Memeluk Budaya Jawa: Ajaran Sestradi dalam Naskah Kuno Puro Pakualaman

Memeluk Budaya Jawa: Ajaran Sestradi dalam Naskah Kuno Puro Pakualaman
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Orang bilang Yogyakarta itu istimewa. Bukan karena gelar daerah istimewa yang diberikan pemerintah Republik Indonesia di awal kemerdekaan saja, seperti yang kawan GNFI ketahui bahwa Yogyakarta kaya akan sejarah dan budayanya. Kesan tenang, adem, tentram, dan budaya jawanya yang kental membuat orang-orang dari luar kota, bahkan, bersedia menyebut bahwa Yogyakarta memiliki tempat khusus dalam diri mereka. Mereka berjanji akan berkunjung lagi sambil menikmati kenangan yang ada disetiap sudut kota. Lagi-lagi kita harus bilang, Yogyakarta memang istimewa.

Bicara mengenai budaya jawa di Yogyakarta, apakah hanya seputar falsafah hidup, tari-tarian tradisional, bangunan di masa kerajaan, uyon-uyon, dan kraton Jogja? Jawabannya tidak. Tidak hanya itu. Di salah satu sudut kota, tepatnya tak jauh di arah timur dari titik nol kilometer, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam X. Kerajaan itu adalah Kadipaten Pakualaman, yang merupakan pecahan terakhir dari kerajaan Mataram Islam. Ada salah satu kebudayaan di Kadipaten Pakualaman yang masih belum banyak dikenal oleh anak muda masa sekarang.

Sebelum masuk ke kebudayaannya, kawan GNFI harus tahu terlebih dahulu apa yang membedakan Kadipaten Pakualaman dengan Kesultanan Yogyakarta. Ibarat keluarga, Kesultanan Yogyakarta adalah kakak dari Kadipaten Pakualaman. Itulah alasan mengapa istana atau puro Pakualaman menghadap ke selatan, menghadap Kraton Yogyakarta, karena sebagai bentuk rasa hormat. Sedangkan posisi di pemerintahan Indonesia, Kesultanan Yogyakarta berdiri sebagai Gubernur dan Kadipaten Pakualaman sebagai Wakil Gubernur.

Sama halnya dengan kerajaan-kerajaan lain yang pernah atau bahkan masih berdiri hingga sekarang, Kadipaten Pakualaman memiliki banyak budaya adi luhung. Di antara budaya tari-tarian, pakaian, wayang, dan gamelan, ada pula naskah-naskah kuno bertuliskan aksara Jawa. Budaya kesusastraan itulah yang belum banyak dikenal. Naskah-naskah kuno peninggalan raja-raja di Kadipaten Pakualaman tersimpan dengan baik di perpustakaan yang ada di dalam istana. Kadipaten Pakualaman memang merupakan salah satu skriptorium atau tempat penulisan karya sastra yang masih melestarikan tradisi menulis naskah (Kartika Setyawati, dkk, 1996:1).

Di dalam naskah kuno ini mengandung kisah-kisah para pendahulu yang di dalamnya terdapat ajaran sestradi atau ajaran-ajaran baik yang patut dijadikan teladan. Naskah-naskah kuno tersebut diprakarsai langsung oleh raja-raja yang pernah memimpin Kadipaten Pakualaman, beberapa yang lain ada yang berupa naskah saduran dan salinan. Setiap penguasa di Puro Pakualaman memiliki setidaknya masing-masing satu orang juru tulis, juru baca, dan juru gambar untuk membantu dirinya. Sepenting itulah kesusastraan bagi sebuah kerajaan.

Naskah-naskah yang ada memiliki ciri khasnya sendiri di setiap periode pemerintahannya. Namun yang pasti, secara garis besar naskah-naskah tersebut berisi tentang ajaran sestradi, yang berguna sebagai ajaran utama untuk membangun karakter mulia di Kadipaten Pakualaman. Karena itulah jarang sekali ditemukan naskah yang berisi tentang seni pertunjukan misalnya seni tari dan karawitan. Meski demikian terdapat dua naskah tentang seni pertunjukan yang ditemukan yakni pada masa Paku Alam IV (1864-1878) dimana naskah tersebut adalah Kyai Sestradilaras dan Langen Wibawa. Menariknya, di dalam naskah Langen Wibawa tersebut terdapat hiasan gambar-gambar cantik yang, oleh Gusti Putri yakni istri Paku Alam X, dijadikan motif batik.

Saat ini sudah banyak penelitian tentang naskah-naskah kuno untuk membantu mencari tahu bagaimana isi dan maksud dari naskah tersebut sesuai periodenya. Bahkan penelitian kodikologi sebagai ilmu bantu filologi juga perlu dilakukan apabila ingin meneliti isi naskah dengan cara membandingkan corak tulisannya (Sri Ratna Saktimulya, 2016: 12).

Mengutip dari buku Sri Ratna Sakti Mulya "Naskah-Naskah Pakualaman", ada beberapa contoh naskah yang berisi ajaran sestradi yaitu (1) Naskah Sestra Ageng Adidarma di prakarsai oleh Paku Alam II berisi tentang pentingnya membaca, mengerti, dan menerapkan keilmuannya. Adapun potongan baitnya apabila diterjemahkan adalah usahakanlah dengan baik dan jagalah selalu agar kasih itu dapat lestari dan jadikanlah ilmu pengetahuan itu semakin bertambah...dst. Naskah tersebut mengingatkan kita agar mau untuk terus membaca, para generasi muda diharapkan tidak gemar bergunjing serta mencela orang lain. (2) Naskah Sestradisuhul masih diprakarsai oleh Paku Alam II berisi tentang ajaran untuk memperbaiki diri, berintrospeksi, dan mampu menempatkan diri sesuai dengan peran yang ada dalam dirinya agar tidak meninggalkan nama yang buruk apabila meninggal nantinya.

Jika sudah diketahui bagaimana kandungan isinya, kita yang dari luar bidang keilmuan filologi pun dapat mengetahui dan belajar ajaran sestradi yang ada di dalam naskah-naskah kuno di Kadipaten Pakualaman. Tidak mudah memang untuk bisa sadar akan kekurangan dan bersedia memperbaiki diri di tengah kemelut zaman yang lebih mengedepankan tren dan gengsi. Namun demi menjadi manusia yang bermartabat dan berkarakter kuat tanpa meninggalkan identitas budaya bangsa, kita tidak boleh berhenti begitu saja, sebab para pendahulu kita telah menaruh banyak harapan serta memberi piwulang yang bisa kita pelajari. Mari munculkan rasa penasaran, sadar diri, dan konsisten untuk terus menjadi manusia yang, dengan kerendahan hati, bersedia untuk belajar.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AG
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini