, seorang mantan perdana Menteri Selandia Baru yang berhasil mengatasi perubahan iklim, bencana gunung meletus, dan permasalahan Covid-19 di negaranya. Dengan adanya pengakuan dari berbagai pihak ini maka akan membuat politisi perempuan merasa representasinya di politik mendapat dukungan dan penghargaan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DN
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini