Ondel-Ondel, Palang Pintu dan Filantropi? Sebuah Upaya dari Selatan Jakarta

Ondel-Ondel, Palang Pintu dan Filantropi? Sebuah Upaya dari Selatan Jakarta
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Orang-orang di Jakarta mungkin tak asing lagi dengan budaya Betawi yang bernama Ondel-Ondel dan Palang Pintu. Ondel-ondel sering tampil di jalan-jalan, gang-gang Jakarta yang pendapat umum bilang ngamen. Adapun palang pintu masih dapat terhitung tampilannya misal pada pesta pernikahan orang Betawi itupun bagi yang memiliki dana lebih untuk menanggap grup Palang Pintu serta beberapa acara formal dan non formal seperti penyambutan tamu pejabat, festival seni budaya, lagi-lagi itupun masih dianggap kalau dirasa perlu, kalau tidak maka nihil Palang Pintu. Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Indonesia yang ditetapkan tahun 2013 dan tahun 2014 sangat disayangkan nasibnya, yang satu tersungkur dan yang satu tak tumbuh subur. Padahal dalam kedua karya budaya tersebut terkandung filosofi dan nilai-nilai didaktis yang sangat berharga untuk dicermati dan dipelajari.

Pandangan negatif soal Ondel-Ondel ngamen lumayan menjadi perbincangan hangat sampai-sampai Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta selaku pemangku kebudayaan khususnya di wilayah Betawi pernah mencoba membentuk Satgas Ondel-Ondel. Tim ini dibentuk guna membasmi praktik liar pengamen yang menggunakan karya budaya Ondel-Ondel pada tahun 2021 lalu. Malangnya usaha ini tidak begitu efektif dan tanpa hasil karena kalau pengamen Ondel-Ondel itu dirazia dan tertangkap, maka siapa yang mau bertanggung jawab terhadap satu keluarga kurang mampu yang sedang mencari sesuap nasi? Paradoks memang tetapi itulah wajah budaya di Kota Jakarta.

Berbeda dengan Ondel-Ondel, nasib tradisi Palang Pintu pun tidak begitu lebih baik. Seni tradisi palang pintu dalam pernikahan adat Betawi sudah jarang tampil baik itu yang melangsungkan pernikahan adalah etnis Betawi. Beberapa hal yang paling sering ditemui lantaran pemilik acara pernikahan bukan orang Betawi. Hal lainnya karena dana untuk menanggap para pemain palang pintu tidak sedikit mengingat di dalamnya ada pemantun, pesilat, pembaca sikeh, dan pemusik yang jumlah orangnya bisa mencapai 10 orang bahkan lebih. Pandemi Covid-19 yang hampir tiga tahun menambah redup eksistensi kesenian tersebut.

Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1531 Tahun 2021 tentang Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Provinsi DKI Jakarta menyebutkan data populasi etnis Betawi tahun 2019 di Jakarta hanya 28 persen. Data tersebut membuat kami tercengang, apakah jika orang Betawi sudah tidak di Jakarta, seni budayanya akan punah juga? Berangkat dari situlah, saya bersama sebuah kelompok anak-anak muda yang pada mulanya latihan silat Betawi (Beksi) di Kampung Petukangan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan berupaya mengubah stigma negatif pada budaya Betawi terutama pada budaya Ondel-Ondel mengamen dan membumikan tradisi Palang Pintu dalam berbagai kesempatan atau undangan, tidak hanya pada acara pernikahan saja tetapi sampai pada acara-acara pergelaran seni budaya di sekolah-sekolah contohnya program P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Jadi kalau urusan Palang Pintu, komunitas kami lumayan menguasai. Akhirnya perkumpulan ini sejak tahun 2019 resmi menjadi yayasan dan diberi nama Yayasan Kampung Silat Petukangan lantaran dalam lembaga ini pada dasarnya adalah perkumpulan perguruan silat atau bela diri aliran Beksi yang mana silat tersebut tumbuh subur di Kampung Petukangan ditambah para tokoh dan guru besar silat Beksi lahir dan wafat di daerah ini. Lalu bagaimana kaitannya Ondel-Ondel dan Palang Pintu dengan filantropi?

Dokumentasi Pribadi

Praktik filantropi masih jarang menyasar kepada bidang kebudayaan meskipun menurut filantropi.id, Indonesia adalah negara paling filantropis di dunia versi survei World Giving Index Tahun 2021. Istilah filantropi dalam KBBI(Kamus Besar Bahasa Indonesia) diartikan sebagai cinta kasih atau kedermawanan dan sebagainya kepada sesama manusia. Konkretnya kedermawanan tertuju pada praktik sosial yang kita sering lihat dalam kesehariannya seperti contoh kecil adalah membagikan makanan gratis kepada kaum fakir. Konsep filantropi inilah yang menginspirasi kami untuk menggerakan filantropi dalam bidang kebudayaan yang fokusnya memartabatkan Ondel-Ondel dan membumikan Palang Pintu. Kebetulan beberapa guru kami tidak hanya pandai bersilat tetapi juga ada yang mahir dalam membuat Ondel-Ondel. Berbekal dana patungan dari seluruh anggota, kami membuat dua pasang Ondel-Ondel. Pada kerangka desain Ondel-Ondel dibuat tali khusus seperti ransel agar bisa di bawa ke mana-mana cukup dengan sepeda motor agar murah tanpa menggunakan jasa sewa mobil. Jangka waktu kurang lebih dua bulan, Ondel-Ondel selesai dan siap dimanfaatkan.

Tanggapan jasa pertama kali menjelang akhir tahun 2019 di mana pada saat itu salah satu anggota kami kerabatnya menikah dan menanyakan berapa harga untuk sewa Ondel-Ondel dan Palang Pintu. Kami kebingungan karena tak enak menyebut harga apalagi yang punya acara masih kerabat dari anggota kami. Pada saat itulah kami sepakat berkata tidak usah memikirkan harga yang penting acara kerabatnya bisa sesuai keinginan dan harapannya. Ketika acara pun selesai, malamnya kami berpamitan sekalian mengambil Ondel-Ondel yang dipajang seharian. Pada saat itu pula sang punya acara memberikan sejumlah uang dalam amplop atas bantuan Ondel-Ondel dan Palang Pintu meskipun kami tidak memintanya. "Ini ada sedikit dari saya, tolong diterima dan makasih banyak," katanya. Segala puji dan syukur kami kepada Tuhan, dana yang diberikan itu tidak kami habiskan tetapi kami sisihkan untuk perawatan Ondel-Ondel dan membeli beberapa properti dalam Palang Pintu. Bahkan seringkali cukup untuk membeli bensin anggota kami sehingga ketika menjangkau tempat yang jauh seperti sampai ke Felfest UI, Depok dan Ciganjur. Semua daerah itu dicapai bersama-sama menggunakan sepeda motor.

Berawal dari situlah, setiap ada saudara, kerabat, sahabat, tetangga atau siapa pun yang membutuhkan jasa Ondel-Ondel dan Palang Pintu, kami siap tanpa harga yang pakem, seikhlasnya. Bahkan pernah, sebagai ucapan terima kasih dari pemilik hajat, kami hanya disuguhkan konsumsi di tempat dan untuk dibawa pulang. Proses itu kami lalui dengan suka cita dan ajang pembelajaran mengingat sebagian dari anggota kami yang sering ikut mengisi acara merupakan pelajar masih sekolah tingkat SMP, SMA, dan beberapa mahasiswa sehingga kami mencoba menanamkan jiwa kerelawanan sebagai aktualisasi seorang pelajar dan mahasiswa.

Pandemi Covid-19 memang membuat giat filantropi kebudayaan kami sempat terhenti karena pemerintah tidak membolehkan kegiatan yang sifatnya mengundang keramaian termasuk acara seni budaya. Ketika kegiatan umum diperbolehkan kembali serta pembelajaran di sekolah pun sudah tatap muka, hampir setiap satu bulan kami mengisi acara tiga kali bahkan seringkali lebih. Giat filantropi melalui Ondel-Ondel dan Palang Pintu yang terus kami tekuni sampai sekarang telah banyak memberikan manfaat dan dampak yang tidak hanya dirasakan oleh kami tetapi juga masyarakat pada umumnya terhadap budaya Betawi. Stigma negatif seni tradisi yang tak dinamis dan mahal perlahan pudar di masyarakat dan sebaliknya dengan mempelajari seni tradisi mampu berprestasi dan tontonannya sarat dengan tuntunan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MR
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini